Langsung ke konten utama

Melati

 

Ketika kemarin saya baru saja pulang dari danau di dekat rumahku, aku berjalan pelan menyusuri jalan setapak, membiarkan pikiranku kosong sambil menikmati angin sore. Hari itu terasa damai. Hening. Namun, bukan hanya keheningan yang membuatku merasa tenang. Ada aroma bunga yang menyelinap pelan ke dalam napasku. Awalnya kupikir itu aroma mawar. Karena memang ada pohon mawar yang rindang di pinggir jalan, dengan ratusan bunga yang mekar serempak. Indah, seolah-olah saling bekerja sama memperlihatkan pesonanya.

Tapi bukan itu. Bukan mawar. Aroma itu lebih lembut, lebih halus, dan lebih tajam di ingatan. Itu aroma melati. Saat aku menyadarinya, langkahku terhenti. Aroma itu menusuk pelan ke dalam dada. Seolah menyentuh bagian yang selama ini lupa disentuh. Aku menghirupnya dalam-dalam. Rasanya hidup ini perlu berhenti sebentar. Untuk diam. Untuk meresapi kesegaran aroma melati yang membelai hati dengan cara yang sederhana. Meluruhkan kekacauan yang menumpuk di kepala. Membuat panas di otak perlahan berubah menjadi dingin yang menenangkan.

Aku tidak sedang menemukan keindahan, tapi menemukan keabadian. Perasaan bahwa hidup ini belum habis. Bahwa kesempatan masih panjang untuk melangkah lebih jauh. Bahwa tidak semua hal harus dijelaskan dengan logika. Kadang, seperti aroma melati, cukup dirasakan saja.

Tapi anehnya, di balik semua ketenangan itu, ada sesuatu yang ganjil. Melati sering dianggap bunga angker. Banyak orang bilang bahwa bau melati adalah pertanda hadirnya roh halus. Katanya, bunga itu memberi ruang untuk jin, setan, dan arwah penasaran berkumpul dan berpesta. Katanya, manusia yang menghirup aromanya bisa saja diganggu. Tapi aku bertanya dalam hati, apa mereka merasa terganggu oleh keberadaan manusia? Apa mereka marah karena kita ikut menikmati bau yang mereka klaim milik mereka?

Aku ingin tahu. Ingin berdiplomasi. Ingin bicara baik-baik pada roh halus itu kalau memang mereka benar ada. Bahwa manusia juga butuh ketenangan. Butuh aroma melati untuk menyembuhkan luka-lukanya. Tapi kemudian aku ingat. Ketakutanku ini bukan berasal dari bisikan hantu. Tapi dari cerita orang-orang yang mengaku paham dunia gaib. Dari kata-kata yang kadang penuh keyakinan tapi belum tentu kebenarannya. Dan aku, entah kenapa, pernah percaya begitu saja. Padahal, bisa jadi semuanya hanya mitos yang diwariskan dari mulut ke mulut.

Ketakutan dan kedamaian. Keduanya datang silih berganti, kadang bersamaan. Seperti saat aku menghirup bau melati itu. Aku takut. Tapi aku juga tenang. Aku merasa sendiri. Tapi tidak merasa kesepian. Ada semacam pelukan yang tidak terlihat, tapi terasa. Seperti alam semesta sedang berkata, tidak apa-apa untuk takut. Asal kamu terus berjalan.

Melati membuatku mengingat diriku sendiri. Membuatku melihat bayangan masa kecilku yang penuh tanya. Aku pernah takut akan banyak hal. Tapi hari ini, aku berdiri di bawah pohon melati, dan mencoba berdamai dengan ketakutanku sendiri. Tidak semua hal harus dihindari. Kadang, kita hanya perlu mengenalnya lebih dalam.

Mungkin melati itu bukan bunga kematian seperti yang banyak orang bilang. Mungkin justru sebaliknya. Ia bunga kehidupan. Yang membawa kita kembali pada rasa yang sudah lama hilang. Rasa damai. Rasa cukup. Rasa tenang saat kita sendirian.

