Langsung ke konten utama

Kuliah Kelewat Lusa 1

 

Kuliah di kelas itu sebenarnya membosankan, apalagi harus menatap materi berjam-jam. Maka, Wahyu Universitas hadir dengan program "Kuliah Kelewat Lusa", yang diperuntukkan bagi mahasiswa/i yang jarang hadir dan sering telat kuliah karena males ataupun lupa (katanya).

Sebentar… penulis salah baca, dan ditegur oleh pihak civitas. Maka, penulis minta maaf dan ingin meluruskan bahwa yang benar itu adalah Kuliah Kerja Lapangan (KKL). Dan kabar gembiranya, program ini menjadi mata kuliah, yang mana kita bisa mendapatkan nilai jika memenuhi beberapa syarat.

Syaratnya mirip-mirip kayak skripsi. Emang sih, jurusan menuntut kami untuk bisa selesai tepat waktu, agar tidak menjadi beban keluarga dan investor utama kampus, hehe. Maaf, saya tidak berniat menyinggung koboy kampus, ya.

Lanjut, program kerja kuliah ini bertujuan untuk meningkatkan kadar... eh maksudnya kapasitas otak dan nurani mereka yang katanya calon guru sejarah. Jadi kami belajar langsung, tanpa parasut ya, tapi dengan kenalaran intelektualitas, untuk membedah objek sejarah yang ada.

Oh iya, dari tadi saya ngomong tapi belum menjelaskan tujuannya ke mana. Tujuan kami adalah ke situs dan museum di Karawang dan Jakarta. Keduanya itu kami teliti. Tapi yang unik di sini—atau lebih tepatnya "overdosis"—adalah jumlah tempat yang harus dikunjungi: 10 museum dan 2 situs dalam waktu hanya 2 hari. Sungguh tidak begitu efektif, tapi nggak apa-apa. Anak sejarah ini sudah tangguh karena sudah pernah ikut LASKAR—sebuah penyiksaan batin yang memunculkan trauma sekaligus meningkatkan kepekaan diri.

Saya yakin anak sejarah bisa melewati dan menjalani healing dengan baik. Semoga bisa dibuat senang, tapi jangan sampai terlalu dramatis seperti teater peperangan Diponegoro. Takutnya saya malah jadi kudanya. Kalau begitu nanti malah jadi peternak kuda, bukan fokus ke penelitian.

Penyelidikan itu wajib di kegiatan ini. Kalau tidak mau, boleh foto-foto dengan teknik dokumentasi yang sudah dijelaskan. Tapi kalau mau selfie dengan mulut monyong, dipersilakan juga.

Dalam perjalanan, masalah pasti ada. Namun, tolong jangan sampai membawa budaya mahasiswa tugu bacang ( buang sampah sembarangan ) ke perjalanan KKL 1 ini. Karena bisa ribut dengan para pegawai objek wisata, dan bisa bikin malu dosen yang melihat perilaku mahasiswanya seperti itu. Tidak sesuai dengan dasar Dharma kedua dan juga tidak sesuai dengan peraturan yang telah disepakati oleh panitia dan dosen.

Dan saya mengutuk ada bau rokok di kamar mandi dan Kamar tidur hotel. Bikin orang naik darah. Apalagi kalau tidak bisa membayar tapi malah menutupi kebohongan dengan ketawa-ketawa. Jaga raga dan batin tetap sehat, agar bisa menjelajahi masa lalu dengan citra yang menyenangkan, tanpa ada hal-hal yang tidak diinginkan.

Nikmatilah setiap kunjungan. Jangan asik sendiri kayak nggak punya beban tugas. Kasihan ketua kelompoknya, yang mikir besok makan apa—eh, maksudnya mikirin laporan yang katanya rumit kayak skripsi.

