Langsung ke konten utama

Makna Rafif Abbas Pradana

 Filsafat Rafif Abbas Pradana lahir bukan dari buku, bukan pula dari ruang kelas yang berisik oleh teori. Ia lahir dari malam-malam panjang, dari percakapan yang tidak tuntas, dari luka yang tidak sempat dijelaskan. Ia tumbuh perlahan, seperti pohon yang tetap berdiri meski hujan dan panas datang silih berganti. Aku tidak pernah benar-benar berniat menciptakan sebuah filsafat, tetapi hidup yang penuh tanda tanya membuatku harus menamai sesuatu yang sedang tumbuh dalam diriku sendiri.

Filsafat ini kubagi menjadi tiga fase: Rafif, Abbas, dan Pradana. Tiga nama yang selalu menempel padaku ternyata bukan hanya identitas formal, tapi juga fase eksistensial yang saling menyambung. Masing-masing lahir dari pengalaman yang berbeda, dan semuanya menuntunku untuk mengenali siapa aku sebenarnya.

Fase Rafif: Trauma dan Ketakutan

Rafif adalah masa ketika aku banyak diam, banyak menyimpan, dan terlalu sering mengalah. Aku belajar menatap dunia dari balik tirai, bukan dari tengah panggung. Di fase ini, aku hidup dengan ketakutan yang halus, tak terlihat, tapi selalu ada di dalam dada. Ketakutan akan gagal, ketakutan ditinggalkan, ketakutan tidak dimengerti. Semua itu membuatku menutup diri, seolah keselamatan hanya bisa didapat dari mengunci mulut dan hati.

Aku sering berpikir, mungkin hidup memang seperti itu: kita tidak dilahirkan untuk bicara, tapi untuk menahan. Namun, di balik diam itu, ada kesadaran kecil yang mulai tumbuh. Aku sadar bahwa setiap luka punya cara bicara sendiri. Luka itu tidak selalu harus disembuhkan, kadang cukup didengar saja. Dari situlah Rafif mulai mengenali satu hal penting: rasa takut bukan musuh, tapi guru yang keras kepala. Ia mengajar dengan cara yang menyakitkan.

Pada fase Rafif, aku seperti anak kecil yang tersesat di pasar malam. Segala sesuatu berwarna, tapi aku tidak tahu harus ke mana. Aku belajar bahwa manusia tidak bisa benar-benar hidup hanya dengan menghindari rasa sakit. Diam ternyata tidak menyembuhkan, ia hanya menunda. Maka di titik itu, Rafif perlahan berubah menjadi Abbas.

Fase Abbas: Pemberontakan dan Ego

Abbas adalah masa ketika aku mulai melawan. Aku menolak menjadi penonton dalam hidupku sendiri. Setelah terlalu lama menahan, akhirnya aku membiarkan semuanya meledak. Kata-kata yang dulu kutahan, kini keluar tanpa filter. Aku berdebat, mempertanyakan, bahkan menolak segala hal yang menurutku palsu secara baik dari orang lain maupun dari diriku sendiri.

Abbas adalah bentuk dari ego yang sadar akan luka. Ia tahu ia rusak, tapi ia tidak mau terus dikuasai. Maka ia memilih memberontak. Di fase ini, aku mulai banyak menulis, banyak berpikir, dan banyak mencari makna di antara kegelisahan. Aku mulai mempertanyakan konsep moral, kebenaran, bahkan Tuhan. Tapi bukan karena aku tidak percaya, melainkan karena aku ingin mengenal-Nya tanpa perantara rasa takut.

Ego dalam diriku bukan berarti kesombongan, melainkan keberanian untuk berkata: “Aku ada.” Abbas adalah perlawanan terhadap ketidakadilan, baik yang datang dari luar maupun yang tumbuh di dalam diri sendiri. Di sinilah aku belajar bahwa pemberontakan sejati bukan tentang menghancurkan, tapi tentang menemukan bentuk baru yang lebih jujur.

