Langsung ke konten utama

Pohon mangga: sendiri Namun berdiri

 

Pohon mangga: sendiri Namun berdiri

Oleh Abbas merah

By Abbas.merah


Pagi itu, aku berjalan-jalan di tengah kota yang amat ramai. Saat melihat sebuah pohon mangga yang berdiri sendirian di pinggir jalan, aku mendekatinya. Aku bertanya pada pohon itu, "Mengapa kamu sendirian di sini? Bukankah seharusnya kamu punya teman di sampingmu? Di mana mereka?"


Tentu saja, pohon mangga itu tidak menjawab. Dia hanya diam, karena tumbuhan memang tidak bisa berbicara. Tapi entah kenapa, aku merasa ingin terus bertanya, seolah-olah aku gila.


Saat itu, seseorang datang dan menegurku, "Kenapa kamu berbicara dengan pohon itu?"


Aku menjawab, "Aku penasaran, kenapa pohon ini sendirian? Bukankah setiap makhluk hidup biasanya berkumpul bersama yang lain? Kenapa pohon mangga ini tidak?"


Orang itu menatapku aneh dan berkata, "Hei, orang aneh, aku bertanya kenapa kamu berbicara dengan pohon itu, bukan apa yang kamu tanyakan ke pohon!"


Aku menjawab dengan kesal, "Aku berbicara dengan pohon itu karena dia juga makhluk hidup, kan?"


Orang itu balas menegaskan, "Hei, pohon itu memang makhluk hidup, tapi dia tidak bisa berbicara! Kamu sudah gila, ya?"


Mendengar itu, aku terdiam kaget. Aku menjawab pelan, "Aku sudah lelah... kenapa orang-orang di dunia ini selalu menghakimi aku?"


Mendengar kata-kataku, orang itu terkejut. Dia langsung mengajakku duduk di bangku dekat pohon mangga itu. Kami berbincang, dan dia mulai menanyakan keadaanku. Akhirnya, aku mencurahkan semua isi kepalaku kepadanya.


“Aku lelah dengan hidupku. Semua yang kulakukan selalu gagal. Keluarga hancur, tak ada yang mau mengalah. Di sekolah, aku dibully tanpa henti. Aku merasa hidupku seolah tanpa tujuan, seperti manusia yang benar-benar sendiri," kataku dengan suara berat.


Orang itu mendengarkan dengan tenang, lalu bertanya, "Kenapa kamu dibully di sekolah?"


Aku menjawab, "Aku orang miskin di sekolah itu. Bajuku seadanya, aku tidak punya uang banyak seperti teman-temanku. Karena itulah mereka mem-bully aku. Mereka menghina dan mendiskriminasi setiap kali aku mencoba bicara atau mengutarakan pendapat. Aku benar-benar capek dengan semua ini."


Orang itu mengangguk, lalu mengeluarkan permen karet dan memberikannya padaku. "Makan ini, biar kamu lebih tenang. Dari tadi kamu kelihatan gelisah," katanya.


Aku menerimanya dan mulai mengunyah. Lalu orang itu berkata dengan penuh perhatian, "Kamu harus bertahan, ya. Aku tahu hidup ini memang kejam. Setiap saat, pasti ada harapan untuk hal-hal yang kamu inginkan sekarang."


Aku menjawab dengan nada ragu, "Aku nggak yakin... Aku udah lelah dengan dunia ini yang rasanya makin sesak. Mana mungkin aku bisa mencapai kesuksesan kalau begini terus."


Orang itu tersenyum dan berkata, "Jangan pesimis, dong. Lihat pohon mangga itu. Kamu tadi bertanya kenapa dia sendirian. Pohon itu tetap berdiri kokoh, meski biasanya pohon hidup beramai-ramai. Dia tetap berdiri, meski angin topan menghantamnya, karena dia percaya diri dan yakin dengan dirinya sendiri. Kamu juga bisa seperti pohon mangga itu. Meski merasa sendiri, kamu harus belajar berdiri kokoh. Percayalah, di luar sana ada banyak tempat di mana kamu bisa menemukan teman baru dan merasa tidak sendirian."


Aku hanya terdiam, lalu menjawab pelan, "Tapi... aku harus mulai dari mana kalau mentalku sudah hancur?"


