Langsung ke konten utama

Negeri yang Demam oleh Amarah

 


Stres berkepanjangan membuat saya terus bertanya pada diri sendiri, mengapa kepala saya dipenuhi masalah dan ketakutan yang menghantui. Lemas dan letih rasanya menghadapi keadaan ini, apalagi melihat situasi yang genting. Kerusuhan dalam diri tak lagi bisa dibendung, penjara ketakutan telah merampas kebahagiaan saya. Ruang-ruang batin pun berantakan setelah hati dan pikiran saya dijarah oleh rasa takut.

Berita televisi dan media sosial dipenuhi kecemasan. Kota terasa semakin tercekam oleh massa yang menyampaikan aspirasi kepada mereka yang duduk nyaman di kursi kekuasaan. Emosi membara, kemarahan muncul karena rakyat diremehkan oleh salah satu wakilnya yang seharusnya mewakili suara banyak orang. Massa aksi selayaknya semut-semut kecil, bergerombol lalu bubar ke segala arah tanpa tahu jalan pulang. Mereka berdiri berjam-jam hanya untuk mendengarkan teriakan sekawannya.

Namun, tidak semua yang berkerumun murni menyuarakan aspirasi, ada provokator yang membuat keadaan semakin mencekam. Saya takut peristiwa 1998 terulang kembali. Meski hanya menyaksikan dari layar kaca, kesedihan dan keresahan itu nyata terasa. Apalagi ketika mobil barakuda yang sejatinya dibayar rakyat melindas seorang ojek online yang tidak bersalah. Itu menjadi pemantik kemarahan rakyat terhadap pemerintah.

Pemerintah  tampak bingung membendung situasi, sekadar mematikan lampu jalan agar kota tenggelam dalam gelap. Saya tidak tahu bagaimana akhirnya. Tetapi ingatan saya melayang pada penembakan misterius di masa Orde Baru. Mungkin hanya ketakutan saya yang berlebihan, namun sejarah selalu punya cara mengingatkan bahwa apa yang pernah terjadi bisa saja kembali.

Dalam situasi sosial politik seperti ini, sebaiknya kita mendengarkan lagu-lagu Hindia yang banyak membahas soal kesehatan mental. Overthinking akibat kejadian-kejadian belakangan bisa sedikit reda lewat musik. Misalnya, dalam lagu Evakuasi dengan lirik ‘saya hanya ingin ketenangan’, kita diingatkan untuk mencari ketenangan di tengah ketidakpastian. Banyak orang juga mungkin sudah lelah dengan keadaan ini, seperti tersirat dalam lirik lagu Janji Palsu, ‘per hari ini kita semua mati rasa’. Bukan karena cinta, melainkan karena kondisi negara yang penuh huru-hara, kerusuhan, pembakaran, dan kejar-kejaran yang kini seakan menjadi hal normal.

Di tengah saya mendengarkan lagu Hindia, hati saya mendadak terasa sedih saat melihat penjarahan yang terjadi di Museum Bhagawanta Bhari, Kediri. Tempat yang seharusnya menjadi ruang ingatan kolektif bangsa itu kini porak-poranda, kaca etalase pecah, koleksi berantakan, dan sejumlah artefak bersejarah hilang. Di antara yang dijarah adalah dua plakat HVA Sidomulyo, bata berinskripsi, Arca Sumbercangkring, fragmen kepala Ganesha, hingga kain batik dan miniatur lumbung serta arca fauna. Museum yang menyimpan jejak peradaban ini seakan tak lagi dihargai oleh tangan-tangan perusuh yang kehilangan empati, seolah sejarah bisa digantikan dengan sekadar amarah atau dalih revolusi.

Saya muak menyaksikan bagaimana benda-benda yang memiliki nilai historis dan identitas budaya dihancurkan tanpa rasa bersalah, bahkan mungkin dengan kesengajaan untuk menghapus bukti sejarah agar masyarakat lupa pada masa lalunya. Untungnya, beberapa koleksi penting seperti Arca Kepala Bodhisattva dan mantram berhasil diselamatkan dan kini diamankan, meski luka pada ruang sejarah itu tetap menganga. Peristiwa ini mengingatkan kita bahwa museum bukan hanya bangunan berisi benda-benda tua, melainkan ruang refleksi dan penjaga memori bangsa; jika kita membiarkannya hancur, maka hilang pula sebagian dari jati diri kita.

Inilah yang membuat saya stres, hidup saya terasa tidak tenang dengan keadaan ini. Suara ambulans, mobil polisi, hingga ledakan petasan terus bergema, membuat hati saya diliputi ketakutan. Lebih menyakitkan lagi, melihat kenyataan bahwa cagar budaya dijadikan sasaran empuk oleh orang-orang yang gemar merusak. Hari-hari dipenuhi berita-berita buruk, yang membuat saya overthinking akan masa depan jika ini semua terus berlanjut. Saya tidak bisa berbuat apa-apa selain menulis keresahan saya selama ini.

