Kesedihan: kehancuran hati
By Rafif Abbas Pradana
Aku di hadapan kecemasan yang ku-punya. Aku hanya terdiam dengan rasa sakit. Rasa sakit tak bisa disembuhkan oleh senyuman dari semesta sekalipun. Rasa ini membuatku tidak berdaya, tidak berguna lagi di saat pikiranku melaju ke depan. Namun, aku terdampar karena hatiku lelah dengan semua kerumitan yang kulalui selama hidupku. Aku ingin tertidur pulas tanpa terbangun terkena masalah lagi.
Sebenarnya, aku ini apa? Dan apa salahku sampai kerumitan di hatiku penuh dengan sebuah bayang-bayang kegagalan? Aku terus-menerus menulis kisah hidupku kepada orang lain, tapi orang lain tak pernah peduli dengan jeritan yang kualami. Sekalipun puisi kematian, mereka tidak akan peduli dengan keadaan ku. Aku yang semakin tercengkeram oleh keadaan.
Aku tahu bahwa aku bisa berdiri sendiri tanpa bantuan orang. Aku tahu emosiku terus mengarahkanku kepada jurang kesakitan yang kualami saat ini. Aku tak pernah meminta untuk ditolong, aku hanya ingin sekali ada orang yang mengerti keadaanku yang semakin hari semakin tidak jelas arahnya. Arah hidupku berantakan, walau aku terus merapikannya tetap saja berantakan. Aku bingung dengan kata-kata motivator yang penuh dengan kemanisan.
Aku tidak sebaik yang orang kira. Aku ini manusia jahat. Jahat terhadap diri sendiri. Memaksa diri sendiri terus berlari, sedangkan diri ini terus menangis. Aku telah menyukai hatiku yang malang ini. Aku adalah pelaku atas sakitnya hatiku sekarang. Aku hanya bisa curhat lewat tulisan seperti ini. Aku bisa berkata-kata tanpa tahu bagaimana kehidupanku ke depannya.
Jika aku tahu bahwa dunia ini tempat bermain, aku tidak perlu repot-repot untuk menenangkan diriku sendiri. Tapi ini kan bukan taman bermain? Ini adalah tempat penyiksaan yang kutemui. Tertawa-tawa sambil melupakan rasa sakit yang ada. Tidak ada rasa aman di tempat seperti ini. Tidak ada rasa bahagia dengan jeritan malam.
Selalu berteriak kesakitan meminta tolong, namun tidak satu pun orang mengerti kenapa aku bisa seperti ini. Tulisanku tidak jelas arahnya ke mana, sama seperti penulisnya. Aku tidak mampu lagi berlayar. Ombak selalu terlalu besar untuk kulalui. Aku bingung dengan diriku sendiri. Aku ingin sekali mengakhiri hidupku atau mengasingkan diri.
Aku sudah muak dengan hidupku seperti ini. Aku kesal dengan diriku yang selalu memaksa diri untuk kuat dan berpura-pura bahagia. Kesepian lagi, penyakitku selama ini. Walau banyak teman, kesepian selalu menghantuiku. Aku sudah lelah dengan kesepian. Aku benci malam hari. Aku benci kesepian yang kurasakan.
Tidak ada lagi yang perlu didebatkan untuk bisa membuat diriku berdiri. Aku sering berdiri, namun aku terus gagal. Pengalamanku ini terus mengikuti diriku. Aku sudah sampai di fase “sebenarnya aku sendiri ingin menyerah.” Sebetulnya bukan ingin lagi, tapi aku sudah menyerah dengan keadaan. Tertawa lagi dengan rasa sakit.
Bagusss
BalasHapus