Aku Membayangkan Manusia Berdialog dengan Sejarah
Semester dua, sudah hampir aku lewati. Namun, aku belum menemukan setitik bayanganku sewaktu aku duduk di bangku sekolah. Di saat itu, aku membayangkan bahwa seluruh teman-temanku, kakak tingkatku, di waktu senggangnya membicarakan, mendiskusikan sejarah. Budaya historis melekat di dalam keseharian mereka karena sudah menjadi bagian dari pendidikan sejarah. Namun, aku belum menemukan itu saat aku menjadi bagian dari lingkungan ini. Mungkin bayanganku terlalu berlebihan. Bayangan pada saat itu indah untuk mengantarkanku kepada keingintahuanku terhadap sejarah. Sayangnya, bayang tetaplah bayang; hanya bisa diingat namun tidak bisa dipegang. Tidak bisa terwujud atas kehendakku sendiri.
Sejarah identik dengan hafalan tanpa akhir. Angka, tahun, nama, dalam putaran yang tak ada habisnya. Tampaknya membosankan ketika sejarah dibawa ke jalan yang sepi, tanpa dialog, tanpa diskusi lebih lanjut. Sejarah hanya berada dalam diskusi di kelas kuliah saja. Padahal, sejarah terbuka di luar waktu kuliah. Banyak waktu untuk mendalami sebuah teka-teki yang masih membingungkan dan membakar daya pikir kritis, terutama saat saling berdialog bersama sejarah. Identitas ini akan musnah jika sejarah tidak ditempatkan di ruang yang ramai akan pertanyaan kritis, bukan pertanyaan yang tidak penting dan sekadar formalitas.
Ketika selesai kuliah, mungkin kebanyakan anak sejarah (aku sebut “anak sejarah” saja karena lebih cocok untuk menggambarkan teman-teman dan kakak tingkatku), mereka sudah lelah bergelut dengan data dan pertarungan debat sengit antar mahasiswa. Menurut hematku, itu tidak menambah keingintahuan atas materi yang pernah dibahas. Setelah dibahas, ditaruh di rak. Tidak ada kehidupan kembali. Tak membekas di ingatan, tak mengandung makna dalam materi itu. Dan lagi-lagi, sejarah akan terjerumus ke dalam lubang kesepian.
Seharusnya, mahasiswa sejarah bisa menghidupkan kembali sejarah lewat obrolan santai tapi berisi. Dimaklumi bahwa tidak semua masuk pendidikan sejarah karena minat, namun berbagai alasan yang tidak bisa disebutkan satu per satu. Ada satu alasan yang paling dominan, yaitu salah jurusan. Bisa diterima. Namun pilihan yang sudah diterima harus dipertanggungjawabkan sendiri. Memulai suka dengan sejarah itu seperti kita menemukan hobi. Sejarah itu lentur, mengikuti minat kita terhadap sesuatu. Misalnya, kita minat kepada video games. Kita pasti paham fitur-fiturnya dan hero-heronya, dan hero pun punya nilai historis. Di situlah kita bisa menemukan hal menarik dari apa yang kita sukai. Mulai dari situlah kita dekati sejarah, selayaknya jodoh kita.
Cara pikir sejarah itu tidaklah kaku seperti es batu. Ia harus lentur dan lincah. Jika kita bingung, itu pertanda kita sedang berpikir. Jika itu terjadi pada dirimu, mulailah bertanya dari kebingungan itu. Cari jawaban lewat buku, artikel jurnal. Jika tidak sempat, diskusikan kepada teman yang lebih paham.
Membeku di otak itu wajar karena kita belum bisa mencairkannya. Dan biasanya, pencairan itu datang dari api. Api itu ibarat pertarungan perbedaan pendapat dalam diri sendiri atau dengan orang lain. Otak kita akan berpikir saat ada penentangan terhadap apa yang sebelumnya kita yakini. Di fase itulah otak akan mencair dengan sendirinya, karena kita terbiasa berdiskusi dan berpikir, bahkan dalam kepala sendiri, dengan membawa perbedaan di dalamnya.
Kembali kepada bayangan yang belum pernah saya temukan di sini. Belum benar-benar nyata di depan mataku sendiri, bahkan hingga kini. Sejarah itu butuh diperhatikan dan diajak berdialog. Jika sejarah didiamkan atau hanya sekadar alat kelulusan, sejarah akan menjadi artefak yang tidak berarti. Jauh dari makna. Penempatan sejarah di benak mahasiswa sejarah perlu dipertanyakan esensinya dan bukti nyatanya. Aku hanya bisa menunggu sejarah dihidupkan oleh sekumpulan anak sejarah yang berseru, mengkritik kebijakan pemerintah atas penulisan sejarah Indonesia. Di dalamnya, isu-isu seperti katanya sejarah kelam Orde Baru dihilangkan.
