Gemuruh Sunyi

 



Di tanah para Manusia tidak mendapatkan keadilan dalam kehidupannya. Tanah itu adalah Rangkasbitung, Lebak, Banten. Tanah ini sudah sejak lama memiliki sejarah yang tidak boleh diabaikan begitu saja. Rangkas mengingatkanku kepada cerita Multatuli sebagai pelopor pergerakan. Namanya yang mempunyai arti "aku telah banyak menderita" (dari bahasa Latin). Namanya tercantum dalam buku Max Havelaar yang diterbitkan pada tahun 1860. Buku itu menjadi tanda tanya besar atas keadaan saat itu, menggambarkan kebutaan penguasa yang tidak melihat rakyat sebagai manusia. Mereka melihat rakyat sebagai binatang yang terus diperas tanpa adanya tanda peringatan untuk berhenti. Nama samaran itu berbicara sebagai perlawanan terhadap sistem tanam paksa (cultuurstelsel) yang dibanggakan oleh kolonial Belanda. Melawan dengan pikiran itu menembus ke seluruh dunia. Dan kemudian dunia sadar bahwa Rangkasbitung mengalami kanker ketidakadilan yang sudah akut. Hanya bisa disembuhkan melalui kesadaran kolektif rakyatnya untuk melawan ketidakadilan yang terjadi.

Eduard Douwes Dekker, di balik nama Multatuli ini. Dengan nama fiktifnya, ia membakar semangat rakyat yang menderita. Meskipun beliau menjabat dalam sistem sebagai asisten-residen di Lebak pada tahun 1856, namun hati kecilnya resah melihat ketidakadilan sosial yang tak kunjung berhenti. Gerakan itu dimulai dengan pena yang menuliskan cerita fiksi namun mengangkat fakta yang sebenarnya. Fakta yang menjulang tinggi untuk terus mengkritik seluruh sistem yang ada. Dalam tulisannya, ia memperlihatkan bagaimana para petani pribumi bekerja keras, namun hasilnya diambil oleh para pejabat korup dan bangsawan lokal yang bersekongkol dengan pejabat kolonial. Kerja tanpa upah, bahkan nyawa dipertaruhkan atas dalih bahwa orang kulit putih lebih mulia daripada pribumi.

Namun pribumi kelas atas pada saat itu masih sibuk dengan kepentingannya sendiri. Inilah yang menyebabkan masalah yang mendorong pena Douwes Dekker bergerak lebih agresif. Ia terus terang menyerang para penindas itu dengan diksi-diksi tajam yang mampu menghancurkan legitimasi sistem pada akhirnya. Penanya menjadi alat melawan praktik korupsi di dalam pemerintahan kolonial. Ia tidak peduli siapa yang berkuasa; yang penting baginya adalah siapa yang berani membela rakyat yang ditindas tanpa menganggap mereka sebagai manusia seutuhnya. Di dalam tubuh pemerintahan saja tidak ada pembenahan. Pada akhirnya, Douwes Dekker dengan penuh kekecewaan mengundurkan diri dari jabatannya.

Bayang-bayang Multatuli sekarang masih menggema. Suara-suaranya membelai sela-sela kota yang sibuk dengan kendaraan. Keadilan tidak hilang begitu saja setelah katanya diproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Rangkas tetap berada dalam posisi yang tidak selalu baik-baik saja. Dalam pena Multatuli, terdapat dua macam keadilan: satu milik yang kuat dan satu milik yang lemah. Kebenaran lebih penting daripada kesetiaan pada jabatan. Masih banyak keadilan yang hanya dinikmati oleh kelas atas, yang merasakan bahagia di atas penderitaan mereka yang lemah. Mereka yang lemah masih menunggu hadirnya kata “adil” dalam tidur malamnya. Lidah-lidah masih sibuk menjilat para penguasa. Dan sama seperti zaman Douwes Dekker, rakyat masih hidup di tengah gemuruh penindasan yang mencekik.

Komentar

Postingan Populer

Jendela Rumahku

Cita-Cita Terakhirku

Melati