Melati, dengan aroma yang tidak pernah marah, mengajarkanku bahwa hidup ini tidak perlu terlalu ribut. Cukup duduk sejenak, hirup dalam-dalam, dan biarkan melati berbicara pada hati yang paling sunyi.

 

 

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Negeri yang Demam oleh Amarah

  Stres berkepanjangan membuat saya terus bertanya pada diri sendiri, mengapa kepala saya dipenuhi masalah dan ketakutan yang menghantui. Lemas dan letih rasanya menghadapi keadaan ini, apalagi melihat situasi yang genting. Kerusuhan dalam diri tak lagi bisa dibendung, penjara ketakutan telah merampas kebahagiaan saya. Ruang-ruang batin pun berantakan setelah hati dan pikiran saya dijarah oleh rasa takut. Berita televisi dan media sosial dipenuhi kecemasan. Kota terasa semakin tercekam oleh massa yang menyampaikan aspirasi kepada mereka yang duduk nyaman di kursi kekuasaan. Emosi membara, kemarahan muncul karena rakyat diremehkan oleh salah satu wakilnya yang seharusnya mewakili suara banyak orang. Massa aksi selayaknya semut-semut kecil, bergerombol lalu bubar ke segala arah tanpa tahu jalan pulang. Mereka berdiri berjam-jam hanya untuk mendengarkan teriakan sekawannya. Namun, tidak semua yang berkerumun murni menyuarakan aspirasi, ada provokator yang membuat keadaan semakin mence...

THR: Dari Mogok Buruh ke Proposal THR

  Bulan Ramadhan telah berakhir, dan saya merasa cukup senang menyambut hari Lebaran. Hari yang penuh kebersamaan itu akhirnya tiba, dan saya tidak sabar menunggu THR. Namun, saya sadar bahwa saya sudah bukan anak sekolah lagi, sekarang saya adalah seorang mahasiswa. Kata saudara saya, anak kuliah justru memiliki lebih banyak kebutuhan dibandingkan anak kecil atau anak sekolah. Tahun lalu saya masih mendapatkan THR, tetapi tahun ini saya tidak tahu apakah masih akan mendapatkannya. Saya butuh uang untuk membeli PDH Belistra dan himpunan, agar bisa segera melunasinya. Saya melihat para pekerja mendapatkan tunjangan hari raya berupa uang atau sembako, termasuk ayah saya. Tahu tidak kalau THR ini di tahun 1953 dulunya disebut Hadiah Lebaran atau Persekot Hari Raya? Saat itu, pemberian tersebut bersifat sukarela dari majikan sebagai bentuk kepedulian sosial. Pada tahun 1950-an, para buruh hidup dalam kondisi yang memprihatinkan, dengan penghasilan yang bahkan tidak cukup untuk membeli ...

Semua Sudah Diatur, Tidak Perlu Dipikirkan

 Semua Sudah Diatur, Tidak Perlu Dipikirkan   Malam yang sunyi, saya kembali menulis. Kali ini, saya menulis tentang permasalahan kehidupan saya. Masalah hidup saya sama seperti masalah negeri ini. Dari ujung barat sampai timur, negeri ini dipenuhi oleh kicauan mahasiswa yang berteriak menuntut keadilan. Begitu pula saya, yang terus berteriak kepada hati saya sendiri, merasa bersalah atas perbuatan yang telah berlalu.   Iya, memang saya selalu menyesali setiap tindakan yang sudah terjadi. Namun, saya berpikir bahwa Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyesal ketika membuat UU TNI, yang kini membuat gaduh narasi di media sosial. Kerusuhan terjadi di mana-mana karena naskah yang dibuat terburu-buru. Saya tidak tahu apakah naskah itu benar-benar disusun berdasarkan proses demokrasi.   Saya mendukung undang-undang ini karena saya percaya bahwa undang-undang itu tidak akan merugikan rakyat, justru menguntungkan mereka. Namun, saya juga meragukan kemampuan seseor...