Menelusuri Kudeta Libya 1969: Dari Naskah Rahasia CIA ke Suara Gaddafi

 

Pada malam hari dengan awan yang mendung, saya menyusuri naskah-naskah yang telah dirahasiakan terhadap publik. Naskah itu adalah laporan intelijen dari CIA. Saya baca naskah “MEMO TO HENRY KISSINGER – September 9, 1969.” Naskah itu memberitahu saya bahwa kudeta yang dialami Libya ini adalah penggulingan Raja Idris pada 1 September secara mendadak atau mengejutkan. Kudeta ini juga mengguncang seluruh kelas penguasa di Libya, serta mengejutkan negara-negara Arab dan Uni Soviet. Naskah ini menyebutkan bahwa penyebab dari kudeta ini adalah korupsi yang meluas, kebijakan luar negeri Libya yang pasif dan defensif, serta sistem pemerintahan yang melemah dan tidak menentu. Raja juga sering mengambil keputusan secara sepihak, contohnya saat ia memberhentikan Perdana Menteri Abdul Hamid Bakkush secara tiba-tiba.

Saya melihat dari naskah ini sebuah kepiluan, di mana kemerdekaan seharusnya menjadi jalan menuju kebebasan, namun dalam kenyataannya justru membawa isolasi dan kemiskinan yang semakin meluas di Libya. Negara tidak memberikan jaminan hidup yang layak, karena serikat buruh dikendalikan oleh negara. Mahasiswa sering dibungkam oleh pemerintah. Naskah ini juga menyebutkan bahwa yang memicu kudeta ini adalah radikalisasi opini publik Arab, di mana Perang Arab-Israel tahun 1967 mendorong militer Libya melakukan desersi ke Mesir dan menciptakan kekacauan di dalam negeri. Pemerintah terlibat dalam praktik korupsi, sementara anggaran negara melonjak dari $6 juta (1961) menjadi $1 miliar (1968). Namun, kekayaan itu tidak menetes ke rakyat.

Korupsi justru meluas, bahkan melibatkan perusahaan asing. Pendapatan minyak meningkat tajam setelah penutupan Terusan Suez pada 1967. Sementara itu, Raja Idris telah memasuki masa krisis kepemimpinan sejak pertengahan 1960-an. Ia semakin menjauh dari urusan pemerintahan dan tidak mampu memimpin secara efektif. Bahkan, yang membuat saya tertawa, ia pernah tertidur saat pertemuan dengan Duta Besar AS, dan sempat mengusulkan menjadikan Libya sebagai republik melalui keputusan kerajaan. Empat perdana menteri telah berganti dalam kurun 1966–1968.

Kemudian saya menyelami sosok Colonel Muammar Muhammad al-Qadhafi. CIA menyusun laporan khusus tentang Muhammad Gaddafi, yang menggambarkan ia sebagai sosok perwira muda yang karismatik namun penuh misteri, tokoh utama dari Dewan Komando Revolusioner Libya (RCC) yang menggulingkan Raja Idris. Dalam laporan CIA tahun 1974 berjudul "Colonel Muammar Muhammad Qadhafi – Biografi Dinas Intelijen", Qadhafi digambarkan sebagai pribadi yang digerakkan oleh campuran ideologi nasionalisme Arab, keyakinan keagamaan yang kuat, dan hasrat membara untuk membebaskan Libya dari bayang-bayang kekuatan asing.

Menurut laporan itu, Qadhafi percaya bahwa dirinya memiliki misi suci untuk memimpin kebangkitan bangsa Arab. Ia sangat terpengaruh oleh Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser, namun digambarkan lebih radikal. CIA menyebut Qadhafi memiliki "keyakinan absolut akan kebenaran dirinya sendiri" dan mulai mengidentifikasi dirinya sebagai penyelamat bangsa. Ia tidak hanya melihat dirinya sebagai pemimpin politik, tetapi juga sebagai reformis moral dan spiritual. CIA bahkan memperingatkan bahwa "Qadhafi tidak dapat dibujuk melalui logika diplomatik biasa" karena pola pikirnya sangat dipengaruhi oleh emosi dan visi ideologisnya.

Yang lebih mengejutkan lagi adalah cara CIA menggambarkan gaya kepemimpinan Qadhafi yang semakin soliter dan terpusat. Ia tidak mempercayai banyak orang di sekelilingnya dan sering mengambil keputusan penting secara pribadi tanpa konsultasi dengan anggota RCC lainnya. Ia mengendalikan seluruh aspek negara: dari militer, media, ekonomi, hingga pendidikan. Bahkan, laporan itu menyebutkan bahwa ia kerap menggunakan media sebagai alat untuk menyebarkan visinya langsung kepada rakyat Libya, melewati jalur-jalur kelembagaan resmi.