Orang itu tersenyum lembut dan berkata, "Sudah, aku akan antarkan kamu ke psikolog dan aku akan biayai sampai kamu sembuh."


Aku terkejut, "Seriusan?"


"Iya, serius. Masa aku bercanda?" jawabnya yakin.


Dari situlah aku mulai berobat dan belajar tentang kesehatan mental. Aku mulai mengerti kenapa pohon mangga itu bisa tetap berdiri meski sendirian. Karena dia yakin dengan dirinya sendiri. Keyakinan itu membuatnya tetap kokoh, siap menghadapi angin sekencang apapun. Begitu pula aku, aku harus belajar untuk tetap berdiri kokoh dalam menghadapi dunia ini.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Negeri yang Demam oleh Amarah

  Stres berkepanjangan membuat saya terus bertanya pada diri sendiri, mengapa kepala saya dipenuhi masalah dan ketakutan yang menghantui. Lemas dan letih rasanya menghadapi keadaan ini, apalagi melihat situasi yang genting. Kerusuhan dalam diri tak lagi bisa dibendung, penjara ketakutan telah merampas kebahagiaan saya. Ruang-ruang batin pun berantakan setelah hati dan pikiran saya dijarah oleh rasa takut. Berita televisi dan media sosial dipenuhi kecemasan. Kota terasa semakin tercekam oleh massa yang menyampaikan aspirasi kepada mereka yang duduk nyaman di kursi kekuasaan. Emosi membara, kemarahan muncul karena rakyat diremehkan oleh salah satu wakilnya yang seharusnya mewakili suara banyak orang. Massa aksi selayaknya semut-semut kecil, bergerombol lalu bubar ke segala arah tanpa tahu jalan pulang. Mereka berdiri berjam-jam hanya untuk mendengarkan teriakan sekawannya. Namun, tidak semua yang berkerumun murni menyuarakan aspirasi, ada provokator yang membuat keadaan semakin mence...

THR: Dari Mogok Buruh ke Proposal THR

  Bulan Ramadhan telah berakhir, dan saya merasa cukup senang menyambut hari Lebaran. Hari yang penuh kebersamaan itu akhirnya tiba, dan saya tidak sabar menunggu THR. Namun, saya sadar bahwa saya sudah bukan anak sekolah lagi, sekarang saya adalah seorang mahasiswa. Kata saudara saya, anak kuliah justru memiliki lebih banyak kebutuhan dibandingkan anak kecil atau anak sekolah. Tahun lalu saya masih mendapatkan THR, tetapi tahun ini saya tidak tahu apakah masih akan mendapatkannya. Saya butuh uang untuk membeli PDH Belistra dan himpunan, agar bisa segera melunasinya. Saya melihat para pekerja mendapatkan tunjangan hari raya berupa uang atau sembako, termasuk ayah saya. Tahu tidak kalau THR ini di tahun 1953 dulunya disebut Hadiah Lebaran atau Persekot Hari Raya? Saat itu, pemberian tersebut bersifat sukarela dari majikan sebagai bentuk kepedulian sosial. Pada tahun 1950-an, para buruh hidup dalam kondisi yang memprihatinkan, dengan penghasilan yang bahkan tidak cukup untuk membeli ...

Semua Sudah Diatur, Tidak Perlu Dipikirkan

 Semua Sudah Diatur, Tidak Perlu Dipikirkan   Malam yang sunyi, saya kembali menulis. Kali ini, saya menulis tentang permasalahan kehidupan saya. Masalah hidup saya sama seperti masalah negeri ini. Dari ujung barat sampai timur, negeri ini dipenuhi oleh kicauan mahasiswa yang berteriak menuntut keadilan. Begitu pula saya, yang terus berteriak kepada hati saya sendiri, merasa bersalah atas perbuatan yang telah berlalu.   Iya, memang saya selalu menyesali setiap tindakan yang sudah terjadi. Namun, saya berpikir bahwa Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyesal ketika membuat UU TNI, yang kini membuat gaduh narasi di media sosial. Kerusuhan terjadi di mana-mana karena naskah yang dibuat terburu-buru. Saya tidak tahu apakah naskah itu benar-benar disusun berdasarkan proses demokrasi.   Saya mendukung undang-undang ini karena saya percaya bahwa undang-undang itu tidak akan merugikan rakyat, justru menguntungkan mereka. Namun, saya juga meragukan kemampuan seseor...