Sampai detik ini, aku belum mendengar cuitan anak sejarah mendobrak batas-batas ketidakjelasan sejarah di negeri ini. Mereka hanya mengikuti alur seperti apa yang dikatakan. Apakah itu sifat calon sejarawan sejati? Tidak berani beda atas pendapatnya? Sejarah juga perlu diajak berdialog dengan kata-kata yang keluar dari mulut anak sejarah itu sendiri. Niscaya, jika sejarah dibicarakan terus di kampus, maka benderang sejarah akan menerangi karya-karya para pendahulu. Karena sudah ditempatkan di tempatnya. Tidak digunakan hanya saat "ada maunya". Tugas dan ujian tidak lagi menjadi tradisi mencari nilai tinggi, tetapi bisa mengasah daya pikir kesejarahan.
Sejarawan itu sama dengan sastrawan. Bedanya, sejarawan berfokus pada masa lalu, membangun ingatan agar terjaga dengan baik. Namun, sejarawan juga bisa meminjamkan diksi-diksi indah kepada sastrawan untuk menghidupkan sejarah agar bisa dibaca dan dirasakan oleh pembacanya. Sayangnya, banyak dari kami belum mampu menulis masa lalu dengan perspektif historis yang tajam. Ini menjadi pekerjaan rumah bersama bagi kita semua. Oleh karena itu, budaya menulis di lingkungan ini perlu terus ditumbuhkan, karena setiap individu sebenarnya memiliki potensi untuk menghasilkan karya menarik. Sayangnya, kesempatan ini seringkali tidak dimanfaatkan secara maksimal. Untungnya, masih ada tugas-tugas yang menjadi sarana latihan menulis. Namun, sayangnya masih ada yang memakai teknologi secara tidak etis, hanya menyusun ratusan kata tanpa usaha dan tanpa keterlibatan pribadi dalam proses menulis.
Disayangkan sekali jika anak sejarah ini tidak mampu menulis kembali masa lalu. Rumit memang membahas sejarah karena harus mengumpulkan dokumen-dokumen yang usang, memeriksa dokumen itu dengan teliti, dan menafsirkan dengan bekal teori yang sudah diberikan. Kemudian menuliskannya untuk pembaca yang ingin tahu. Hidup dan matinya sejarah tergantung penulisnya. Apakah penulis bisa menghidupkan sejarah dengan gaya bahasanya, atau justru mematikan makna dengan sekadar menyajikan deskripsi masa lalu tanpa nyawa. Makna ditinggalkan, sekadar formalitas pada akhirnya.
Sebelum menulis adalah membaca. Dan sebelum membaca adalah mencari topik. Hal-hal seperti ini perlu keinginan yang lebih, karena keingintahuan kita akan membawa kepada ketahuan kita atas cakrawala ilmu yang kita dapat. Membaca adalah kegiatan menelusuri samudra kata-kata. Setiap bab, setiap paragraf, kita menemukan hal baru. Hal yang mengejutkan. Hal itu bisa menjadi ide tulisan atau bahan diskusi dengan teman. Karena menyibukkan diri dengan kata dan data sejarah akan memperkaya cakrawala keilmuan sejarah kita nantinya.
Saya sendiri pun masih bingung dengan sejarah. Saya masih butuh tempat diskusi yang bisa menawarkan ruang untuk membahas, misalnya, perang dunia ketiga jika mungkin terjadi, dengan menilik akar sejarah yang pernah ada. Kemungkinan-kemungkinan itu sudah tertulis dalam lembaran-lembaran sejarah. Mungkin saya tak tahu kalau teman-teman saya sudah berdiskusi sejak lama dan tidak perlu dipublikasikan. Atau mungkin teman-teman saya sudah banyak yang menulis selain tugas. Hanya saya yang tertinggal dari semuanya.
Maka dari itu, saya butuh bimbingan dari teman-teman. Karena saya butuh belajar dan berkarya dalam melestarikan ingatan kolektif masa lalu yang tidak akan usang walau ditelan zaman. Zamannya lapar, makanya mau makan sejarah. Tapi menurut saya, tidak bisa. Karena sejarah akan terus hidup jika ada yang peduli, menuliskan, dan mendiskusikannya. Sejarah akan punya tempat hidup, di tempat yang semestinya, yaitu di dalam wadah pertanyaan tanpa akhir.
Komentar
Posting Komentar