Semua Sudah Diatur, Tidak Perlu Dipikirkan
Malam yang sunyi, saya kembali menulis. Kali ini, saya menulis tentang permasalahan kehidupan saya. Masalah hidup saya sama seperti masalah negeri ini. Dari ujung barat sampai timur, negeri ini dipenuhi oleh kicauan mahasiswa yang berteriak menuntut keadilan. Begitu pula saya, yang terus berteriak kepada hati saya sendiri, merasa bersalah atas perbuatan yang telah berlalu.
Iya, memang saya selalu menyesali setiap tindakan yang sudah terjadi. Namun, saya berpikir bahwa Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyesal ketika membuat UU TNI, yang kini membuat gaduh narasi di media sosial. Kerusuhan terjadi di mana-mana karena naskah yang dibuat terburu-buru. Saya tidak tahu apakah naskah itu benar-benar disusun berdasarkan proses demokrasi.
Saya mendukung undang-undang ini karena saya percaya bahwa undang-undang itu tidak akan merugikan rakyat, justru menguntungkan mereka. Namun, saya juga meragukan kemampuan seseorang yang mengemis suara rakyat hanya demi mendapatkan satu suara yang sama dengannya. Saya senang menyampaikan kepada publik bahwa semua prosesnya sudah diwakilkan oleh para wakil rakyat kita. Sebenarnya, mereka sudah menyuarakan apa yang diharapkan rakyat.
Tapi kita ini seperti dicekoki oleh miras oplosan—yang bahkan akhirnya dikorupsi oleh Pertamina. Seharusnya, miras bisa dikonsumsi sesuai takaran, malah dioplos dengan Pertalite yang harganya lebih murah daripada Pertamax. Bagaimana pola pikir para pejabat kita? Mesin kita rusak karena mengisi bensin oplosan itu. Para sarjana pun tidak sadar bahwa mencampurkan sesuatu yang tidak seharusnya bisa merusak tatanan mesin. Apalagi ini tubuh manusia, yang jauh lebih sensitif.
Perusahaan bensin negara tidak mau bertanggung jawab kalau tiba-tiba tubuh kita rusak. Nanti saya yang harus repot pakai BPJS—yang ternyata defisit, seperti APBN negara ini. Saya tetap mendukung kebijakan ini, karena kita bisa belajar menabung dan mengefisiensikan anggaran. Saya tidak ingin terjadi pemborosan anggaran, terutama karena saya seorang mahasiswa yang harus bisa menabung untuk membayar UKT. Saya sadar, UKT saya nantinya akan naik karena kebijakan efisiensi anggaran ini.
Undang-undang tentang militer ini bagus, karena para prajurit keamanan bisa masuk ke ranah sipil. Artinya, kita bisa bekerja sama dengan aparat negara yang dikenal disiplin dan patuh terhadap negara. Mungkin, dengan adanya undang-undang ini, korupsi di negeri ini akan hilang. Walaupun revisinya belum selesai dan masih dalam pembahasan di kementerian serta lembaga terkait keamanan, saya masih menunggu kabar apakah tentara juga akan masuk ke Kementerian Pendidikan.
Kalau itu terjadi, negeri ini akan kehilangan suara-suara kritis. Negeri ini akan sunyi, tanpa ada oposisi. Sunyi seperti pantai Kepala Banteng. Tapi mungkin itu hanya ilusi semata. Saya sadar bahwa pemerintah memang sudah punya niatan untuk mencampurkan semua golongan—dari rakyat miskin hingga prajurit—ke dalam struktur pemerintahan.
Saya punya usul. Bagaimana kalau kita buat UU Kemiskinan? Undang-undang yang membolehkan orang miskin masuk ke lembaga-lembaga negara dan kementerian, terutama Kementerian Sosial. Dengan begitu, keputusan yang diambil bisa lebih sesuai dengan realita di lapangan. Kadang saya berpikir, pejabat-pejabat kita ini hanya duduk di kantor, membaca data-data yang entah benar atau tidak. Mereka malas turun ke jalan, apalagi mengunjungi rumah-rumah yang sudah hampir roboh.
