Ketidakpastian dan Kecemasan: Perjalanan Hati dalam Kegelapan

 By Rafif Abbas Pradana 

Dalam ruang pikiran yang penuh dengan seluk-beluk permasalahan, realita seolah tak pernah habis memberikan tantangan. Kepala dipenuhi oleh ketidakpastian yang selalu menghantui hati dan pikiran. Aku ingin menyerah kepada diriku sendiri, namun diri ini tak mendengarkan keinginan tersebut. Dunia terus mencambuk diriku untuk berjalan di atas bara api yang panas pada setiap langkah. Seiring waktu berjalan, aku terus melangkah tanpa menyadari betapa sakitnya setiap langkah yang aku tempuh.


Jika hatiku bisa berbicara seperti manusia, mungkin hatiku akan berteriak keras, merasakan sakit bagaikan bayi yang menangis di pinggir jalan tanpa keluarganya. Begitu sakitnya hatiku saat ini. Setiap kali memikirkan keadaan hati yang terus disakiti, aku merasa prihatin. Hatiku membutuhkan pertolongan pertama. Hatiku begitu sabar menahan sakit. Kadang-kadang, aku berbicara dengan hatiku, mendengarkan keluh kesahnya tentang rasa sakit dan keinginan untuk menyerah. Aku tak ingin menyiksa hatiku, sehingga aku mencoba memberikan pencerahan dengan cara yang menyenangkan. Aku mengajak hatiku untuk melihat pemandangan, mendengarkan musik, dan menatap awan, agar hatiku merasa senang dan tidak terus menerus muram seperti anak kecil yang menangis karena tidak diberikan mainan.


Ketidakpastian adalah musuh dalam kehidupanku, karena kehadirannya membuat diriku tersiksa tanpa belas kasihan. Aku ingin menjadi pahlawan bagi diriku sendiri, melawan ketidakpastian ini. Ketidakpastian ibarat bayangan yang buram, tidak bisa dilihat dengan jelas. Aku berharap menemukan senjata untuk melawan ketidakpastian ini. Waktu selalu berbicara dengan caranya sendiri, mengungkapkan ketidakpastian tepat pada waktunya. Menghadapi ketidakpastian ini membuat diriku terpuruk, seperti orang sakit yang mendambakan kesembuhan.


Hantu yang paling menakutkan bukanlah yang diceritakan dalam film horor, melainkan realita yang tidak sesuai dengan rencana kita dan bayang-bayang ketidakpastian. Pikiran menjadi seperti rumah angker yang selalu mengganggu setiap kali kita melewatinya. Ketidakpastian selalu hadir setiap hari tanpa henti, berdiri di hadapanku dengan rasa kecemasan yang menakutkan. Berdiri menghadapi ketidakpastian dengan kecemasan merupakan siksaan yang begitu menyeramkan bagiku.


Bendera putih yang kupegang dengan cemasnya menghadapi ketidakpastian ini membuat diriku ingin mundur dari medan perang kehidupan. Aku merasa tak kuat menahan gempuran peluru, roket, dan bom yang menghancurkan pikiranku yang hampir mati. Aku merasa tidak pernah merasakan kebebasan dari gangguan pikiran yang dipenuhi oleh kecemasan hidup. Hidup seolah menuntut aku untuk belajar dari kesalahan yang telah dibuat dan dari ketidakpastian yang dihadirkan oleh dunia.


Semesta seakan tidak pernah puas saat aku berjalan di atas bara api yang panas. Tidak ada hari yang bisa disebut sebagai hari sial, semua berada di luar kendaliku. Kendaliku hanyalah diriku sendiri, sementara di luar sana aku tidak bisa mengendalikannya. Stres yang kuhadapi seperti orang yang terlilit hutang, tidak bisa tidur dengan nyenyak, dan bahkan saat tidur pun aku bermimpi buruk. Aku terus berpikir apakah aku harus terus dihantam oleh kesialan ini. Aku ingin melepasnya, namun realita seakan menertawakan keinginanku.


Aku berharap perjalanan hidupku selalu dilancarkan. Aku sudah lelah dengan kecemasan yang selama ini aku alami. Aku sudah tak kuat menahannya. Ingin rasanya berteriak di tengah kerumunan, agar orang tahu bahwa aku sudah gila karena stres yang kurasakan selama ini. Gila karena tekanan dunia yang terus menuntutku untuk menjadi orang baik, menjadi orang yang tidak pernah salah. Aku tak kuat dengan cara seperti ini yang selalu memaksakan diri, padahal aku sudah tak sanggup menjalani lebih lama lagi. Aku ini makhluk hidup, bukan robot yang terus bekerja mengejar ketidakpastian. Sampai kapan aku harus tersiksa oleh dunia ini?


