Melati
Ketika kemarin saya baru saja pulang dari danau di dekat
rumahku, aku berjalan pelan menyusuri jalan setapak, membiarkan pikiranku
kosong sambil menikmati angin sore. Hari itu terasa damai. Hening. Namun, bukan
hanya keheningan yang membuatku merasa tenang. Ada aroma bunga yang menyelinap
pelan ke dalam napasku. Awalnya kupikir itu aroma mawar. Karena memang ada
pohon mawar yang rindang di pinggir jalan, dengan ratusan bunga yang mekar
serempak. Indah, seolah-olah saling bekerja sama memperlihatkan pesonanya.
Tapi bukan itu. Bukan mawar. Aroma itu lebih lembut, lebih
halus, dan lebih tajam di ingatan. Itu aroma melati. Saat aku menyadarinya,
langkahku terhenti. Aroma itu menusuk pelan ke dalam dada. Seolah menyentuh
bagian yang selama ini lupa disentuh. Aku menghirupnya dalam-dalam. Rasanya
hidup ini perlu berhenti sebentar. Untuk diam. Untuk meresapi kesegaran aroma
melati yang membelai hati dengan cara yang sederhana. Meluruhkan kekacauan yang
menumpuk di kepala. Membuat panas di otak perlahan berubah menjadi dingin yang
menenangkan.
Aku tidak sedang menemukan keindahan, tapi menemukan
keabadian. Perasaan bahwa hidup ini belum habis. Bahwa kesempatan masih panjang
untuk melangkah lebih jauh. Bahwa tidak semua hal harus dijelaskan dengan
logika. Kadang, seperti aroma melati, cukup dirasakan saja.
Tapi anehnya, di balik semua ketenangan itu, ada sesuatu
yang ganjil. Melati sering dianggap bunga angker. Banyak orang bilang bahwa bau
melati adalah pertanda hadirnya roh halus. Katanya, bunga itu memberi ruang
untuk jin, setan, dan arwah penasaran berkumpul dan berpesta. Katanya, manusia
yang menghirup aromanya bisa saja diganggu. Tapi aku bertanya dalam hati, apa
mereka merasa terganggu oleh keberadaan manusia? Apa mereka marah karena kita
ikut menikmati bau yang mereka klaim milik mereka?
Aku ingin tahu. Ingin berdiplomasi. Ingin bicara baik-baik
pada roh halus itu kalau memang mereka benar ada. Bahwa manusia juga butuh
ketenangan. Butuh aroma melati untuk menyembuhkan luka-lukanya. Tapi kemudian
aku ingat. Ketakutanku ini bukan berasal dari bisikan hantu. Tapi dari cerita
orang-orang yang mengaku paham dunia gaib. Dari kata-kata yang kadang penuh
keyakinan tapi belum tentu kebenarannya. Dan aku, entah kenapa, pernah percaya
begitu saja. Padahal, bisa jadi semuanya hanya mitos yang diwariskan dari mulut
ke mulut.
Ketakutan dan kedamaian. Keduanya datang silih berganti,
kadang bersamaan. Seperti saat aku menghirup bau melati itu. Aku takut. Tapi
aku juga tenang. Aku merasa sendiri. Tapi tidak merasa kesepian. Ada semacam
pelukan yang tidak terlihat, tapi terasa. Seperti alam semesta sedang berkata,
tidak apa-apa untuk takut. Asal kamu terus berjalan.
Melati membuatku mengingat diriku sendiri. Membuatku melihat
bayangan masa kecilku yang penuh tanya. Aku pernah takut akan banyak hal. Tapi
hari ini, aku berdiri di bawah pohon melati, dan mencoba berdamai dengan
ketakutanku sendiri. Tidak semua hal harus dihindari. Kadang, kita hanya perlu
mengenalnya lebih dalam.
Mungkin melati itu bukan bunga kematian seperti yang banyak
orang bilang. Mungkin justru sebaliknya. Ia bunga kehidupan. Yang membawa kita
kembali pada rasa yang sudah lama hilang. Rasa damai. Rasa cukup. Rasa tenang
saat kita sendirian.
Melati, dengan aroma yang tidak pernah marah, mengajarkanku
bahwa hidup ini tidak perlu terlalu ribut. Cukup duduk sejenak, hirup
dalam-dalam, dan biarkan melati berbicara pada hati yang paling sunyi.
Komentar
Posting Komentar