Langsung ke konten utama

Cita-Cita Terakhirku

Semenjak lulus SMA, kebatinan saya mengalami gejolak cukup parah. Ketika menginjak bangku sekolah, pikiran saya hanya fokus menoleh nilai dan memperbaiki bagaimana caranya bisa mendapat peringkat. Itu menjadi pusat dari segala usaha saya. Saya tidak pernah memikirkan, ketika dewasa nanti, akan dibawa ke mana hidup ini.

Setelah saya lulus, saya merasa bebas dari belenggu pembelajaran yang panjang. Namun, kebebasan itu justru menimbulkan beban hidup yang berat—beban untuk menampung segala penderitaan sebagai pemuda, dan beban harapan yang disematkan oleh orang tua kepada saya. Semua itu menjadi tanggung jawab yang saya pikul untuk mengusahakan kehidupan yang layak.

Sehabis lulus, kehidupan saya menjadi suram. Saya berjuang mendapatkan kampus impian. Saya memilih UNPAD, dengan jurusan ilmu sejarah—namun saya gagal. Saat itu, harapan saya patah oleh diri saya sendiri. Cukup lama saya menganggur, tak memiliki pekerjaan. Keadaan itu menjadi beban tambahan setelah kelulusan.

Saya mulai mencari kerja. Sempat diterima sebagai kasir di warung nasi Padang. Tapi pekerjaan itu pun tak berjalan jelas, dan akhirnya batal.

Akhirnya saya lulus di jurusan Pendidikan Sejarah, Untirta. Tapi perasaan saya justru diliputi kesedihan. Saya mendapat jurusan yang kerap dihindari oleh banyak orang karena prospeknya: menjadi guru. Kita tahu sendiri bagaimana menjadi guru di negeri ini. Diakui negara saja butuh proses panjang, waktu, dan tenaga. Gaji pun tak sepadan.

Di situ saya merasa seolah telah salah mengambil keputusan. Namun saya mencoba bertahan, berusaha tidak berpikir terlalu jauh ke depan.

Banyak hal telah saya lakukan. Lika-liku hidup seperti memberi isyarat agar saya mengakhiri semuanya—kabur dari masalah. Saya sering melukai diri sendiri secara sengaja. Masa kuliah ini terasa begitu berat ditanggung oleh pundak yang rapuh.

Sering saya bertanya dalam hati, bagaimana caranya mengakhiri semua ini dengan cara yang indah. Tanpa melibatkan silet dan tambang yang digantungkan. Cukup harapan saya saja yang digantung. Jangan kepala saya. Saya tidak ingin nama saya berakhir menjadi pemberitaan yang menyebut saya sebagai korban dari ego yang terluka.

Banyak kasus tragis yang saya lihat di televisi. Ada yang menyerah karena terlilit utang, karena judi online, atau karena masalah cinta. Sementara saya, hanya terlilit oleh tanggung jawab dan "judi harapan"—permainan pikiran yang memperkirakan bahwa saya akan mendapatkan hal terbaik, seolah-olah seperti perjudian yang berharap menang besar dari taruhan seluruh tenaga dan tangisan saya.

Masalah cinta pun tidak selesai. Masa lalu selalu muncul untuk diingatkan. Semua itu membuat saya sedih saat melihat berita-berita semacam itu. Manusia seharusnya bisa merasa utuh, layak, dan manusiawi. Tapi terlalu banyak masalah yang disimpan diam-diam.

Tambang yang diikat ke leher sudah bukan hal asing. Sejak zaman dahulu pun sudah ada. Saya teringat seorang pemimpin Jerman yang mengakhiri hidupnya setelah kalah dari Uni Soviet. Ia memilih menelan racun sebelum dibunuh oleh musuhnya. Saya merasa serupa—ingin kabur, atau mengakhiri semuanya, sebelum saya dimatikan oleh tanggung jawab saya sendiri. Oleh harapan saya sendiri.

Saya bisa menyimpulkan bahwa keinginan untuk mengakhiri hidup adalah bagian dari realitas dunia. Orang-orang yang mengalaminya sudah tak kuat menahan betapa rakusnya semesta yang terus menusuk orang-orang lemah. Mereka yang menyerah bukan karena ikut-ikutan, tapi karena mereka terlalu sering membaca “tutorial penderitaan” yang tak pernah ditanggapi dengan empati.