Namun, pemberontakan yang terus-menerus membuat dada lelah. Aku mulai sadar bahwa kemarahan tidak bisa jadi rumah. Ia bisa jadi obor yang menyalakan kesadaran, tapi tidak bisa jadi pelukan. Dari situ, aku mulai merasakan bahwa aku harus berhenti melawan, bukan karena kalah, tapi karena sudah paham arah. Maka lahirlah Pradana.

Fase Pradana: Kebijaksanaan dan Ketenangan

Pradana adalah fase ketika aku mulai berdamai. Aku tidak lagi ingin menang, tidak juga ingin kalah. Aku hanya ingin mengerti. Segala sesuatu yang dulu kupertanyakan kini tak harus dijawab, cukup dirasakan. Aku menyadari bahwa hidup tidak selalu butuh kesimpulan, karena kadang yang penting adalah proses memahami.

Di fase Pradana, aku belajar menerima kenyataan bahwa manusia tidak bisa benar-benar lepas dari masa lalu. Tapi masa lalu bukan belenggu, melainkan akar. Ia tidak mengikat, tapi menopang. Aku melihat bahwa semua fase sebelumnya—Rafif yang takut dan Abbas yang marah, tidak perlu dihapus, karena tanpa mereka, aku tidak akan mengenal ketenangan ini.

Pradana mengajarkanku tentang kebijaksanaan yang lahir dari pengakuan, bukan dari kepura-puraan. Aku tidak lagi berusaha terlihat kuat. Aku membiarkan kelemahan hadir sebagai bagian dari keindahan manusia. Dari situ aku memahami bahwa keheningan bukan kekosongan, tapi ruang tempat jiwa bernapas.

Simbolisme Tiga Fase

Bila disederhanakan, Rafif adalah air, Abbas adalah api, dan Pradana adalah tanah. Air menyimpan, api melawan, tanah menenangkan. Ketiganya saling membutuhkan. Hidup tanpa air kehilangan empati, tanpa api kehilangan semangat, tanpa tanah kehilangan pijakan. Maka filsafatku bukan tentang memilih satu, tapi menyeimbangkan semuanya.

Dalam diriku, Rafif masih ada: ia mengingatkanku untuk tetap lembut. Abbas juga masih hidup: ia menjaga agar aku tidak pasrah buta. Dan Pradana menjadi poros yang menenangkan, tempat semuanya berpulang. Ketiganya bukan tahap yang selesai, tapi terus berputar seperti roda waktu dalam diri manusia.

Filsafat Eksistensial Personal

Jika harus disebut secara filosofis, Filsafat Rafif Abbas Pradana adalah filsafat eksistensial personal, yang berangkat dari pengalaman batin dan pencarian makna hidup melalui pergulatan dengan diri sendiri. Ia tidak menolak dunia luar, tapi berangkat dari dalam diri menuju keluar. Bagiku, manusia baru bisa mengenal kebenaran ketika berani menatap dirinya sendiri tanpa topeng.

Setiap manusia punya “Rafif”-nya sendiri, masa ketika takut dan menutup diri. Punya “Abbas”-nya, masa ketika berontak dan mencari jati diri. Dan jika beruntung, mereka sampai pada “Pradana,” masa ketika semuanya tenang, dan hidup terasa cukup. Filsafat ini bukan aturan, tapi cermin: setiap orang bisa melihat dirinya di sana dengan cara yang berbeda.

Penutup: Hidup sebagai Jalan Sunyi

Kini aku tahu bahwa filsafatku bukan teori yang ingin meyakinkan siapa pun. Ia hanyalah catatan perjalanan batin yang terus menulis dirinya sendiri. Aku tidak tahu apakah ini akan selesai, mungkin tidak pernah. Tapi aku yakin, selama manusia masih punya rasa takut, keberanian, dan kebijaksanaan, maka tiga fase itu akan terus hidup.

Filsafat Rafif Abbas Pradana bukan tentang mencari arti hidup, tapi tentang menjalani hidup dengan sadar akan artinya. Karena pada akhirnya, hidup bukan soal menemukan siapa kita, tapi menerima bahwa kita terus berubah. Aku pernah jadi Rafif yang takut, Abbas yang marah, dan Pradana yang tenang, dan mungkin suatu hari nanti, aku akan jadi sesuatu yang baru lagi.

