Langsung ke konten utama

Ular Melingkar-Melingkar di Atas Pagar

 


Hahaha… Portal itu menyuarakan makian dari kekurangan yang tak kuinginkan. Orang-orang seenaknya, dengan lidah lentur mereka, menertawakanku. Katanya, aku ini manusia yang tidak bisa mengucapkan huruf "R." Seolah-olah aku dikutuk oleh takdirku sendiri. Mereka, dengan tegas dan tanpa empati, selalu memojokkanku. Aku jadi pusat hiburan mereka. Aku di sana, aku sedang berada… tapi seperti tak dianggap ada.

Aku ingin menyoroti portal itu. Di dalamnya sepi, tapi penuh bisik. Bisik luka. Luka yang silam, luka yang tak pernah luntur oleh zaman. Aku membenci portal itu, karena ia selalu menyerangku lewat kata-kata masa lalu yang tak kunjung usai. Aku sendiri tak tahu, sampai kapan aku akan terus tertutup seperti ini.

Aku tertutup, bukan karena ingin, tapi karena ledekan ceria mereka yang bagiku adalah duka yang diam. Ya, aku memang tidak bisa mengucapkan huruf R. Sampai suatu ketika, teman-temanku bertanya padaku, “Kamu bisa ngomong ‘ular melingkar-melingkar di atas pagar’ nggak?”

Aku terdiam. Saat mencoba mengucapkannya, suaraku terdengar cadel, tak seperti yang seharusnya. Mereka tertawa. Tertawa atas sesuatu yang tak ingin kudengar seumur hidupku. Berulang kali aku bertanya-tanya apakah aku ini sedang terjebak dalam ketidakadilan dunia, atau aku yang belum bisa menerima kekurangan? Tapi, kenapa mereka selalu mengejekku? Apa sebenarnya yang mereka inginkan dariku?

Ah, kenapa aku malah bertanya seperti itu. Jawabannya pasti cuma satu: mereka butuh tawa. Tawa getir yang menimbulkan tsunami di seluruh dataran rendah dalam tubuhku khususnya di hatiku.

Ular… ya, ular. Kenapa kalian tertawa karena itu? Aku memang tak bisa mengucapkannya dengan jelas. Aku gagal. Semakin dicoba, semakin tidak jelas. Aku ingin bisa mengucapkan huruf R, agar aku tak seperti ini. Sialnya, saat itu aku cuma bisa tertawa. Tertawa getir. Kenapa aku bisa begini?

Pernah suatu kali, aku menatap cermin sambil menyebut huruf R berulang-ulang. Aku berharap, kalau aku terus mencoba, suatu saat akan bisa. Aku percaya, ini cuma kebetulan dan akan berubah. Tapi kenyataannya tidak seperti itu.

Aku terus bertahan… tapi apa daya diriku ini?

Hahahahahahaha…

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Negeri yang Demam oleh Amarah

  Stres berkepanjangan membuat saya terus bertanya pada diri sendiri, mengapa kepala saya dipenuhi masalah dan ketakutan yang menghantui. Lemas dan letih rasanya menghadapi keadaan ini, apalagi melihat situasi yang genting. Kerusuhan dalam diri tak lagi bisa dibendung, penjara ketakutan telah merampas kebahagiaan saya. Ruang-ruang batin pun berantakan setelah hati dan pikiran saya dijarah oleh rasa takut. Berita televisi dan media sosial dipenuhi kecemasan. Kota terasa semakin tercekam oleh massa yang menyampaikan aspirasi kepada mereka yang duduk nyaman di kursi kekuasaan. Emosi membara, kemarahan muncul karena rakyat diremehkan oleh salah satu wakilnya yang seharusnya mewakili suara banyak orang. Massa aksi selayaknya semut-semut kecil, bergerombol lalu bubar ke segala arah tanpa tahu jalan pulang. Mereka berdiri berjam-jam hanya untuk mendengarkan teriakan sekawannya. Namun, tidak semua yang berkerumun murni menyuarakan aspirasi, ada provokator yang membuat keadaan semakin mence...

THR: Dari Mogok Buruh ke Proposal THR

  Bulan Ramadhan telah berakhir, dan saya merasa cukup senang menyambut hari Lebaran. Hari yang penuh kebersamaan itu akhirnya tiba, dan saya tidak sabar menunggu THR. Namun, saya sadar bahwa saya sudah bukan anak sekolah lagi, sekarang saya adalah seorang mahasiswa. Kata saudara saya, anak kuliah justru memiliki lebih banyak kebutuhan dibandingkan anak kecil atau anak sekolah. Tahun lalu saya masih mendapatkan THR, tetapi tahun ini saya tidak tahu apakah masih akan mendapatkannya. Saya butuh uang untuk membeli PDH Belistra dan himpunan, agar bisa segera melunasinya. Saya melihat para pekerja mendapatkan tunjangan hari raya berupa uang atau sembako, termasuk ayah saya. Tahu tidak kalau THR ini di tahun 1953 dulunya disebut Hadiah Lebaran atau Persekot Hari Raya? Saat itu, pemberian tersebut bersifat sukarela dari majikan sebagai bentuk kepedulian sosial. Pada tahun 1950-an, para buruh hidup dalam kondisi yang memprihatinkan, dengan penghasilan yang bahkan tidak cukup untuk membeli ...

Semua Sudah Diatur, Tidak Perlu Dipikirkan

 Semua Sudah Diatur, Tidak Perlu Dipikirkan   Malam yang sunyi, saya kembali menulis. Kali ini, saya menulis tentang permasalahan kehidupan saya. Masalah hidup saya sama seperti masalah negeri ini. Dari ujung barat sampai timur, negeri ini dipenuhi oleh kicauan mahasiswa yang berteriak menuntut keadilan. Begitu pula saya, yang terus berteriak kepada hati saya sendiri, merasa bersalah atas perbuatan yang telah berlalu.   Iya, memang saya selalu menyesali setiap tindakan yang sudah terjadi. Namun, saya berpikir bahwa Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyesal ketika membuat UU TNI, yang kini membuat gaduh narasi di media sosial. Kerusuhan terjadi di mana-mana karena naskah yang dibuat terburu-buru. Saya tidak tahu apakah naskah itu benar-benar disusun berdasarkan proses demokrasi.   Saya mendukung undang-undang ini karena saya percaya bahwa undang-undang itu tidak akan merugikan rakyat, justru menguntungkan mereka. Namun, saya juga meragukan kemampuan seseor...