Jendela Rumahku
Jendela Rumahku
Di malam hari, dengan kesepiannya.
Tidak ada suara-suara di luar rumahku.
Hanya suara kipas angin dan isi hatiku yang sibuk.
Setiap sudut rumah terasa gelap oleh cahaya lampu kuning yang menggantung lesu.
Tidak terlalu terang, tidak juga sepenuhnya gelap.
Cukup untukku membaca puisi kemarin malam.
Aku berjalan, berputar-putar mengelilingi tiap sudut rumah tanpa alasan yang jelas.
Mungkin hatiku yang bersisik itu membuatku melangkah tanpa arah.
Sampai akhirnya aku berhenti di depan jendela.
Aku memandangi jendela itu.
Tertutup rapat, sama seperti pintu-pintu dalam rumah ini.
Dan aku merasa, jendela itu seperti diriku.
Tertutup oleh banyak hal dari dunia luar.
Cerita-cerita yang kumiliki kusimpan sendiri, tak banyak yang tahu.
Aku pun sulit berinteraksi dengan orang lain—seperti jendela yang tak pernah dibuka.
Kaca jendela itu memantulkan wajah kusam ku
Dengan nuansa gelap malam yang merayap ke dalam.
Aku melihat bayangan diriku sendiri.
Terdiam.
Ingin berbicara pada pantulan itu.
Yang sebenarnya adalah aku sendiri.
"Hei, kamu yang selalu diam, saat yang lain tertawa menikmati masa-masa sekolah," ucapku lirih.
Diam.
Tak tahu harus berkata apa lagi.
Lalu, tiba-tiba dari hatiku, kata-kata lain mengalir keluar melalui lisanku:
"Hei kamu, mengapa kamu selalu saja diam saat mereka menghina dan mengejekmu?"
Suara itu pelan, tapi penuh sedih.
Tanpa sadar, aku membuka jendela itu secara spontan.
Dan bayangan di kaca langsung lenyap, digantikan oleh jalan yang sepi di luar sana.
Untungnya, suara yang cukup keras itu tak membangunkan orang rumah.
Aku memaki diriku dalam hati.
Penuh amarah.
Penuh sesal.
Mengapa harus hidup seperti ini?
Tanpa air mata.
Tanpa suara.
Cuma ada jeritan dalam dada.
"Aku ini penakut," kataku pelan,
"Hanya bisa diam. Dunia memaksaku terus hidup, padahal aku seperti tidak bergerak.
Tak ada perubahan.
Hidupku penuh kekurangan.
Penuh cadel yang dijadikan bahan tawa.
Orang-orang itu melahirkan nestapa di tengah kelas, di taman bermain—
tempat yang seharusnya jadi ruang tenang—
tapi tidak untukku.
Karena aku selalu saja diperlakukan seperti ini."
Diam.
Lagi.
Kembali menatap jendela.
Dalam kepalaku, jendela itu benar-benar aku.
Aku selalu membuka jendela itu, dan membiarkan semua omongan masuk.
Tawa-tawa jahat, cemooh, pandangan yang membuat dadaku sesak—
masuk bersama-sama.
Dan aku tak menutup jendela itu.
Atau lebih tepatnya: *jendela hatiku.*
Padahal dunia di luar terlalu jahat.
Tapi aku tetap kesal,
tetap sakit setiap mendengar ucapan teman-temanku.
Aku sudah mencoba menutup rapat-rapat jendela hatiku.
Tapi kenapa tetap saja ada yang masuk?
Apa mungkin etalasenya tak benar-benar tertutup?
Apa mungkin jendela itu terlihat tertutup saat aku sendiri,
tapi terbuka lebar saat aku berada di tengah orang-orang yang menggerus hatiku
hingga sekarat seperti ini?
Malam itu, jendela masih terbuka.
Nyamuk-nyamuk mulai masuk, menggigit kulitku.
Gatal rasanya.
Aku bangkit dan menutup jendela itu kembali.
Kaca jendela menampilkan bayanganku lagi.
Dan kali ini, aku mencoba menerima semua yang ada.
Menerima bukan berarti menyerah.
Bukan juga berarti pasrah.
Tapi menerima bahwa aku bisa merasakan semua ini tanpa harus tenggelam selamanya.
Malam makin larut.
Aku duduk di bawah jendela itu, memeluk lututku.
Suara kipas angin masih sama, tapi pikiranku mulai tenang.
Aku mulai sadar—bahwa aku bisa berbicara.
Bukan dengan suara keras,
tapi lewat kata-kata yang kutulis.
Dan malam ini, aku menulis.
Bukan karena aku kuat,
tapi karena aku tak ingin lenyap.
Aku ingin suatu hari nanti,
ada yang membaca tulisan ini dan berkata,
"Aku pernah merasa seperti itu juga."
Agar luka-luka ini tidak sia-sia.
Agar keheningan ini tidak hanya jadi penjara.
Dan jendela rumahku,
yang tadi menakutkan,
kini menjadi saksi.
Saksi bisu bahwa aku akhirnya bisa bicara,
meski hanya lewat tulisan yang ditinggalkan m
Balam.
******************”*****”**”*********”****************************************
Rangkasbitung, 14 Juli 2025.
Komentar
Posting Komentar