Langsung ke konten utama

Rafif: Dari Kegelapan Menuju Kekuatan


 "Walau begitu, Rafif tetap menjadi Rafif yang asli."

Rafif dulu sering sekali tersambar petir sampai hatinya hancur tak berdaya. Untuk berdiri tegak lagi rasanya mustahil. Ia hanya bisa diam di pojokan kamar yang gelap gulita. Langit yang semula cerah berakhir mendung, tak ada lagi cahaya masuk untuk menyinari Rafif yang sedang di pojok kamar itu.

Rafif berharap selalu ditanyakan, sampai mana harapan itu bisa terwujud. Saat itulah Rafif langsung diam dan membayangkan ia seakan-akan bisa keluar dari lingkaran iblis yang menghantuinya selama ini. Meski mengalami semua itu, Rafif tetap kuat dan menikmati hidupnya.

Rafif yang sekarang lebih kuat dari yang dulu. Ia lebih berani dan memiliki hati yang terbentuk kuat demi menjaga dan menguatkan mentalnya, lebih kuat dari sebelumnya. Efek gelombang masa lalu masih terasa pada diri Rafif, membuatnya sulit untuk akrab dengan kawan karena takut salah dan mengecewakan. Kenangan masa lalu masih menghantui.

Pagi yang cerah ini, dengan suara burung yang merdu, Rafif sedang duduk di pinggir taman. Suatu ketika, ada orang asing lewat di depan Rafif tanpa permisi dan melirik Rafif dengan wajah jahat. Rafif berpikir, "Apa salahku? Aku tidak pernah berbuat jahat padanya," dalam hati kecilnya. Setelah melirik, orang asing itu berkata, "Hai Rafif, kau itu orang aneh."

Mendengar perkataan tersebut, Rafif diam tak menghiraukan. Orang asing itu mengulanginya lagi, hingga akhirnya Rafif, dengan wajah marah, menghampiri orang tersebut dan berkata, "Hei, salahku di mana? Kau kira aku diam karena takut padamu? Tidak! Aku tidak takut padamu!" Orang asing itu terpancing dan menangkap Rafif, lalu membuangnya ke sungai dekat taman. Rafif tidak berdaya. Hari ini mungkin adalah hari yang suram baginya. Trauma masa lalu belum sembuh, membuat hari-harinya semakin suram.

Efek gejolak masa lalu masih terasa hingga saat ini. Luka masa lalu masih menghantui jiwa Rafif. Sampai kapan luka ini terus mengancam? Jawabannya masih belum ada sinar cahaya. Rafif merasa kurang nyaman ketika bertemu dengan orang asing. Ia tidak bisa berkata-kata, hanya diam saja yang bisa dilakukan. Orang asing ini tidak sepaham dengan gaya Rafif yang informatif sejarah, sementara orang asing lebih suka membahas hal yang tidak penting menurut pandangan Rafif.

Gejolak masa lalu membuat Rafif sulit bergabung dengan orang asing dan hanya berbicara tugas semata. Meski luka masih terasa amat dalam, Rafif belum lelah dengan efek gejolak ini. Ketika melihat masa lalu kehidupannya, Rafif berpendapat bahwa masa lalunya suram dan gelap. Namun, ada dampak positif dari gejolak ini, yaitu mental Rafif semakin kuat dan tidak mudah patah, sekalipun petir menyambar.

Rabu, 2 Maret 2022, Bekasi, 01.03

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Negeri yang Demam oleh Amarah

  Stres berkepanjangan membuat saya terus bertanya pada diri sendiri, mengapa kepala saya dipenuhi masalah dan ketakutan yang menghantui. Lemas dan letih rasanya menghadapi keadaan ini, apalagi melihat situasi yang genting. Kerusuhan dalam diri tak lagi bisa dibendung, penjara ketakutan telah merampas kebahagiaan saya. Ruang-ruang batin pun berantakan setelah hati dan pikiran saya dijarah oleh rasa takut. Berita televisi dan media sosial dipenuhi kecemasan. Kota terasa semakin tercekam oleh massa yang menyampaikan aspirasi kepada mereka yang duduk nyaman di kursi kekuasaan. Emosi membara, kemarahan muncul karena rakyat diremehkan oleh salah satu wakilnya yang seharusnya mewakili suara banyak orang. Massa aksi selayaknya semut-semut kecil, bergerombol lalu bubar ke segala arah tanpa tahu jalan pulang. Mereka berdiri berjam-jam hanya untuk mendengarkan teriakan sekawannya. Namun, tidak semua yang berkerumun murni menyuarakan aspirasi, ada provokator yang membuat keadaan semakin mence...

THR: Dari Mogok Buruh ke Proposal THR

  Bulan Ramadhan telah berakhir, dan saya merasa cukup senang menyambut hari Lebaran. Hari yang penuh kebersamaan itu akhirnya tiba, dan saya tidak sabar menunggu THR. Namun, saya sadar bahwa saya sudah bukan anak sekolah lagi, sekarang saya adalah seorang mahasiswa. Kata saudara saya, anak kuliah justru memiliki lebih banyak kebutuhan dibandingkan anak kecil atau anak sekolah. Tahun lalu saya masih mendapatkan THR, tetapi tahun ini saya tidak tahu apakah masih akan mendapatkannya. Saya butuh uang untuk membeli PDH Belistra dan himpunan, agar bisa segera melunasinya. Saya melihat para pekerja mendapatkan tunjangan hari raya berupa uang atau sembako, termasuk ayah saya. Tahu tidak kalau THR ini di tahun 1953 dulunya disebut Hadiah Lebaran atau Persekot Hari Raya? Saat itu, pemberian tersebut bersifat sukarela dari majikan sebagai bentuk kepedulian sosial. Pada tahun 1950-an, para buruh hidup dalam kondisi yang memprihatinkan, dengan penghasilan yang bahkan tidak cukup untuk membeli ...

Semua Sudah Diatur, Tidak Perlu Dipikirkan

 Semua Sudah Diatur, Tidak Perlu Dipikirkan   Malam yang sunyi, saya kembali menulis. Kali ini, saya menulis tentang permasalahan kehidupan saya. Masalah hidup saya sama seperti masalah negeri ini. Dari ujung barat sampai timur, negeri ini dipenuhi oleh kicauan mahasiswa yang berteriak menuntut keadilan. Begitu pula saya, yang terus berteriak kepada hati saya sendiri, merasa bersalah atas perbuatan yang telah berlalu.   Iya, memang saya selalu menyesali setiap tindakan yang sudah terjadi. Namun, saya berpikir bahwa Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyesal ketika membuat UU TNI, yang kini membuat gaduh narasi di media sosial. Kerusuhan terjadi di mana-mana karena naskah yang dibuat terburu-buru. Saya tidak tahu apakah naskah itu benar-benar disusun berdasarkan proses demokrasi.   Saya mendukung undang-undang ini karena saya percaya bahwa undang-undang itu tidak akan merugikan rakyat, justru menguntungkan mereka. Namun, saya juga meragukan kemampuan seseor...