Langsung ke konten utama

Menulis Takdir di Kertas Putih

By rafif abbas pradana



Waktu berlalu, penuh dengan bekas-bekas hitam dalam memori di otak kita. Rasa sedih menyelimuti perasaan kita. Perasaan kebingungan dalam mengambil keputusan dan melangkah. Kebingungan ini menyebabkan diri kita merasa tersesat dalam perjalanan kita sendiri. Jalan masih panjang, masih banyak tantangan, sedangkan kita masih terdiam diri karena merasa takut untuk melangkah akibat masa lalu. Trauma lah yang menghantui kita selama ini karena gagal dalam mengambil keputusan dan menentukan arah hidup. Akhirnya, penyesalan adalah jawaban dari semua ini. Kadang-kadang kita merasa diri kita sudah gagal dalam hidup, padahal baru mulai melangkah menuju kesuksesan.

Menyesal adalah kata yang sering kita ucapkan ketika kita terlanjur tercebur dan tidak bisa kembali untuk mengulanginya lagi. Keputusan sudah final. Jika kita mundur, sudah tak bisa. Hanya menyebut kata "menyesal" setiap hari. Peristiwa sudah terjadi dan takdir sudah terbentuk. Kita hanya bisa menjalaninya dengan baik dan berpikir bagaimana kita bisa melewatinya dengan penuh kesadaran. Dalam lintasan perjalanan ini, kita tidak lagi merasakan beban hidup. Penyesalan adalah sebuah tantangan dalam hidup kita, yang menjadi bahan evaluasi dalam mengambil keputusan. Evaluasilah dan beradaptasilah dengan keputusan yang telah kita buat. Beradaptasi memang menyakitkan dalam hidup kita, tetapi manusia sudah memiliki kemampuan dasar untuk bertahan dalam keadaan apa pun. Walau badai menghadang dan lahan kering, kita masih tetap bisa hidup dengan langkah yang kita inginkan.

Kita sekarang ini sedang menulis takdir kita di atas kertas putih. Kertas yang sudah terisi dengan coretan, entah itu jelek atau bagus. Kita jangan terus-menerus memikirkan coretan itu, tetapi harus fokus dengan coretan baru yang kita tulis dalam lembaran hidup kita. Kita boleh melihat coretan lama, namun hanya untuk mengenali pola-pola yang bisa menjadi pelajaran berharga dalam hidup. Masa lalu bukanlah penjahat yang harus kita takuti. Justru, masa lalu bisa menjadi nilai penting dalam perjalanan kita. Masa depan adalah kertas putih yang belum ternodai. Maka, dalam masa sekarang, kita harus menyiapkan diri sebaik mungkin untuk menulisnya dengan lebih baik. Berbagai halangan harus kita hadapi dengan pikiran yang jernih dan tenang agar coretan kita tidak melenceng dan menghancurkan tulisan yang telah kita ciptakan selama ini.

Perjalanan kita masih panjang. Jebakan-jebakan menanti di setiap langkah. Berhati-hatilah dalam melangkah. Setiap kali kita menginjak tanah impian kita, pasti ada kalanya kita bertemu dengan duri di dalamnya. Jangan sampai kita lengah hingga terjebak dan terjerumus. Terdiam bukanlah akhir dari hidup kita. Kita pijakkan kaki dengan penuh ketelitian. Kita boleh memiliki banyak mimpi dan ambisi dalam mengejar kehidupan ini, tetapi jangan berlari tanpa melihat keadaan. Jika terlalu terburu-buru, malapetaka justru akan menyambut kita. Waktu terus berjalan, tidak bisa berulang untuk merevisi adegan dalam hidup kita. Kita harus menyadari bahwa untuk menjadi seseorang yang berhasil, mental kita harus kuat. Walau sudah berhati-hati, jebakan akan selalu ada. Kita harus siap. Kita harus bisa berdiri kembali setiap kali jatuh. Berdirilah sejenak meskipun rasa sakit masih terasa di dalam diri kita. Lalu, melangkahlah kembali dengan lebih bijak agar tidak terperosok dalam jebakan yang sama.

