Langsung ke konten utama

Menyelam untuk Mencari Mutiara


Aku di pinggir pantai, berpikir bahwa aku tidak mengetahui kedalaman dasar laut itu. Aku ingin sekali menyelam ke dasar untuk mencari mutiara. Aku mendapatkan informasi dari prasasti di dekat Gunung Merapi. Dalam prasasti itu disebutkan bahwa di dalam laut timur Pulau Jawa terdapat sebuah mutiara yang bisa membuat seseorang menemukan jati diri secara singkat, menjadi orang hebat, dan memiliki kewibawaan. Aku tergiur dengan cerita itu.

Aku kemudian mencari cara bagaimana aku bisa menyelam ke dalam laut itu. Aku pertama mencoba masuk ke laut dengan berjalan menghampiri ke tengah. Aku mencoba menyelam, namun malah tenggelam. Aku meminta tolong kepada orang sekitar, tetapi mereka tidak mendengar. Dada terasa sesak, hidung kemasukan air. Tiba-tiba, seekor lumba-lumba menolongku. Aku langsung dibawa ke pinggir pantai, bajuku ditarik dengan giginya. Namun, lumba-lumba itu kesulitan kembali ke laut. Saat itu juga aku lemas. Orang-orang datang menghampiri aku dan lumba-lumba itu, aku berhasil selamat, tetapi lumba-lumba tersebut tidak bisa tertolong lagi karena terjebak di daratan. Orang-orang sudah berusaha sekuat tenaga mendorongnya kembali ke laut, tetapi ia tetap tidak bisa bergerak lagi.

Aku tetap ingin mencari mutiara itu. Aku membaca koran dan menemukan berita tentang seorang penyelam yang memakai peralatan lengkap. Namun, di rubrik sebelahnya, ada orang yang bisa menyelam tanpa peralatan. Aku bertanya-tanya bagaimana ia bisa melakukannya, mengingat di dalam air tidak ada oksigen. Aku pun bingung. Akhirnya, aku memutuskan untuk memakai peralatan selam.

Aku mencari sekitar pantai dan menemukan satu-satunya tempat penyewaan peralatan selam. Aku bertanya-tanya kepada warga sekitar sebelum menyewa, meskipun harganya lumayan mahal. Aku diajarkan cara menggunakan peralatan selam. Saat ditanya untuk apa, aku hanya menjawab untuk berwisata air. Aku tidak mau menjawab jujur karena takut orang lain mengetahui tujuanku sebenarnya.

Setelah paham cara menggunakannya, aku pergi ke tengah laut dengan perahu, lalu menyelam. Ketika menyelam, aku menemukan keindahan bawah laut yang luar biasa. Ada ikan-ikan warna-warni dan terumbu karang yang indah. Mataku dimanjakan oleh pemandangan itu. Aku mulai mencari mutiara, tetapi cukup sulit menemukannya. Mutiara yang kucari memiliki cangkang berwarna merah putih, namun yang kutemukan hanya berwarna putih saja. Aku terus mencari hingga akhirnya menemukannya di dekat karang besar. Aku menggali-gali dan akhirnya mendapatkan yang kucari. Hatiku sangat senang.

Aku kembali ke daratan untuk membuka cangkang mutiara itu. Dengan penuh harapan, aku membukanya. Namun, saat aku memegang mutiara itu, tidak ada reaksi apa pun. Aku tidak menjadi seseorang yang berwibawa atau menemukan jati diri secara instan. Aku merasa bodoh atas perbuatanku sendiri. Mengapa aku percaya begitu saja pada prasasti itu? Aku merenungkan semuanya dan menyadari bahwa aku salah mengartikan teks prasasti itu.

Ternyata, "mencari mutiara di dasar laut" bukan berarti mencari benda fisik, melainkan memahami diri sendiri hingga ke lubuk hati yang paling dalam, seperti lautan yang luas. Dalam pencarianku itu, aku menemukan banyak hal yang membuatku memahami jati diri. Laut itu luas, sama seperti kehidupan yang penuh dengan makna. Mutiara itu adalah simbol tujuan kita, arah untuk melangkah lebih jauh agar menjadi manusia yang memiliki jati diri.

