Puisi bercerita keabadian: Diantara hidup dan mati
Oleh Abbas Merah
Aku hidup untuk diri-ku sendiri bukan orang lain - Rafif
Hari itu terasa begitu sunyi di rumahku. Tidak ada seorang pun selain aku. Sambil mengisi kesunyian, aku mulai berlatih menulis puisi sebagai persiapan lomba tingkat kabupaten. Tema yang kuambil adalah "manusia melawan penyakit depresi," sesuai dengan tema besar lomba yaitu "kesehatan mental."
Aku terinspirasi oleh perjuangan orang-orang melawan depresi—mereka yang menahan rasa sakit, bertarung melawan pikirannya sendiri, bahkan menghadapi gejolak keinginan untuk mengakhiri hidup. Sayangnya, tidak semua orang paham atau peduli dengan keadaan mereka. Aku mencoba menyusun kata-kata yang indah dan bermakna dalam setiap bait puisiku.
Langit mulai gelap, dan aku melanjutkan membaca buku-buku psikologi untuk memperdalam pemahaman tentang tema ini. Hingga akhirnya malam tiba, aku memutuskan untuk tidur agar siap melanjutkan aktivitas esok hari.
Pagi datang, dan aku berangkat ke sekolah. Di sana, aku bertemu temanku, Rafif. Wajahnya pucat dan tampak tak bersemangat. Aku merasa ada sesuatu yang tidak beres. Aku mencoba menyapanya, tapi ia hanya menjawab singkat, seolah enggan berbicara.
"Rafif, kamu kenapa? Wajahmu pucat, tidak seperti biasanya," tanyaku.
"Enggak apa-apa," jawabnya pelan.
Namun, aku tidak percaya begitu saja. Akhirnya, setelah mendesaknya dengan pertanyaan, ia mengajakku ke tempat sepi. Di sana, ia mengungkapkan bahwa dirinya menderita depresi.
"Aku divonis depresi oleh psikolog," katanya lirih.
Aku terkejut. "Kok bisa?" tanyaku penasaran.
Rafif pun bercerita. Masa kecilnya dipenuhi bullying, dan keluarganya tidak harmonis. Hal itu membuatnya selalu merasa takut, terutama saat harus membuat keputusan. Ia khawatir jika keputusan yang diambil justru membuat keadaannya semakin buruk. Di depan orang lain, ia tampak baik-baik saja, tetapi saat sendiri, ia merasa hancur dan lelah.
"Hai, kalau kamu butuh tempat curhat, ceritalah ke aku. Jangan dipendam sendiri, ya," ujarku.
"Iya, nanti aku cerita kalau memang butuh," jawab Rafif.
Aku mulai menyadari bahwa banyak orang yang tampak bahagia di depan umum sebenarnya menyembunyikan kesedihan. Kebahagiaan mereka terkadang hanyalah "topeng" yang mereka pakai.
Aku bertanya lagi, "Rafif, kamu sampai harus minum obat penenang?"
"Iya," jawabnya. "Aku nggak bisa hidup tanpa itu. Kegelisahan dan keinginan untuk mati terus menghantuiku."
Aku mencoba menenangkannya. "Tenang, ya, Fif. Lakukan apa yang kamu suka. Jangan terlalu banyak pikiran."
Rafif mengangguk pelan. "Aku suka menulis cerpen, tapi ceritanya sedih semua," katanya sambil tertawa kecil. Aku ikut tertawa mendengar itu.
Malamnya, Rafif datang ke rumahku. "Hai, Abbas, lagi ngapain?" tanyanya.
"Aku lagi bikin puisi untuk lomba," jawabku.
"Semangat, ya! Semoga menang," katanya tulus.
Keesokan paginya, kabar mengejutkan datang. Rafif ditemukan meninggal dunia di kamarnya. Ia mengakhiri hidupnya dengan menggantung diri. Aku tidak percaya. Baru tadi malam kami berbincang.
Aku segera ke rumahnya. Ibunya memanggilku ke kamar Rafif, dan di sana aku menemukan surat yang ditujukan untukku:
_"Hai Abbas, aku pamit ke alam keabadian yang tenang dan damai. Aku akan selalu mengingatmu, teman yang selalu mendukungku. Semangat untuk lomba puisi, Abbas. Kejar impianmu. Jangan jadi seperti aku."_
Aku terdiam membaca surat itu, merasa tidak percaya. Dari ponselnya, aku menemukan bahwa Rafif baru saja diputuskan oleh pacarnya. Rupanya, itu menjadi pukulan terakhir baginya.
Beberapa hari aku tidak bisa tidur, terus memikirkan Rafif. Saat lomba tiba, aku memutuskan untuk membuat puisi tentang dirinya. Aku membayangkan malam-malam terakhirnya, pesan yang ia tinggalkan, dan perjuangannya.
Hasil puisiku tidak panjang, hanya dua bait, tapi penuh makna. Ketika pengumuman lomba, aku mendapatkan juara harapan 1. Aku bersyukur meski tidak menjadi yang terbaik.
Setelah lomba, aku pergi ke makam Rafif dan menunjukkan piala itu. "Fif, aku menang. Ini berkat dukunganmu. Terima kasih, sahabat." Aku berdiri di sana, mengenang Rafif dan perjuangannya. Hidup memang berat, tetapi aku ingin melanjutkan perjuanganku—seperti yang Rafif harapkan.
*Tamat
Komentar
Posting Komentar