Bima
Di dalam rumah yang sepi, tanpa penghuni kecuali debu dan
dinding yang mengelupas, seorang anak kecil tinggal di sana. Wajahnya kusam,
perutnya lapar. Tak ada suara keceriaan, tak ada langkah kaki yang hangat.
Hanya sunyi yang menemani. Di bajunya tersemat nama: BIMA.
Anak itu hidup sendiri, tanpa kehadiran orang tua. Dulu ia
tinggal di panti asuhan. Tapi suatu hari, saat ada acara besar di panti, Bima
keluar sebentar untuk membeli jajanan. Namun takdir berkata lain—ia diculik
oleh sekelompok penjahat. Sejak saat itu, hidupnya terlempar ke jurang gelap
tanpa dasar.
Kabar burung yang pernah terdengar mengatakan bahwa Bima
adalah anak hasil hubungan yang tak diinginkan. Ibunya, belum siap menjadi
orang tua, membuangnya begitu saja. Tak ada kabar sejak itu. Semua itu hanya ia
dengar dari bisikan samar koran tua yang tertimbun debu.
"Dalam riuhnya pintu yang selalu terbuka, kosongnya
rumah yang tak punya suara, dan sunyinya hatiku… aku bosan. Bosan dengan hidup
yang menusuk seperti paku karat. Penjahat itu… tak pernah mengerti aku. Dan
aku? Aku bahkan tak mengenal siapa diriku sendiri."
"Aku muak. Anak-anak seusiaku menatap dengan jijik,
menertawakanku. Lelah jadi teman dzikirku, penderitaan jadi tuhan yang
kupuja-puja. Aku tidak mengenal ibadah. Tidak seperti anak-anak lain di luar
sana yang bisa tersenyum sambil melafalkan doa. Aku? Aku hanya tahu
bertahan."
Menahan lapar sudah seperti rutinitas. Rasa sakit bahkan
sudah lewat dari kata "biasa". Ia tidak tahu kenapa namanya Bima.
Tapi katanya, di panti dulu, ada sepucuk surat di sampingnya saat ia ditemukan.
Surat dari ibunya, dengan tulisan: “Namanya Bima Sakti. Seperti galaksi, dan
juga pahlawan pewayangan.”
Tapi baginya, nama itu tak pernah mencerminkan hidupnya.
Setiap hari, Bima mengamen di pinggir jalan. Suaranya merdu,
tapi penuh luka. Kadang ia menangis saat bernyanyi. Saat masuk rumah makan,
anak-anak sering tertawa sambil menunjuk. Orang tua mereka berbisik: “Nak,
jangan sampai jadi seperti dia.”
Telinga Bima sudah bebal. Rasa pun telah mati. Ia hanya
menampilkan wajah datar—tanpa senyum, tanpa sedih.
Suatu malam, ketika tidur beralaskan tumpukan koran di teras
toko kosong, ia menemukan sebuah berita lama. Tertulis dengan tinta pudar: “Seorang
ibu buang bayinya di depan panti asuhan… hanya meninggalkan nama: Bima Sakti.”
Matanya membelalak. Ia membaca berulang kali. Tangan
bergetar. Dadanya sesak.
“Aku? Aku anak haram? Anak buangan? Anak sialan… kenapa
aku harus lahir kalau hanya untuk dibuang seperti sampah?”
Sejak malam itu, hidupnya makin hancur. Krisis identitas
merobek jiwanya. Ia mulai menyalahkan Tuhan. “Jika Engkau ada, kenapa aku
seperti ini?” gumamnya dalam isak.
Hari berikutnya, Bima tetap mengamen. Tapi hasilnya buruk.
Hatinya tak stabil, pikirannya kacau.
Saat ia menyerahkan uang ke lelaki bernama Ardi—penjahat
yang selama ini memaksanya mengamen—Ardi langsung memukulnya.
“Kau malas, hah?! Mana uangnya?!”
Bima tak menjawab. Tapi untuk pertama kali, ia melawan. Ia
memukul balik. Namun tubuhnya kecil, ringkih. Ia dihajar habis-habisan. Darah
mengalir dari bibirnya.
"Pukul saja… pukul sampai aku mati! Aku memang nggak
pantas hidup!"
Ardi terdiam. Tangan yang tadi mengayun, kini menggantung.
“Kenapa kau bilang begitu?”
“Karena aku anak yang dibuang! Aku bahkan nggak tahu siapa
diriku! Hidupku cuma luka dan kelaparan! Jadi… kenapa nggak habisi saja aku
sekalian?!”
Diam. Ardi memandang Bima. Untuk pertama kalinya, matanya
tak hanya berisi amarah—tapi iba. Ia menarik napas, lalu membopong tubuh kecil
itu keluar dari rumah kumuh tempat mereka tinggal.
“Aku cuma suruhan, Bim… aku juga cari makan,” kata Ardi
pelan.
“Jangan sok peduli sekarang,” gumam Bima lirih.
“Aku tahu aku salah… tapi aku manusia juga. Kalau kamu mau
cerita… aku dengar.”
Bima diam. Tapi perlahan ia bercerita—tentang panti, tentang
surat, tentang koran itu, tentang luka yang menumpuk. Ardi hanya mendengar,
tanpa menyela.
“Aku janji… aku nggak akan sakiti kamu lagi. Aku akan jaga
kamu sampai kamu bisa berdiri sendiri.”
Bima memalingkan wajah, matanya basah. Tapi untuk pertama
kali… ia merasa didengar.
Hari demi hari berjalan. Ardi tak lagi menyuruhnya mengamen.
Ia mulai mencari kerja halal. Bima—meski belum sepenuhnya pulih—mulai belajar
menulis, membaca, dan mengerti hidup bukan hanya soal asal-usul.
Pada suatu sore, mereka duduk di taman kota. Matahari mulai
tenggelam, cahaya keemasan menimpa wajah Bima.
“Kenapa kamu masih panggil aku Bima?”
“Karena kamu memang Bima,” jawab Ardi. “Pahlawan pewayangan
itu juga hidup dalam derita sebelum jadi kuat.”
Bima tersenyum. Tipis. Tapi nyata.
Untuk pertama kali, ia merasa bukan sekadar anak yang
dibuang langit—tapi anak yang akan menulis ulang takdirnya sendiri.
Komentar
Posting Komentar