Bulan Ramadhan telah berakhir, dan saya merasa cukup senang menyambut hari Lebaran. Hari yang penuh kebersamaan itu akhirnya tiba, dan saya tidak sabar menunggu THR. Namun, saya sadar bahwa saya sudah bukan anak sekolah lagi, sekarang saya adalah seorang mahasiswa. Kata saudara saya, anak kuliah justru memiliki lebih banyak kebutuhan dibandingkan anak kecil atau anak sekolah. Tahun lalu saya masih mendapatkan THR, tetapi tahun ini saya tidak tahu apakah masih akan mendapatkannya. Saya butuh uang untuk membeli PDH Belistra dan himpunan, agar bisa segera melunasinya.
Saya melihat para pekerja mendapatkan tunjangan hari raya berupa uang atau sembako, termasuk ayah saya. Tahu tidak kalau THR ini di tahun 1953 dulunya disebut Hadiah Lebaran atau Persekot Hari Raya? Saat itu, pemberian tersebut bersifat sukarela dari majikan sebagai bentuk kepedulian sosial. Pada tahun 1950-an, para buruh hidup dalam kondisi yang memprihatinkan, dengan penghasilan yang bahkan tidak cukup untuk membeli kebutuhan dasar. Memang, di zaman itu belum ada HP seperti sekarang, tetapi di saat hari raya pun harga bahan pokok melonjak drastis, mencekik leher para buruh.
Saya menemukan bahwa organisasi yang menggagas THR ini bukanlah organisasi masyarakat seperti yang ada sekarang. Organisasi ini bernama SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia). SOBSI menyuarakan aspirasi perlunya tunjangan bagi buruh untuk menghadapi tantangan kenaikan harga menjelang hari raya.
Pada awalnya, tidak ada kewajiban hukum karena tidak ada aturan yang mengikat. Perdana Menteri Soekiman Wirjosandjojo pernah menyampaikan dalam pidatonya bahwa pemerintah akan memberikan "sekadar sumbangan untuk turut menggembirakan hari raya" bagi pegawai negeri, bukan bagi buruh. Menurut sumber yang saya baca, konsep ini mirip dengan zakat fitrah, di mana Hadiah Lebaran ini tidak didasarkan pada paksaan, melainkan keikhlasan.
Babak baru dimulai pada tahun 1951, ketika banyak buruh mulai menuntut Hadiah Lebaran sebagai hak mereka. Sayangnya, banyak perusahaan menolak tuntutan tersebut. SOBSI pun bergerak melihat ketimpangan ini, memperjuangkan hak buruh agar mendapatkan Hadiah Lebaran. Walau pada tahun 1954 pemerintah sudah menerbitkan surat edaran yang menetapkan Persekot Hari Raya bagi pegawai negeri, persekot ini berbeda dari Hadiah Lebaran karena sifatnya hanyalah pinjaman yang nantinya akan dipotong dari gaji mereka. Hal ini tentu memberatkan para pegawai negeri.
Pergerakan SOBSI terus berlanjut, menuntut Hadiah Lebaran sebesar satu bulan gaji kotor bagi seluruh buruh. Dari sini, SOBSI menggalang kekuatan dengan Rapat Kerja Sama (R.K.S) yang terdiri dari berbagai elemen, termasuk buruh dan pegawai negeri. Pemerintah pun kembali menerbitkan edaran, tetapi tetap tidak bisa mengikat secara hukum. Sampai akhirnya, seluruh buruh di Indonesia melakukan mogok kerja selama bertahun-tahun. Perjuangan ini akhirnya membuahkan hasil ketika di masa Orde Lama, pada tahun 1961, Menteri Perburuhan Ahem Erningpradja menerbitkan peraturan yang mewajibkan pemberian Tunjangan Hari Raya. Sejak saat itu, THR menjadi hak resmi bagi buruh. Para pengusaha pun gigit jari ketika mendengar peraturan ini disahkan.
Saya baru tahu bahwa THR memiliki sejarah perjuangan yang begitu panjang untuk bisa menjadi hak pekerja. Namun, ada kelompok yang tidak termasuk dalam penerima THR, yaitu organisasi masyarakat (ormas). Mereka tidak mendapatkan THR dari perusahaan karena tidak memiliki ikatan kerja. Akhirnya, mereka menggunakan proposal untuk meminta THR, bukan proposal permintaan dana konser, tetapi permintaan dana THR. Mereka ingin diperlakukan sama seperti para pekerja lainnya. Bagaimana perasaan mereka ketika orang lain mendapatkan THR, sedangkan mereka tidak? Ironisnya, mereka tidak sadar bahwa yang memperjuangkan THR dahulu adalah kelompok kiri yang mereka tolak mentah-mentah. Jika mereka memahami sejarahnya, mungkin mereka akan berhenti menggunakan istilah THR untuk proposal mereka.
