Langsung ke konten utama

Ketika Bom Waktu Meledak

By Abbas Merah

Tekanan masa lalu terus meningkat secara perlahan. Kini, tekanan ini sudah menjadi bom waktu yang terhitung mundur. Angka bergantian beriringan dengan waktu yang berjalan. Kisah berdarah dan kesedihan mendalam dalam batin terus tercuat ke permukaan. 

Saat itu, batinku menguarkan asap hitam dari tubuh. Tidak lama lagi, tubuh ini akan ditinggalkan oleh jiwanya, digantikan oleh masa lalu yang belum terselesaikan. Aku mengerti dengan keadaan sekarang—tidak bisa diselamatkan oleh kata-kata manis yang tidak berdampak kepadaku. Yang bisa kulakukan sekarang hanyalah tersenyum dan pasrah.  

Diriku terdampar di lautan trauma. Sesaat, tubuhku bergetar panik. Seiring waktu berjalan semakin cepat, tubuhku langsung lemas. Sudahlah, tubuhku telah meleleh bersama masa laluku. Aku sudah berlarut dalam genangan darah. Bayanganku menerima semua ini dengan terpaksa. Aku bukan diriku lagi—aku dikuasai oleh masa laluku.  

Aku menarik napas untuk bisa bertahan, mencoba menentang diri sendiri untuk menghadapi semua ini. Namun, aku sudah terlambat. Pikiranku kosong, tak lagi bertindak dengan benar. Aku berteriak-teriak kesakitan, meminta tolong tanpa tahu apa penyebab sebenarnya. Rasa sakit ini hanyalah ilusi dari rekaman penyiksaan yang berulang dalam ingatanku—sebuah lingkaran setan yang terus menghabisi jiwaku, membuatku merenung sepanjang hari.  

Hari ini membawa kabar gembira bagi orang-orang yang membenciku—bahwa aku sekarang hanyalah kepingan batin yang terpecah, setiap kepingnya menyimpan lara yang begitu dalam.  

Aku ingin kembali ke saat di mana aku bisa melihat diriku sendiri dengan tenang, tanpa takut akan masa lalu. Aku tahu, luka sudah menemaniku selama ini. Aku merasakan perihnya saat diriku hancur. Kini, aku hanya terdiam, menunggu jiwaku kembali ke tubuhku. Namun, apa daya.  

Jiwaku telah berubah menjadi asap hitam yang menghitamkan tubuhku dan terus terbang entah ke mana. Aku tak tahu di mana jiwaku kini, dan aku tidak mengerti mengapa ia selalu takut untuk kembali. Masa lalu menjadi alasannya. Jiwaku lelah atas siksaan yang selama ini ia tanggung.  

Aku selalu berpikir bahwa aku bisa hidup tanpa bayang-bayang masa lalu itu. Namun, kini aku menyudahi drama ini—antara diriku dan masa lalu yang begitu buruk. Aku semakin cemas dengan segala hal yang menyiksa pikiranku. Aku ingin menangis di pangkuan semesta, ingin mengadu kepada bulan yang selalu menemani malam-malamku.  

Kehadiranku di dalam tubuh ini telah gagal menjadi diriku sendiri. Aku telah berusaha sekuat mungkin untuk melepaskan belenggu masa lalu. Memaafkan orang yang telah menyakitiku ternyata tidak semudah itu. Sebenarnya, aku sudah memaafkannya, tetapi aku tidak bisa melupakan perbuatannya—perbuatan yang membuatku cemas seperti sekarang.  

Orang itu tidak tahu bagaimana keadaanku saat ini. Aku hanya bisa mengucapkan selamat kepadanya karena telah berhasil menanamkan trauma dalam hidupku. Dia adalah idolaku dalam ingatan nerakaku. Aku ingin semuanya diakhiri dengan kata-kata yang setimpal. Namun, orang itu bukan lagi bagian dari masa lalu. Ia ada di masa kini. Aku tidak bisa melawannya.  

Aku menangis mengetahui kenyataan ini. Aku kembali terdiam.  

Bom waktu sudah meledak. Aku menjerit-jerit, merasakan sakit yang belum pernah kurasakan sebelumnya.  

Pasca bom waktu meledak di tubuhku, aku tidak bisa berkata apa-apa. Hidupku tidak tenang. Aku ingin mengakhiri segalanya dengan cepat, tetapi di sisi lain, aku juga ingin hidup dengan tenang. Kini, aku berjuang untuk tetap hidup.  

Masa lalu bagaikan musuh yang terus menusukku dengan kecemasan yang kubawa. Luka-luka berjejer rapi, seakan menyiapkan diriku sendiri untuk dikubur bersama kenangan busuk. Tubuhku sudah menjadi bangkai yang tidak bisa lagi melihat dunia dengan jernih. Aku hanya punya jiwaku yang kini tengah bergejolak.  

Gejolak ini kurasakan sensasinya. Ia membuatku berjalan terpincang-pincang. Dalam kondisi seperti ini, tidak mungkin bagiku untuk berlari kencang. Aku menyusuri perjalanan waktu, mencoba memahami diriku sendiri. Aku ingin bertahan dari gempuran kisah-kisah memilukan yang terus menghantuiku.  

Aku mencoba melupakan semuanya. Aku membenturkan kepalaku, berharap bisa menghapus semua ingatan buruk. Aku ingin hidup kembali tanpa membawa beban apa pun. Aku tak ingin mengenal duka dan lara. Namun, semua usahaku sia-sia. Bukannya menghilangkan kenangan, justru aku semakin terpuruk.  