Pahami takdir kita. Selami samudra impian kita. Tegakkan badan untuk berjalan lebih cerdik dan bijak dalam mengambil keputusan. Akhir hidup kita ditentukan oleh seberapa cerdik kita dalam menentukan langkah. Ketika emosi meluap, tenangkan diri sebelum mengambil keputusan. Jangan sekali-kali mengambil keputusan dalam keadaan emosi karena ego akan mengambil alih kendali. Maka, diamlah sejenak. Beri diri kita ruang untuk membuka cakrawala baru dan merenung. Di luar sana masih banyak hal yang bisa kita renungkan. Jika kita merasa butuh waktu untuk sendiri, mengasingkan diri sejenak bisa menjadi cara untuk menenangkan hati dan pikiran. Sebab, sebelum gempuran masalah datang kembali, kita harus siap. Ketika ketenangan telah kita temukan, niscaya kita bisa mengambil keputusan dengan lebih jernih. Jangan terkecoh dengan pendapat orang-orang yang meremehkan kita. Jadikan itu sebagai bahan evaluasi untuk menjadi lebih baik. Yakinkan diri dengan keputusan yang telah kita ambil. Itulah diri kita sebagai manusia yang memiliki pondasi dalam hidup. Pegang erat keputusan yang kita buat. Setiap keputusan pasti memiliki dampak buruk, tetapi kita sudah tahu bagaimana cara meminimalisirnya.

Kita sering kali dibenturkan oleh realita. Itulah hidup. Kita hanya bisa menyesuaikan antara realita dan harapan. Ketika harapan lebih besar daripada realita, itu terlalu idealis. Sebaliknya, ketika realita lebih besar daripada harapan, itu terlalu materialistis. Di sini, kita jangan terlalu takut atau merasa tidak mungkin menghadapi realita yang buruk. Kita bisa menyesuaikan harapan dengan realita, sehingga perlahan-lahan mengubah takdir kita. Jalankan realita kita sendiri. Jangan berharap berlebihan terhadap sesuatu yang tidak sesuai dengan kenyataan. Apa yang ada di depan mata, itulah harapan kita. Manfaatkan semua itu dengan baik. Niscaya, harapan dan realita bisa berkolaborasi dengan harmonis.

Kita bisa mengambil pelajaran dari sejarah hidup kita untuk menentukan langkah dalam kehidupan. Keputusan adalah ujung tombak yang menentukan arah hidup kita. Jangan bermain-main dengan keputusan. Jangan bercanda dengan langkah yang kita pijak. Setiap pijakan meninggalkan bekas dalam ingatan kita. Maka, berhati-hatilah dalam melangkah. Sesuaikan harapan dengan realita yang ada. Analisis diri kita agar bisa terus berkembang. Penyesalan bukan lagi hal yang perlu kita risaukan, melainkan sesuatu yang bisa kita ikhlaskan. Kita telah melewati banyak jalan berliku. Pola-pola yang terbentuk di masa lalu dapat kita pelajari lebih dalam untuk bahan evaluasi agar menjadi pribadi yang lebih baik.

Mengambil tanggung jawab atas keputusan memang berat. Namun, jangan jadikan beban itu sebagai alasan untuk berhenti. Beban itu adalah realita yang harus kita perjuangkan. Apa yang telah kita pikirkan selama ini harus direalisasikan dalam kehidupan, jangan hanya berputar-putar tanpa arah yang jelas. Hidup harus memiliki tujuan yang membanggakan. Teruslah membaca catatan hidup yang telah kita tulis selama ini. Cermati, dan uraikan dalam kehidupan yang akan datang. Saat ini, kita harus berjuang sekuat tenaga, karena tidak ada lagi alasan untuk berhenti selamanya. Kita boleh berhenti sejenak, tetapi harus kembali berlari di lintasan yang telah kita buat. Semoga hidup kita tidak berulang tanpa perubahan. Jangan bosan dengan siklus hidup yang naik turun. Jatuh bangun adalah hal biasa bagi mereka yang ingin berubah dan berkembang.