Contoh terbaru adalah oknum ormas yang meminta THR di Cilandak pada 26 Maret 2025. Meskipun berbicara tidak jelas, mereka tetap meminta uang kepada para pedagang. Rupanya, mereka butuh minuman keras oplosan bercampur pertalite karena sedang mabuk berat. Tidak hanya di Jakarta, kejadian serupa juga terjadi di Bekasi pada 18 Maret 2025, di mana beberapa pengusaha melaporkan adanya oknum ormas yang meminta THR. Saya bahkan melihat sebuah foto yang menunjukkan 7 hingga 8 proposal dari berbagai ormas yang dikirim ke satu toko saja. Saya kasihan dengan penjaga toko itu—bagaimana jika harus membayar semuanya?
Di satu sisi, saya bisa memahami bahwa ormas juga ingin mendapatkan hak seperti yang diperjuangkan SOBSI untuk buruh. Tapi, mengapa SOBSI hanya fokus kepada buruh dan pegawai negeri, bukan ormas? Menurut saya, Organisasi seperti ormas memang memiliki peran dalam menjaga kenyamanan masyarakat, tetapi itu bukan alasan untuk menjadikan THR sebagai hak mereka. Saya tidak tahu mengapa ini bisa terjadi.
Perdebatan ini semakin melelahkan ketika Wakil Menteri Agama, Muhammad Syafi'i, dalam pernyataannya menyebut bahwa meminta THR adalah budaya yang telah lama ada di Indonesia. Saya merasa capek mendengar pernyataan seperti itu. Kalau memang budaya, kenapa tidak diajukan saja ke Badan Pemelihara Kebudayaan? Biarkan budaya ini dilestarikan dengan baik dan Pak Wamenag bisa bertanggung jawab jika rakyat merasa takut karena didatangi kelompok ormas. Bahkan, kalau perlu, budaya ini diajukan ke UNESCO sebagai warisan budaya tak benda agar diakui dunia! Ormas ini seperti anak-anak yang meminta THR, tetapi lebih buruk karena mereka memaksa. Padahal, anak-anak saja tahu kalau mereka cukup diam, tiba-tiba saudara mereka akan memberi THR dengan sukarela.
Tradisi THR juga berbeda di berbagai daerah. Misalnya, di Jawa, THR lebih sering diberikan dalam bentuk uang tunai. Di Sumatra, beberapa keluarga memilih memberikan THR dalam bentuk barang. Di Sulawesi, ada tradisi “salam tempel”, di mana anak-anak menerima uang setelah mencium tangan orang tua. Sementara di Kalimantan, pemberian THR lebih menekankan hadiah dibandingkan uang tunai.
Saya ingat dulu, ayah saya pernah berjanji akan memberikan THR jika saya berpuasa penuh. Kini, saya menyadari bahwa dulu saya berpuasa hanya karena ingin mendapatkan uang THR. Sekarang, saya berpuasa karena ingin memberikan yang terbaik bagi diri saya sendiri dan mencari ridho Tuhan.
THR kini menjadi tren di semua kalangan. Gen Z lebih memilih menabung THR untuk kebutuhan masa depan, sementara generasi sebelumnya menggunakannya untuk kebutuhan hari raya. Saya sendiri? Saya hanya berharap THR yang saya dapatkan cukup untuk melunasi PDH yang terus saya pikirkan setiap malam ini. THR memang topik yang tidak ada habisnya, terutama bagi mereka yang masih menantikannya cair!
Sumber:
Dwi Putera, Dimas. Tundjangan Hari Raya: Salah Satu Upaya SOBSI untuk Meningkatkan Taraf Hidup Buruh di Indonesia (1953-1961). Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, 2019
BBC News Indonesia. (2025). "Fenomena Ormas Meminta THR dan Sejarahnya". Diakses dari https://www.bbc.com/indonesia/articles/c5y0dvxgk55o.
CNN Indonesia. (2025). "Wamenag Sebut Fenomena Ormas Minta THR sebagai Budaya". Diakses dari https://www.poskota.co.id/2025/03/24/viral-fenomena-ormas-minta-thr-wamenag-budaya-lebaran-indonesia-gak-perlu-dipersoalkan.
Detik News. (2025). "Oknum Ormas di Cilandak Minta THR Sambil Mabuk". Diakses dari https://medan.tribunnews.com/2025/03/26/tampang-oknum-ormas-di-cilandak-viral-minta-thr-ke-toko-sambil-ngelantur-diduga-mabuk.
Detik Sumut. (2025). "Viral Oknum Anggota Ormas Meresahkan, Minta THR ke Tukang Cukur di Medan". Diakses dari https://www.detik.com/sumut/berita/d-7840400/viral-oknum-anggota-ormas-meresahkan-minta-thr-ke-tukang-cukur.
Liputan6.com. (2024, Maret 25). Marak preman berkedok ormas minta THR Lebaran, bisa diberantas? Liputan6. https://www.liputan6.com/news/read/5976314/marak-preman-berkedok-ormas-minta-thr-lebaran-bisa-diberantas
Kompas. (2025). "Sejarah Tunjangan Hari Raya (THR) di Indonesia". Diakses dari https://nasional.kompas.com/read/2025/03/23/14014301/polri-janji-tindak-ormas-minta-pungli-berkedok-thr.
.png)
Kelasss abbas merah lanjutkan cerita sejarahmu dalam bloggg ya
BalasHapus