Pulang Kepada yang Pernah
Hidupku tidak mudah—aku menjalani perjalanan ini dengan kakiku sendiri, menahan rindu yang bahkan tak bisa kutumpahkan sebagaimana mestinya. Aku dianggap sebagai teman terbaik, padahal sudah tergila-gila oleh namanya: asmara.
Ketawa getir menjadi teman perjalananku, menerima semua yang telah digariskan oleh Mahakuasa, yang juga Maha Berinteraksi. Aku pun sering menyerang diriku sendiri—mempertanyakan segalanya, terlebih saat aku bingung dengan perasaanku sendiri yang tidak elok ini.
Namaku yang samar di benaknya membuatku kehilangan separuh jiwaku. Aku dan dia pernah berjumpa dalam janji yang tak terucap, di sebuah pertemuan terakhir yang hanya diisi tatapan—tanpa ungkapan, tanpa kepastian. Seolah dunia bersekongkol menjadi pengkhianat.
Lebih dari itu, aku menyukainya. Sangat.
Api padam bila tersiram air, tapi tidak denganku. Aku tetap menyala, walau terus diguyur ketidakstabilan perasaan. Namanya kusimpan erat-erat di dadaku yang sesak. Aku tidak tahu apakah Tuhan akan menyambut nyawaku dengan keras, tapi sejauh ini belum juga dilakukan-Nya. Mungkin Tuhan tahu, aku masih membutuhkan kesempatan—untuk menyampaikan semua ini secara serius, agar tak lagi terlihat seolah aku hanya berjalan menepi.
Aku sadar sudah banyak waktu yang terlewat. Lintasan lama telah jauh meninggalkanku. Mungkin dia juga sudah tak lagi dicekam oleh masa lalu, oleh ingatan tentangku. Dan aku kembali tertawa getir, dengan dada penuh sesak.
Besok-besok, aku ingin berlari jauh dari wajah manisnya. Tapi entah mengapa, aku selalu kembali memikirkannya. Kenapa wajah manis itu membuatku terjebak di masa lalu? Apakah masa lalu menyimpan dendam padaku? Atau akukah yang tak kunjung bisa beranjak?
Aku ingin menyerah, ingin berkata bahwa dunia ini penuh drama. Setiap episodenya terasa mengguncang. Satu cerita selesai, muncul kejutan yang lebih menyakitkan: aku tak lagi bisa menatapnya dari dekat.
Sejujurnya, aku sudah bosan membuat puisi-puisi rindu untuknya. Aku muak dengan lagu-lagu galau yang jadi pengiring sedihku setiap malam. Bahkan dalam tidurku, aku masih saja menyebut namanya.
Aku ingin pulang ke hatinya—katanya, hatinya kini kosong. Katanya, dia merasa kesepian setelah lembar catatan asramanya bersama seseorang yang dulu dianggap cinta, kini telah selesai. Tak lagi bersama-sama.
Aku ingin menjadi teman sepinya. Menjadi rumah makan kerajaan—tempat penuh hidangan dan tawa. Tapi kenapa dia tidak membuka pintunya? Kenapa dia memilih sendiri daripada bersamaku?
Padahal aku sadar: akulah yang harus menempuh jalan menuju hatinya. Tapi aku takut pada masa lalu itu.
Kadang aku ingin menyelinap diam-diam ke dalam hatinya, menikamnya dengan perasaan yang tak bisa lagi ditunda—tanpa dia tahu kapan aku akan melakukannya. Bahkan dengan mata tertutup, aku bisa melihat sebuah asrama di semesta ingatanku—dan dia di sana, tetap di depanku. Tapi semua hanya tinggal kenangan.
Semua yang kulontarkan, terus berputar dalam pikiranku—hingga kata terakhir pun ingin pulang… kepada orang yang pernah.
Cakep
BalasHapus