Qadhafi juga dikenal sangat curiga terhadap Barat. CIA mengutip pernyataannya yang terkenal, bahwa Inggris dan Amerika harus membuktikan niat baik mereka melalui tindakan, bukan janji. Di mata Qadhafi, semua kerja sama dengan Barat adalah hal yang mencurigakan karena berisiko menempatkan Libya kembali dalam ketergantungan. Pandangan ini kemudian ia wujudkan dalam tindakan konkret: mengusir perusahaan minyak asing, menasionalisasi aset-aset strategis, dan mengubah Pangkalan Udara Wheelus—yang dulu milik AS—menjadi simbol kedaulatan militer Libya.

Selain itu, Qadhafi juga menunjukkan ambisi untuk memperluas pengaruh revolusinya ke luar negeri. Dalam laporan CIA tahun 1974 disebutkan bahwa Libya di bawah kepemimpinannya telah mulai menyuplai dana dan senjata ke kelompok-kelompok radikal di Afrika dan Timur Tengah, serta mencoba menjatuhkan pemimpin Palestina, Yasser Arafat, karena dianggap terlalu moderat. Ia juga menjalin hubungan lebih erat dengan Uni Soviet dan negara-negara Blok Timur, terutama dalam hal persenjataan dan pelatihan militer.

Membaca itu, saya merasa bahwa Qadhafi bukan sekadar tokoh militer yang melakukan kudeta, tetapi seorang pemimpin ideologis yang berani—berani menantang Barat, berani melawan elite lama, dan berani meyakini bahwa Libya yang kecil bisa berdiri sendiri di panggung dunia. Namun di sisi lain, keyakinan yang mutlak tanpa batas itu juga membuatnya sulit diajak berdialog, bahkan oleh sekutunya sendiri.

Dan saya semakin seru membaca naskah ini ketika melihat pernyataan dari wawancara di tahun 1969, Gaddafi yang mengatakan bahwa Inggris dan Amerika harus membuktikan lewat tindakan dan jangan hanya memberi janji. Ini menjadi salah satu awal mula sikap anti-Barat Libya.

Lalu saya dikagetkan dengan karakter Gaddafi ini, pasalnya dalam sudut pandang gurunya dan pengamat Barat, ia begitu intens, emosional, dan sulit diajak bekerja sama. Karena itulah Gaddafi sulit dijinakkan oleh bangsa Barat, sebab ia tidak mau terlibat dalam perjanjian yang merugikan Libya. Dan Gaddafi tahu bahwa Amerika dan bangsa Barat punya agenda tersembunyi: menguasai minyak dan Terusan Suez sebagai jalur perdagangan internasional.

Dari bibit nasionalisasi yang melepaskan diri dari dominasi Barat, dalam laporan Central Intelligence Bulletin disebutkan bagaimana Pangkalan Udara Wheelus diubah menjadi milik Libya—yang sebelumnya milik AS. Hal ini menunjukkan bahwa negara Libya ingin mandiri, tanpa campur tangan kekuatan asing. Pemerintah revolusioner baru tidak langsung menutupnya secara paksa, tetapi mulai menyusun strategi nasionalisasi secara diplomatik dan terencana.

Setelah itu, saya membaca The Story of the Libyan Revolution as Told by Col. Muammar Gaddafi, sebuah catatan dari Gaddafi sendiri. Dalam organisasi yang dipimpinnya, Gaddafi memiliki peraturan yang unik, yaitu anggotanya dilarang minum alkohol, berjudi, dan pergi ke tempat hiburan malam. Mereka diwajibkan salat harian, memperdalam ilmu, serta kuliah di universitas. Di dalam organisasi itu, para anggota menunjukkan loyalitas luar biasa. Gaji mereka, termasuk para perwira komite, disetorkan penuh ke Dana Pergerakan untuk menutup biaya operasional organisasi. Gerakan ini tidak pernah bocor karena anggotanya sangat profesional dalam menjaga kerahasiaan.

Satu hal yang membuat saya kagum dan cinta terhadap beliau adalah bahwa Gaddafi pernah belajar dan Menjadi Mahasiswa ilmu sejarah di Universitas Libya. Dalam laporan CIA disebutkan: “He finished high school in Misurata. He then studied history for one year at the University of Libya.” Ini membuktikan bahwa anak sejarah adalah calon pemimpin masa depan.

 

Daftar Pustaka

Central Intelligence Agency. (1969, September 9). Memo to Henry Kissinger. Declassified Intelligence Document. Retrieved from CIA Reading Room. 

Central Intelligence Agency. (1969, November 1). Central Intelligence Bulletin. Declassified Intelligence Document. Retrieved from CIA Reading Room. 

Central Intelligence Agency. (1970, March). Colonel Muammar Muhammad al-Qadhafi. Biographic Report. Declassified Intelligence Document. Retrieved from CIA Reading Room. 

Central Intelligence Agency. (1980). The Issue to Assess Our Exchanges with Qadhafi. Declassified Intelligence Memo. Retrieved from CIA Reading Room. 

Gaddafi, M. (n.d.). The Story of the Libyan Revolution as Told by Col. Muammar Gaddafi. Revolutionary Leadership Document. 

 

 


Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer

Ular Melingkar-Melingkar di Atas Pagar

Pulang Kepada yang Pernah

Manusia yang Belum Mampu Menerima Kenyataan: Sebuah Takdir yang Telah Terjadi