Aku terus menerus bertanya kepada semesta, mengapa aku diciptakan jika hanya untuk disiksa. Sampai kapan aku akan disiksa? Apakah alam merasa senang jika makhluk ini terus tersiksa dengan kejamnya? Aku kira dunia ini adalah rumah, ternyata dunia ini adalah panggung sandiwara yang penuh siksaan. Setiap kali merenung, hatiku terasa janggal dengan kecemasan ini. Rasanya kecemasan ini menjadi aktor jahat dalam peran hidupku. Setelah kebahagiaan datang, seolah kebusukan hidup kembali merajai hatiku yang tidak bersalah. Aku terus meminta pertolongan kepada siapa pun, namun entah mengapa aku tidak bisa merasakan pertolongan itu. Aku merasa diri ini sudah melewati batasnya.


Ketika merasa seperti ini, aku kadang-kadang merenungkan tentang makna hidup dan tujuan keberadaanku di dunia ini. Apakah semua penderitaan ini memiliki makna yang lebih dalam? Apakah ada pelajaran yang harus aku pelajari dari semua ini? Pertanyaan-pertanyaan ini sering kali muncul di benakku, namun jawabannya tampak kabur. Aku merasa seperti sedang berjalan di dalam kabut, tanpa arah yang jelas.


Aku merasa kesepian dalam perasaan ini, meskipun ada orang-orang di sekitarku. Mereka mungkin tidak mengerti betapa dalamnya kegelisahan yang aku rasakan. Aku merasa seperti ada tembok tak terlihat yang memisahkan aku dari orang lain. Terkadang, aku berpikir apakah ada orang lain yang merasakan hal yang sama seperti aku. Apakah ada orang lain yang juga merasa terjebak dalam lingkaran ketidakpastian dan kecemasan ini?


Aku berusaha mencari cara untuk mengatasi perasaan ini. Aku mencoba meditasi, berolahraga, dan bahkan berbicara dengan teman-teman tentang perasaan ini. Namun, perasaan tersebut tetap ada, seperti bayangan yang tidak bisa diusir. Mungkin, bagian dari diriku takut untuk melepaskan kecemasan ini, karena sudah menjadi bagian dari identitasku. Mungkin aku takut akan ketidakpastian yang lebih besar yang menanti jika aku mencoba untuk melepaskan kecemasan ini.


Namun, aku tahu bahwa aku harus terus berusaha. Aku harus terus mencari cahaya yang akan menerangi jalanku. Aku harus menemukan cara untuk merangkul ketidakpastian, untuk menerimanya sebagai bagian dari hidup. Mungkin, dengan menerima ketidakpastian, aku bisa menemukan kedamaian dalam diriku. Mungkin, dengan menerima bahwa hidup ini penuh dengan ketidakpastian, aku bisa belajar untuk hidup lebih bebas dan penuh kasih.


Aku berharap bisa menemukan jalan untuk keluar dari kegelapan ini. Aku berharap bisa menemukan kebahagiaan yang sejati, kebahagiaan yang tidak tergantung pada kondisi eksternal. Aku berharap bisa menemukan kedamaian dalam diriku, kedamaian yang bisa menjadi pelindung dari badai kehidupan. Aku berharap bisa menjadi lebih kuat, lebih berani, dan lebih bijaksana dalam menghadapi hidup.


Aku berharap suatu hari nanti aku bisa melihat kembali masa-masa ini dengan rasa syukur, karena aku telah belajar banyak dari penderitaan ini. Aku berharap bisa melihat kembali masa-masa ini sebagai periode pertumbuhan dan transformasi. Aku berharap bisa melihat kembali masa-masa ini dan merasa bangga pada diriku sendiri karena telah bertahan dan tidak menyerah. Aku berharap bisa menjadi inspirasi bagi orang lain yang mungkin sedang mengalami hal yang sama.


Hidup ini penuh dengan ketidakpastian, namun aku tahu bahwa aku bisa menemukan jalan untuk menghadapinya. Aku tahu bahwa aku bisa menemukan cara untuk hidup dengan lebih penuh, dengan lebih banyak kasih sayang, dan dengan lebih banyak keberanian. Aku tahu bahwa aku bisa menemukan cara untuk menerima diriku sendiri, dengan semua kekuranganku dan semua ketakutanku. Aku tahu bahwa aku bisa menemukan cara untuk mencintai diriku sendiri, dengan cara yang paling dalam dan paling sejati.


Dengan itu, aku akan terus berjalan di jalan ini, meskipun jalannya mungkin sulit dan penuh dengan rintangan. Aku akan terus mencari cahaya yang akan menerangi jalanku, dan aku akan terus berusaha menjadi versi terbaik dari diriku sendiri. Aku akan terus berharap, dan aku akan terus berjuang, karena aku tahu bahwa di balik semua ini, ada sesuatu yang lebih besar yang menantiku. Sesuatu yang lebih indah, lebih terang, dan lebih penuh dengan cinta.





Komentar

Postingan Populer

Jendela Rumahku

Cita-Cita Terakhirku

Melati