Saya melihat ini tidak sekadar aksi massa biasa. Saya melihat ini sebuah sistematika menuju mahabahaya, jika kerusuhan ini terus terjadi tanpa bisa dikendalikan, mungkin kita akan terbawa kepada keadaan yang tidak diinginkan. Selayaknya peristiwa ‘98 yang dipenuhi senjata-senjata dan ledakan-ledakan di penjuru arah. Saya melihat anak muda yang hanya mengikuti narasi yang digerakkan oleh seseorang yang tidak ingin melihat Indonesia ini sehat.

Anak-anak muda yang tidak tahu apa-apa, hanya tahu kebencian yang sudah tertanam dan mudah dikendalikan oleh seruan-seruan entah datang dari mana. Seperti Semut tanpa ratunya, arahnya tidak ada yang benar, hanya maju dan mundur berlari karena takut terkena gas air mata. Lebih dalam lagi saya prihatin melihatnya. Satu sisi saya mendukung semangat juangnya untuk menegakkan dan menyuarakan keadilan. Namun tetap saja semangatnya terlalu berlebih tanpa bisa berpikir secara jernih. Anak muda seharusnya tidak boleh menjadi alat untuk terjerumus ke dalam pertarungan tanpa akhir. Mungkin ini semua karena ingin melampiaskan emosi, sama seperti saya, tapi bedanya saya melapiskannya lewat tulisan yang bisa mengubah malam menjadi pagi.

Diam memikirkan negara yang sedang sakit membuat saya sendiri jatuh sakit pilek. Sudah dua hari ini sejak saya menulis tulisan ini, perasaan itu terus menghantui. Saya ingin membawa Indonesia ke rumah sakit di Singapura, namun saya takut bertemu wakil rakyat yang sedang berlibur, takut mengganggu waktunya. Karena jika Indonesia benar-benar dibawa ke Singapura, otomatis mereka harus menjenguk dan menjaga Indonesia sampai sehat. Tetapi saya bingung, sebenarnya harus dibawa ke mana Indonesia ini? Apakah Indonesia bisa dibawa ke Rusia untuk disembuhkan oleh dokter-dokter di sana? Saya pun tidak tahu pasti penyakitnya apa, hanya bisa menduga bahwa Indonesia sedang demam, dengan banyak virus yang masuk ke dalam tubuhnya.

Saya berharap Indonesia bisa tersenyum kembali dan bangkit, tetapi itu terasa mustahil jika semua ini hanya skenario yang sudah disutradai oleh para petinggi negeri. Jangan-jangan mereka yang duduk diam di gedung itu sedang mengatur lakon untuk membuat Indonesia semakin terinfeksi, semakin sakit, dan kekhawatiran saya mungkin benar-benar akan menjadi kenyataan.






Komentar

Postingan populer dari blog ini

THR: Dari Mogok Buruh ke Proposal THR

  Bulan Ramadhan telah berakhir, dan saya merasa cukup senang menyambut hari Lebaran. Hari yang penuh kebersamaan itu akhirnya tiba, dan saya tidak sabar menunggu THR. Namun, saya sadar bahwa saya sudah bukan anak sekolah lagi, sekarang saya adalah seorang mahasiswa. Kata saudara saya, anak kuliah justru memiliki lebih banyak kebutuhan dibandingkan anak kecil atau anak sekolah. Tahun lalu saya masih mendapatkan THR, tetapi tahun ini saya tidak tahu apakah masih akan mendapatkannya. Saya butuh uang untuk membeli PDH Belistra dan himpunan, agar bisa segera melunasinya. Saya melihat para pekerja mendapatkan tunjangan hari raya berupa uang atau sembako, termasuk ayah saya. Tahu tidak kalau THR ini di tahun 1953 dulunya disebut Hadiah Lebaran atau Persekot Hari Raya? Saat itu, pemberian tersebut bersifat sukarela dari majikan sebagai bentuk kepedulian sosial. Pada tahun 1950-an, para buruh hidup dalam kondisi yang memprihatinkan, dengan penghasilan yang bahkan tidak cukup untuk membeli ...

Semua Sudah Diatur, Tidak Perlu Dipikirkan

 Semua Sudah Diatur, Tidak Perlu Dipikirkan   Malam yang sunyi, saya kembali menulis. Kali ini, saya menulis tentang permasalahan kehidupan saya. Masalah hidup saya sama seperti masalah negeri ini. Dari ujung barat sampai timur, negeri ini dipenuhi oleh kicauan mahasiswa yang berteriak menuntut keadilan. Begitu pula saya, yang terus berteriak kepada hati saya sendiri, merasa bersalah atas perbuatan yang telah berlalu.   Iya, memang saya selalu menyesali setiap tindakan yang sudah terjadi. Namun, saya berpikir bahwa Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyesal ketika membuat UU TNI, yang kini membuat gaduh narasi di media sosial. Kerusuhan terjadi di mana-mana karena naskah yang dibuat terburu-buru. Saya tidak tahu apakah naskah itu benar-benar disusun berdasarkan proses demokrasi.   Saya mendukung undang-undang ini karena saya percaya bahwa undang-undang itu tidak akan merugikan rakyat, justru menguntungkan mereka. Namun, saya juga meragukan kemampuan seseor...