Dan bila orang bertanya, apa inti dari semuanya?
Mungkin jawabanku sederhana:
“Aku hidup untuk memahami diriku sendiri dan itu pun belum selesai.”

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Negeri yang Demam oleh Amarah

  Stres berkepanjangan membuat saya terus bertanya pada diri sendiri, mengapa kepala saya dipenuhi masalah dan ketakutan yang menghantui. Lemas dan letih rasanya menghadapi keadaan ini, apalagi melihat situasi yang genting. Kerusuhan dalam diri tak lagi bisa dibendung, penjara ketakutan telah merampas kebahagiaan saya. Ruang-ruang batin pun berantakan setelah hati dan pikiran saya dijarah oleh rasa takut. Berita televisi dan media sosial dipenuhi kecemasan. Kota terasa semakin tercekam oleh massa yang menyampaikan aspirasi kepada mereka yang duduk nyaman di kursi kekuasaan. Emosi membara, kemarahan muncul karena rakyat diremehkan oleh salah satu wakilnya yang seharusnya mewakili suara banyak orang. Massa aksi selayaknya semut-semut kecil, bergerombol lalu bubar ke segala arah tanpa tahu jalan pulang. Mereka berdiri berjam-jam hanya untuk mendengarkan teriakan sekawannya. Namun, tidak semua yang berkerumun murni menyuarakan aspirasi, ada provokator yang membuat keadaan semakin mence...

THR: Dari Mogok Buruh ke Proposal THR

  Bulan Ramadhan telah berakhir, dan saya merasa cukup senang menyambut hari Lebaran. Hari yang penuh kebersamaan itu akhirnya tiba, dan saya tidak sabar menunggu THR. Namun, saya sadar bahwa saya sudah bukan anak sekolah lagi, sekarang saya adalah seorang mahasiswa. Kata saudara saya, anak kuliah justru memiliki lebih banyak kebutuhan dibandingkan anak kecil atau anak sekolah. Tahun lalu saya masih mendapatkan THR, tetapi tahun ini saya tidak tahu apakah masih akan mendapatkannya. Saya butuh uang untuk membeli PDH Belistra dan himpunan, agar bisa segera melunasinya. Saya melihat para pekerja mendapatkan tunjangan hari raya berupa uang atau sembako, termasuk ayah saya. Tahu tidak kalau THR ini di tahun 1953 dulunya disebut Hadiah Lebaran atau Persekot Hari Raya? Saat itu, pemberian tersebut bersifat sukarela dari majikan sebagai bentuk kepedulian sosial. Pada tahun 1950-an, para buruh hidup dalam kondisi yang memprihatinkan, dengan penghasilan yang bahkan tidak cukup untuk membeli ...

Semua Sudah Diatur, Tidak Perlu Dipikirkan

 Semua Sudah Diatur, Tidak Perlu Dipikirkan   Malam yang sunyi, saya kembali menulis. Kali ini, saya menulis tentang permasalahan kehidupan saya. Masalah hidup saya sama seperti masalah negeri ini. Dari ujung barat sampai timur, negeri ini dipenuhi oleh kicauan mahasiswa yang berteriak menuntut keadilan. Begitu pula saya, yang terus berteriak kepada hati saya sendiri, merasa bersalah atas perbuatan yang telah berlalu.   Iya, memang saya selalu menyesali setiap tindakan yang sudah terjadi. Namun, saya berpikir bahwa Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyesal ketika membuat UU TNI, yang kini membuat gaduh narasi di media sosial. Kerusuhan terjadi di mana-mana karena naskah yang dibuat terburu-buru. Saya tidak tahu apakah naskah itu benar-benar disusun berdasarkan proses demokrasi.   Saya mendukung undang-undang ini karena saya percaya bahwa undang-undang itu tidak akan merugikan rakyat, justru menguntungkan mereka. Namun, saya juga meragukan kemampuan seseor...