Maka, biarkan orang miskin yang menjadi pejabat. Mereka lebih tahu bagaimana rasanya hidup susah. Selain itu, orang miskin juga harus diberi kesempatan untuk masuk ke Kementerian Tenaga Kerja, supaya lebih banyak masyarakat yang bisa mendapatkan pekerjaan layak. Saya sudah muak mendengar istilah "orang dalam" setiap kali ada lowongan kerja.
Dewan Perwakilan Rakyat sudah bukan tempat yang nyaman untuk mendengar suara rakyat. Tempat yang nyaman itu kini ada di tengah jalan, di antara ribuan mahasiswa yang berorasi keras dan lantang. Suara mereka bahkan lebih keras dari suara Raja Jawa—yang kini sedang ramai diperbincangkan.
Raja Jawa adalah kunci dari semua permasalahan negeri ini. Setiap ucapannya dianggap benar dan selalu dibenarkan oleh pendukungnya, yang mungkin sudah diberi sembako. Saya berpikir, bagaimana kalau saya ikut mendukungnya saja? Sekarang ini susah cari kerja, motor saya pun rusak gara-gara perusahaan bensin negara ini.
Mungkin saya harus menjadi bagian dari mereka yang mendoktrin rakyat. Rakyat yang malas membaca dan menulis. Saya akan mengarahkan mereka untuk terus mendukung kebijakan pemerintah. Toh, saya tidak perlu bersusah payah mengangkat senjata—saya hanya perlu sibuk dengan pulpen, mencoret-coret tabel APBN untuk kepentingan negara. Meski sejujurnya, saya pun tidak mengerti mengapa saya harus mencoretnya. Saya berpikir, mungkin tujuannya untuk menekan keborosan. Tapi kalau begini terus, negara ini akan menjadi negara yang pelit—yang hanya tahu bagaimana cara menarik pajak dari rakyat, tapi enggan mengembalikannya kepada rakyat.
Saya paham mengapa pemerintah membuat kebijakan makan siang gratis. Tapi hanya untuk anak sekolah. Anak jalanan? Tidak masuk hitungan, karena mereka tidak bersekolah. Pemerintah ingin mengajarkan rakyat bahwa kalau mau dapat makan siang gratis, harus sekolah dulu.
Ini bukan tentang adil atau tidak adil. Ini soal kewajiban untuk bersekolah. Kebijakan ini bisa memotivasi anak-anak untuk tetap sekolah. Tapi saya juga sadar, pemerintah selalu membuat kebijakan untuk kepentingan sebagian rakyat saja. Bahkan anak-anak pun tahu, tidak mungkin kebijakan ini bisa merata. Anggarannya saja tidak cukup.
Sekarang, negara ini sedang joget-joget di istana. Dan rakyat? Joget-joget juga, tapi karena lapar, bukan karena bahagia. Negara sedang tidak baik-baik saja, tapi malah sibuk membentuk lembaga investasi besar-besaran. Nilainya sampai triliunan rupiah.
Di sisi lain, kasus korupsi sudah tidak bisa diselamatkan hanya dengan pertolongan pertama. Kecuali, mungkin, jika para koruptor dimasukkan ke taman kanak-kanak. Diajarkan bahwa kalau berbuat salah, harus merasa malu. Bukan malah tersenyum seolah tidak punya dosa.
Saya berpikir, kalau ada UU yang mengatur bahwa militer bisa menjadi pengawas korupsi, mungkin itu bisa menjadi solusi. Tapi bagaimana kalau yang korupsi adalah kalangan mereka sendiri? Bukankah bisa terjadi kudeta militer? Dan lagi-lagi, rakyat yang akan menjadi korban.
Saya percaya bahwa setiap proses dalam hidup ini akan membuahkan hasil. Begitu juga dengan pemerintah. Meski banyak masalah, saya yakin negara ini akan bubar—eh, maksud saya, akan hancur, kalau terus-menerus menulis kisah tentang para kepala babi dan tikus berdasi.
Tapi, ah... mungkin tidak. Saya yakin negara ini tidak akan hancur. Presiden pernah berkata di tahun lalu—ah, atau saya salah dengar? Katanya, negara ini akan hancur pada tahun 2030, ketika ia sudah selesai menjabat. Katanya, koalisinya akan berperang besar-besaran.
Tapi sudahlah, saya hanya rakyat biasa. Saya hanya rajin menulis. Saya bukan seperti pemerintah, yang lebih rajin menabung.
.png)
Komentar
Posting Komentar