Setengah jam kemudian, tubuhku kejang-kejang. Aku tak sadarkan diri.  

Di dalam mimpi, aku merasakan kesepian yang begitu dalam. Aku mencari jalan keluar, tetapi tidak tahu di mana letaknya. Dalam mimpi itu, aku bertemu dengan semua musuh yang telah menghancurkan jiwaku. Di sana, aku tersiksa lebih parah daripada di masa lalu. Aku dicambuk, dipatahkan, dan disiksa secara sadis.  

Hingga akhirnya, aku terbangun dengan keringat dingin. Aku mengedipkan mataku sendiri, mencoba berpikir dengan jernih.  

Aku tahu aku tidak bisa mengendalikan diriku sendiri, tetapi aku masih bisa mencoba. Aku masih bisa berpikir tenang. Aku masih bisa berjuang untuk tetap hidup!.


Makna tulisan ini:

Tulisan ini menggambarkan seseorang yang tengah berjuang melawan trauma masa lalu yang terus menghantuinya. Ia merasa seperti ada tekanan emosional yang semakin kuat hingga akhirnya meledak, membuatnya kehilangan kendali atas diri sendiri. Perasaan cemas, takut, dan luka lama membuatnya terjebak dalam penderitaan yang mendalam.  

Ia berusaha melupakan dan melepaskan masa lalu, tetapi semakin mencoba, semakin dalam ia terjebak dalam rasa sakitnya. Keinginannya untuk hidup dan menemukan ketenangan bertentangan dengan dorongan untuk menyerah. Dalam mimpinya, ia menghadapi semua ketakutan dan rasa sakit yang pernah dialami, hingga akhirnya ia terbangun dengan kesadaran bahwa meskipun dirinya masih terpecah, ia masih bisa berpikir dan bertahan.  

Tulisan ini mencerminkan pergulatan batin yang intens akibat trauma, tetapi juga mengisyaratkan adanya harapan untuk bangkit dan melawan kegelapan dalam dirinya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Negeri yang Demam oleh Amarah

  Stres berkepanjangan membuat saya terus bertanya pada diri sendiri, mengapa kepala saya dipenuhi masalah dan ketakutan yang menghantui. Lemas dan letih rasanya menghadapi keadaan ini, apalagi melihat situasi yang genting. Kerusuhan dalam diri tak lagi bisa dibendung, penjara ketakutan telah merampas kebahagiaan saya. Ruang-ruang batin pun berantakan setelah hati dan pikiran saya dijarah oleh rasa takut. Berita televisi dan media sosial dipenuhi kecemasan. Kota terasa semakin tercekam oleh massa yang menyampaikan aspirasi kepada mereka yang duduk nyaman di kursi kekuasaan. Emosi membara, kemarahan muncul karena rakyat diremehkan oleh salah satu wakilnya yang seharusnya mewakili suara banyak orang. Massa aksi selayaknya semut-semut kecil, bergerombol lalu bubar ke segala arah tanpa tahu jalan pulang. Mereka berdiri berjam-jam hanya untuk mendengarkan teriakan sekawannya. Namun, tidak semua yang berkerumun murni menyuarakan aspirasi, ada provokator yang membuat keadaan semakin mence...

THR: Dari Mogok Buruh ke Proposal THR

  Bulan Ramadhan telah berakhir, dan saya merasa cukup senang menyambut hari Lebaran. Hari yang penuh kebersamaan itu akhirnya tiba, dan saya tidak sabar menunggu THR. Namun, saya sadar bahwa saya sudah bukan anak sekolah lagi, sekarang saya adalah seorang mahasiswa. Kata saudara saya, anak kuliah justru memiliki lebih banyak kebutuhan dibandingkan anak kecil atau anak sekolah. Tahun lalu saya masih mendapatkan THR, tetapi tahun ini saya tidak tahu apakah masih akan mendapatkannya. Saya butuh uang untuk membeli PDH Belistra dan himpunan, agar bisa segera melunasinya. Saya melihat para pekerja mendapatkan tunjangan hari raya berupa uang atau sembako, termasuk ayah saya. Tahu tidak kalau THR ini di tahun 1953 dulunya disebut Hadiah Lebaran atau Persekot Hari Raya? Saat itu, pemberian tersebut bersifat sukarela dari majikan sebagai bentuk kepedulian sosial. Pada tahun 1950-an, para buruh hidup dalam kondisi yang memprihatinkan, dengan penghasilan yang bahkan tidak cukup untuk membeli ...

Semua Sudah Diatur, Tidak Perlu Dipikirkan

 Semua Sudah Diatur, Tidak Perlu Dipikirkan   Malam yang sunyi, saya kembali menulis. Kali ini, saya menulis tentang permasalahan kehidupan saya. Masalah hidup saya sama seperti masalah negeri ini. Dari ujung barat sampai timur, negeri ini dipenuhi oleh kicauan mahasiswa yang berteriak menuntut keadilan. Begitu pula saya, yang terus berteriak kepada hati saya sendiri, merasa bersalah atas perbuatan yang telah berlalu.   Iya, memang saya selalu menyesali setiap tindakan yang sudah terjadi. Namun, saya berpikir bahwa Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyesal ketika membuat UU TNI, yang kini membuat gaduh narasi di media sosial. Kerusuhan terjadi di mana-mana karena naskah yang dibuat terburu-buru. Saya tidak tahu apakah naskah itu benar-benar disusun berdasarkan proses demokrasi.   Saya mendukung undang-undang ini karena saya percaya bahwa undang-undang itu tidak akan merugikan rakyat, justru menguntungkan mereka. Namun, saya juga meragukan kemampuan seseor...