Semoga dengan pengalaman ini, mahasiswa Pendidikan Sejarah FKIP Untirta bisa menjadi manusia dengan kapasitas sejarah yang mumpuni, penuh pengalaman, dan mampu mentransformasikan itu semua kepada masyarakat dunia—terutama kepada diri sendiri. Tetap semangat, karena sebentar lagi, hari Selasa depan, kita sudah mulai aksi: menyerang seluruh narasi yang ada, mengamati, mengumpulkan data, berdiskusi, menyusun, dan mempraktikkannya di depan para penguji yang siap menyantap laporan kita.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Negeri yang Demam oleh Amarah

  Stres berkepanjangan membuat saya terus bertanya pada diri sendiri, mengapa kepala saya dipenuhi masalah dan ketakutan yang menghantui. Lemas dan letih rasanya menghadapi keadaan ini, apalagi melihat situasi yang genting. Kerusuhan dalam diri tak lagi bisa dibendung, penjara ketakutan telah merampas kebahagiaan saya. Ruang-ruang batin pun berantakan setelah hati dan pikiran saya dijarah oleh rasa takut. Berita televisi dan media sosial dipenuhi kecemasan. Kota terasa semakin tercekam oleh massa yang menyampaikan aspirasi kepada mereka yang duduk nyaman di kursi kekuasaan. Emosi membara, kemarahan muncul karena rakyat diremehkan oleh salah satu wakilnya yang seharusnya mewakili suara banyak orang. Massa aksi selayaknya semut-semut kecil, bergerombol lalu bubar ke segala arah tanpa tahu jalan pulang. Mereka berdiri berjam-jam hanya untuk mendengarkan teriakan sekawannya. Namun, tidak semua yang berkerumun murni menyuarakan aspirasi, ada provokator yang membuat keadaan semakin mence...

THR: Dari Mogok Buruh ke Proposal THR

  Bulan Ramadhan telah berakhir, dan saya merasa cukup senang menyambut hari Lebaran. Hari yang penuh kebersamaan itu akhirnya tiba, dan saya tidak sabar menunggu THR. Namun, saya sadar bahwa saya sudah bukan anak sekolah lagi, sekarang saya adalah seorang mahasiswa. Kata saudara saya, anak kuliah justru memiliki lebih banyak kebutuhan dibandingkan anak kecil atau anak sekolah. Tahun lalu saya masih mendapatkan THR, tetapi tahun ini saya tidak tahu apakah masih akan mendapatkannya. Saya butuh uang untuk membeli PDH Belistra dan himpunan, agar bisa segera melunasinya. Saya melihat para pekerja mendapatkan tunjangan hari raya berupa uang atau sembako, termasuk ayah saya. Tahu tidak kalau THR ini di tahun 1953 dulunya disebut Hadiah Lebaran atau Persekot Hari Raya? Saat itu, pemberian tersebut bersifat sukarela dari majikan sebagai bentuk kepedulian sosial. Pada tahun 1950-an, para buruh hidup dalam kondisi yang memprihatinkan, dengan penghasilan yang bahkan tidak cukup untuk membeli ...

Semua Sudah Diatur, Tidak Perlu Dipikirkan

 Semua Sudah Diatur, Tidak Perlu Dipikirkan   Malam yang sunyi, saya kembali menulis. Kali ini, saya menulis tentang permasalahan kehidupan saya. Masalah hidup saya sama seperti masalah negeri ini. Dari ujung barat sampai timur, negeri ini dipenuhi oleh kicauan mahasiswa yang berteriak menuntut keadilan. Begitu pula saya, yang terus berteriak kepada hati saya sendiri, merasa bersalah atas perbuatan yang telah berlalu.   Iya, memang saya selalu menyesali setiap tindakan yang sudah terjadi. Namun, saya berpikir bahwa Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyesal ketika membuat UU TNI, yang kini membuat gaduh narasi di media sosial. Kerusuhan terjadi di mana-mana karena naskah yang dibuat terburu-buru. Saya tidak tahu apakah naskah itu benar-benar disusun berdasarkan proses demokrasi.   Saya mendukung undang-undang ini karena saya percaya bahwa undang-undang itu tidak akan merugikan rakyat, justru menguntungkan mereka. Namun, saya juga meragukan kemampuan seseor...