Berubah menjadi lebih baik tidak bisa dilakukan dalam sekejap. Perubahan membutuhkan waktu. Namun, jika kita tidak sabar dalam proses perubahan, kita hanya akan terhenti dan kehilangan arah. Jika menyerah, kita akan berubah ke arah yang lebih buruk. Kita akan kehilangan jati diri dan semakin terjebak dalam kebingungan.

Komentar

  1. Untuk kamu yang tak pernah ragu untuk memikirkan coretan di atas kertas putih, ku doakan semoga di saat kertas sudah terisi penuh, itu akan membentuk pola yang indah :))

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Negeri yang Demam oleh Amarah

  Stres berkepanjangan membuat saya terus bertanya pada diri sendiri, mengapa kepala saya dipenuhi masalah dan ketakutan yang menghantui. Lemas dan letih rasanya menghadapi keadaan ini, apalagi melihat situasi yang genting. Kerusuhan dalam diri tak lagi bisa dibendung, penjara ketakutan telah merampas kebahagiaan saya. Ruang-ruang batin pun berantakan setelah hati dan pikiran saya dijarah oleh rasa takut. Berita televisi dan media sosial dipenuhi kecemasan. Kota terasa semakin tercekam oleh massa yang menyampaikan aspirasi kepada mereka yang duduk nyaman di kursi kekuasaan. Emosi membara, kemarahan muncul karena rakyat diremehkan oleh salah satu wakilnya yang seharusnya mewakili suara banyak orang. Massa aksi selayaknya semut-semut kecil, bergerombol lalu bubar ke segala arah tanpa tahu jalan pulang. Mereka berdiri berjam-jam hanya untuk mendengarkan teriakan sekawannya. Namun, tidak semua yang berkerumun murni menyuarakan aspirasi, ada provokator yang membuat keadaan semakin mence...

THR: Dari Mogok Buruh ke Proposal THR

  Bulan Ramadhan telah berakhir, dan saya merasa cukup senang menyambut hari Lebaran. Hari yang penuh kebersamaan itu akhirnya tiba, dan saya tidak sabar menunggu THR. Namun, saya sadar bahwa saya sudah bukan anak sekolah lagi, sekarang saya adalah seorang mahasiswa. Kata saudara saya, anak kuliah justru memiliki lebih banyak kebutuhan dibandingkan anak kecil atau anak sekolah. Tahun lalu saya masih mendapatkan THR, tetapi tahun ini saya tidak tahu apakah masih akan mendapatkannya. Saya butuh uang untuk membeli PDH Belistra dan himpunan, agar bisa segera melunasinya. Saya melihat para pekerja mendapatkan tunjangan hari raya berupa uang atau sembako, termasuk ayah saya. Tahu tidak kalau THR ini di tahun 1953 dulunya disebut Hadiah Lebaran atau Persekot Hari Raya? Saat itu, pemberian tersebut bersifat sukarela dari majikan sebagai bentuk kepedulian sosial. Pada tahun 1950-an, para buruh hidup dalam kondisi yang memprihatinkan, dengan penghasilan yang bahkan tidak cukup untuk membeli ...

Semua Sudah Diatur, Tidak Perlu Dipikirkan

 Semua Sudah Diatur, Tidak Perlu Dipikirkan   Malam yang sunyi, saya kembali menulis. Kali ini, saya menulis tentang permasalahan kehidupan saya. Masalah hidup saya sama seperti masalah negeri ini. Dari ujung barat sampai timur, negeri ini dipenuhi oleh kicauan mahasiswa yang berteriak menuntut keadilan. Begitu pula saya, yang terus berteriak kepada hati saya sendiri, merasa bersalah atas perbuatan yang telah berlalu.   Iya, memang saya selalu menyesali setiap tindakan yang sudah terjadi. Namun, saya berpikir bahwa Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyesal ketika membuat UU TNI, yang kini membuat gaduh narasi di media sosial. Kerusuhan terjadi di mana-mana karena naskah yang dibuat terburu-buru. Saya tidak tahu apakah naskah itu benar-benar disusun berdasarkan proses demokrasi.   Saya mendukung undang-undang ini karena saya percaya bahwa undang-undang itu tidak akan merugikan rakyat, justru menguntungkan mereka. Namun, saya juga meragukan kemampuan seseor...