Aku sadar bahwa apa yang kulakukan tidak sia-sia. Dari pengalaman ini, aku belajar banyak hal—tentang kegagalan, rasa penasaran, dan keinginan untuk mengetahui lebih dalam. Aku menyadari bahwa menemukan jati diri tidak bisa instan, tetapi membutuhkan pengalaman dan kerja keras. Aku juga berterima kasih kepada lumba-lumba yang menolongku. Jika tidak, aku mungkin sudah tenggelam di laut. Sekarang, aku memahami makna laut dan hidupku.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Negeri yang Demam oleh Amarah

  Stres berkepanjangan membuat saya terus bertanya pada diri sendiri, mengapa kepala saya dipenuhi masalah dan ketakutan yang menghantui. Lemas dan letih rasanya menghadapi keadaan ini, apalagi melihat situasi yang genting. Kerusuhan dalam diri tak lagi bisa dibendung, penjara ketakutan telah merampas kebahagiaan saya. Ruang-ruang batin pun berantakan setelah hati dan pikiran saya dijarah oleh rasa takut. Berita televisi dan media sosial dipenuhi kecemasan. Kota terasa semakin tercekam oleh massa yang menyampaikan aspirasi kepada mereka yang duduk nyaman di kursi kekuasaan. Emosi membara, kemarahan muncul karena rakyat diremehkan oleh salah satu wakilnya yang seharusnya mewakili suara banyak orang. Massa aksi selayaknya semut-semut kecil, bergerombol lalu bubar ke segala arah tanpa tahu jalan pulang. Mereka berdiri berjam-jam hanya untuk mendengarkan teriakan sekawannya. Namun, tidak semua yang berkerumun murni menyuarakan aspirasi, ada provokator yang membuat keadaan semakin mence...

THR: Dari Mogok Buruh ke Proposal THR

  Bulan Ramadhan telah berakhir, dan saya merasa cukup senang menyambut hari Lebaran. Hari yang penuh kebersamaan itu akhirnya tiba, dan saya tidak sabar menunggu THR. Namun, saya sadar bahwa saya sudah bukan anak sekolah lagi, sekarang saya adalah seorang mahasiswa. Kata saudara saya, anak kuliah justru memiliki lebih banyak kebutuhan dibandingkan anak kecil atau anak sekolah. Tahun lalu saya masih mendapatkan THR, tetapi tahun ini saya tidak tahu apakah masih akan mendapatkannya. Saya butuh uang untuk membeli PDH Belistra dan himpunan, agar bisa segera melunasinya. Saya melihat para pekerja mendapatkan tunjangan hari raya berupa uang atau sembako, termasuk ayah saya. Tahu tidak kalau THR ini di tahun 1953 dulunya disebut Hadiah Lebaran atau Persekot Hari Raya? Saat itu, pemberian tersebut bersifat sukarela dari majikan sebagai bentuk kepedulian sosial. Pada tahun 1950-an, para buruh hidup dalam kondisi yang memprihatinkan, dengan penghasilan yang bahkan tidak cukup untuk membeli ...

Semua Sudah Diatur, Tidak Perlu Dipikirkan

 Semua Sudah Diatur, Tidak Perlu Dipikirkan   Malam yang sunyi, saya kembali menulis. Kali ini, saya menulis tentang permasalahan kehidupan saya. Masalah hidup saya sama seperti masalah negeri ini. Dari ujung barat sampai timur, negeri ini dipenuhi oleh kicauan mahasiswa yang berteriak menuntut keadilan. Begitu pula saya, yang terus berteriak kepada hati saya sendiri, merasa bersalah atas perbuatan yang telah berlalu.   Iya, memang saya selalu menyesali setiap tindakan yang sudah terjadi. Namun, saya berpikir bahwa Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyesal ketika membuat UU TNI, yang kini membuat gaduh narasi di media sosial. Kerusuhan terjadi di mana-mana karena naskah yang dibuat terburu-buru. Saya tidak tahu apakah naskah itu benar-benar disusun berdasarkan proses demokrasi.   Saya mendukung undang-undang ini karena saya percaya bahwa undang-undang itu tidak akan merugikan rakyat, justru menguntungkan mereka. Namun, saya juga meragukan kemampuan seseor...