Gelap di Bawah Lampu Merah

Suara kota begitu bising. Bahkan kucing-kucing kota pun terbangun, tak bisa tidur. Orang-orang tidur di pinggir ruko yang telah tutup, menanti pagi datang. Sementara itu, aku dan dua kawanku, Bagas dan Ardi, menyanyikan lagu-lagu lama dengan ukulele butut demi sekeping recehan untuk mengisi perut kosong. Malam ini, aku belum makan.


Namaku Pradana. Sehari-hari, aku mengamen di jalanan. Bagas dan Ardi, teman-temanku, sama sepertiku—keturunan Tionghoa, yatim piatu sejak malam kelam yang tak pernah hilang dari ingatan: malam kerusuhan, malam di mana keluargaku dibantai karena kami dianggap berbeda. Tidak ada keadilan setelah itu. Tidak ada pertanggungjawaban. Hanya gelap yang tersisa di hatiku—gelap yang menyatu dengan malam-malam seperti ini.


Jalanan adalah rumahku. Negara? Hanya penjara tanpa jeruji. Aku tak tahu fungsinya apa. Yang aku tahu, mereka datang membawa kamera dan makanan satu kali, lalu pergi lagi. Semua hanya demi momen. Tak pernah kembali.


Kami terus bernyanyi. Kadang ada yang memberi tepuk tangan, lebih sering kami ditolak. Kadang dipanggil dengan kata-kata rasis karena darah Tionghoa kami. Kami juga sering dipalak oleh orang dewasa yang memaksa kami menyerahkan uang dari saku celana.


Di bawah lampu merah, tubuhku lelah. Ada dendam mengendap lama di dadaku. Andaikan aku punya kuasa, ingin rasanya membalas semua yang telah membuat hidupku seperti ini. Kalau bukan karena kerusuhan itu, mungkin aku masih punya rumah. Mungkin aku masih punya ibu.


Malam itu, kami sedang berjalan mencari tempat manggung berikutnya. Tiba-tiba terdengar suara orasi—keras, marah. Aku terdiam. Suara itu seperti gema masa lalu. Lama-lama, makin nyaring, makin dekat. Firasatku benar. Ada ribuan orang turun ke jalan. Polisi mulai mengepung. Aku gemetar. Ketakutan menelan akalku. Jangan-jangan, aku lagi-lagi dijadikan kambing hitam.


"Lari," pikirku. Hanya itu. Aku mengajak Bagas dan Ardi untuk pergi, tapi Bagas malah terpaku, menikmati keramaian. “Ikutlah,” kataku. Tapi dia menolak. “Pergi saja duluan,” jawabnya. Aku memohon, memperingatkan. Tapi gagal. Akhirnya aku dan Ardi pergi. Ardi selalu menurut. Dia memang penakut.


Kerusuhan pecah. Water cannon menyapu massa. Molotov dilempar. Rumah dibakar. Fasilitas umum hancur. Jalanan jadi neraka. Polisi menyerbu, memukuli siapa pun yang dianggap dalang. Tak peduli siapa.


Aku dan Ardi bersembunyi di bawah kolong jembatan—tempat biasa kami beristirahat. Tapi entah kenapa, seorang polisi tiba-tiba datang dan menghajarku tanpa peringatan. Kami ditangkap. Tuduhannya? Kami pakai kaos hitam. Tanpa tanya, tanpa ampun.


“Tolong, Pak! Kami cuma pengamen jalanan!” teriakku.


Tapi tak ada yang peduli.


Kami dibawa ke kantor polisi. Diperiksa. Aku tahu kami tak bersalah. Tak ada bukti. Akhirnya, polisi hanya tersenyum hambar dan membebaskan kami tanpa sepatah kata.


Tubuhku penuh luka. Aku berjalan tanpa arah. Semua hancur. Yang tersisa hanya aku—sendiri.


Esoknya, aku dengar kabar. Ternyata Bagas yang memberi tahu polisi tentang orang-orang berbaju hitam yang lari ke kolong jembatan. Katanya ia melihat mereka masuk ke sana. Hatiku hancur. Aku marah. Aku samperin Bagas.


“Betul kamu yang kasih tahu polisi soal kolong jembatan?” tanyaku.


Dengan tenang, ia menjawab, “Iya. Aku lihat sendiri.”


Tanpa sadar, tinjuku melayang ke wajahnya. Ardi menahanku.


“Dengar dulu!” kata Ardi. “Bagas lihat seseorang melempar batu ke mobil polisi, orang itu pakai baju hitam dan lari ke arah kolong. Dia cuma bilang ke polisi, bukan nuduh kamu.”


Aku terdiam. Menyesal. Emosi membutakan segalanya. Lagi-lagi aku salah. Luka lama belum sembuh, kini ditambah luka baru. Entah sampai kapan semua ini berakhir. Entah sampai kapan gelap ini akan sirna.

Komentar

Postingan Populer

Ular Melingkar-Melingkar di Atas Pagar

Pulang Kepada yang Pernah

Manusia yang Belum Mampu Menerima Kenyataan: Sebuah Takdir yang Telah Terjadi