Mereka hanya ingin dilepaskan dari belenggu dunia. Saya tidak bisa mengatakan bahwa mereka salah. Yang salah adalah mereka yang menghakimi tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tanpa merasakan luka yang dirasakan.

Walaupun saya ingin mengakhiri semuanya, saya masih takut. Takut akan perihnya tambang yang mencekik leher dengan keras. Takut akan silet yang mengacak-acak nadi dan menumpahkan darah. Saya hanya bisa pasrah. Saya hanya bisa berkata pada diri ini:

Cita-cita terakhirku hanyalah kematian.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Negeri yang Demam oleh Amarah

  Stres berkepanjangan membuat saya terus bertanya pada diri sendiri, mengapa kepala saya dipenuhi masalah dan ketakutan yang menghantui. Lemas dan letih rasanya menghadapi keadaan ini, apalagi melihat situasi yang genting. Kerusuhan dalam diri tak lagi bisa dibendung, penjara ketakutan telah merampas kebahagiaan saya. Ruang-ruang batin pun berantakan setelah hati dan pikiran saya dijarah oleh rasa takut. Berita televisi dan media sosial dipenuhi kecemasan. Kota terasa semakin tercekam oleh massa yang menyampaikan aspirasi kepada mereka yang duduk nyaman di kursi kekuasaan. Emosi membara, kemarahan muncul karena rakyat diremehkan oleh salah satu wakilnya yang seharusnya mewakili suara banyak orang. Massa aksi selayaknya semut-semut kecil, bergerombol lalu bubar ke segala arah tanpa tahu jalan pulang. Mereka berdiri berjam-jam hanya untuk mendengarkan teriakan sekawannya. Namun, tidak semua yang berkerumun murni menyuarakan aspirasi, ada provokator yang membuat keadaan semakin mence...

THR: Dari Mogok Buruh ke Proposal THR

  Bulan Ramadhan telah berakhir, dan saya merasa cukup senang menyambut hari Lebaran. Hari yang penuh kebersamaan itu akhirnya tiba, dan saya tidak sabar menunggu THR. Namun, saya sadar bahwa saya sudah bukan anak sekolah lagi, sekarang saya adalah seorang mahasiswa. Kata saudara saya, anak kuliah justru memiliki lebih banyak kebutuhan dibandingkan anak kecil atau anak sekolah. Tahun lalu saya masih mendapatkan THR, tetapi tahun ini saya tidak tahu apakah masih akan mendapatkannya. Saya butuh uang untuk membeli PDH Belistra dan himpunan, agar bisa segera melunasinya. Saya melihat para pekerja mendapatkan tunjangan hari raya berupa uang atau sembako, termasuk ayah saya. Tahu tidak kalau THR ini di tahun 1953 dulunya disebut Hadiah Lebaran atau Persekot Hari Raya? Saat itu, pemberian tersebut bersifat sukarela dari majikan sebagai bentuk kepedulian sosial. Pada tahun 1950-an, para buruh hidup dalam kondisi yang memprihatinkan, dengan penghasilan yang bahkan tidak cukup untuk membeli ...

Semua Sudah Diatur, Tidak Perlu Dipikirkan

 Semua Sudah Diatur, Tidak Perlu Dipikirkan   Malam yang sunyi, saya kembali menulis. Kali ini, saya menulis tentang permasalahan kehidupan saya. Masalah hidup saya sama seperti masalah negeri ini. Dari ujung barat sampai timur, negeri ini dipenuhi oleh kicauan mahasiswa yang berteriak menuntut keadilan. Begitu pula saya, yang terus berteriak kepada hati saya sendiri, merasa bersalah atas perbuatan yang telah berlalu.   Iya, memang saya selalu menyesali setiap tindakan yang sudah terjadi. Namun, saya berpikir bahwa Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyesal ketika membuat UU TNI, yang kini membuat gaduh narasi di media sosial. Kerusuhan terjadi di mana-mana karena naskah yang dibuat terburu-buru. Saya tidak tahu apakah naskah itu benar-benar disusun berdasarkan proses demokrasi.   Saya mendukung undang-undang ini karena saya percaya bahwa undang-undang itu tidak akan merugikan rakyat, justru menguntungkan mereka. Namun, saya juga meragukan kemampuan seseor...