Langsung ke konten utama

Pelaut di Lautan Diri



Aku menyadari bahwa diriku ini bukan seperti yang kalian lihat. Aku tidak sekuat yang kalian kira. Aku cukup rapuh dan lemah. Aku sendiri memanipulasi orang-orang seolah aku kuat. Aku rapuh karena peristiwa masa lalu yang penuh tragedi dan perlakuan yang tidak baik. Aku lebih memilih sakit fisik daripada sakit batin. Setiap hari di masa lalu yang pahit telah membentuk perjalanan hidupku. Kini, aku merasakan dampaknya. Aku menjadi seseorang yang mudah menyerah. Aku sering berteriak dalam hati, tetapi tidak ada yang tahu karena jeritan itu berasal dari dalam diriku sendiri.

Setiap hari hatiku lelah ditempa oleh musibah. Bahkan untuk mengangkat tangan sebagai tanda menyerah pun terasa berat, apalagi melarikan diri dari musibah ini. Musibah ini adalah kelanjutan dari pola masa lalu yang terus berulang, meskipun bentuknya berbeda. Meski aku tidak seperti dulu, namun jejak masa lalu telah tertanam dalam benakku. Aku merasakan sakit setiap kali bayangan masa lalu perlahan hadir kembali dalam kehidupanku saat ini. Jujur, aku sudah muak dengan semua ini. Seperti kata Baskara dalam lagunya "Cincin", "Hidup begini-begini aja." Seolah aku menikmati ritme kehidupan, padahal kenyataannya aku bosan. Bosan dengan rasa sakit yang tidak bisa kuhindari dari semua kepiluan ini.

Membuka buku, membaca tiap bab, tetapi hidupku masih terasa kurang. Aku mencari sesuatu yang hilang, tetapi belum menemukannya. Aku ingin mengakhiri pikiran ini, tetapi aku juga ingin menemukan jati diri karena aku lelah hidup seperti ini. Aku ingin tahu bagaimana caranya agar hidupku memiliki nilai, baik di mata orang lain maupun diriku sendiri. Aku sering merasa bersalah tanpa sebab, mungkin karena aku belum benar-benar menerima masa lalu. Seperti ada tulisan merah yang menyeramkan dalam rekaman ingatanku, mengingatkanku pada sesuatu yang ingin kulupakan.

Aku mengeluh tentang hidup ini, takut dianggap lemah, tetapi memang aku lemah. Namun, di sisi lain, aku juga merasa kuat. Jika aku kuat, kenapa aku sering mengeluh? Aku mengelus dada setiap hari karena terus mengangkat beban hidup yang belum selesai. Beban tugas, beban moral, dan harapan orang tua yang begitu besar. Mereka berharap banyak padaku, dan aku sadar betul akan hal itu. Aku hidup dalam kesadaran politik balas budi, menerima segalanya sejak kecil hingga dewasa. Aku ingin memberikan yang terbaik, meski tekanan terus menghantui dan menemani setiap malamku.

Mataku sudah tak bisa melihat ke mana-mana karena aku terlalu fokus memperbaiki diriku sendiri. Jika tidak, aku akan hancur oleh waktu yang terus mengikis jiwaku. Jiwa ini sudah terkikis, tubuh pun semakin rapuh karena tidak ada pondasi yang menopang. Kerapuhan semangat ini membuatku merasa bersalah atas keputusan-keputusan yang kuambil. Aku ingin melangkah menuju kehidupan yang memberi nilai, tetapi di saat yang sama, aku merasa gagal dalam segala yang telah kutempuh. Aku telah berusaha sebaik mungkin, tetapi rasanya masih kurang. Aku bukan tidak bersyukur, hanya saja aku merasa masih belum cukup. Aku ingin keluar dari tempat yang membuatku tidak nyaman dan berpindah ke tempat yang membantuku berkembang.

Aku ingat sebuah pepatah, bahwa seorang pelaut tidak akan menjadi hebat jika tidak berlayar di samudra luas, menghadapi gelombang yang mengguncang kapalnya. Pelaut yang berpengalaman telah belajar menjinakkan gelombang, menahan rasa sakit, dan terus bertahan. Di tengah ketidakpastian, tidak ada kehidupan jika kapal telah tenggelam. Risiko yang tinggi membuat pelaut menjadi tangguh dan handal, dan aku ingin menjadi seperti itu.

Aku pernah tertipu oleh sebuah percikan. Percikan yang memberiku kebahagiaan sesaat, tetapi kemudian menjatuhkanku ke dalam lingkaran masalah. Aku terlena oleh kebahagiaan itu, lalu terjatuh. Aku lupa untuk berhati-hati dalam memilih dan melangkah. Setiap kali aku mengingatnya, rasa was-was menghantuiku. Aku tidak ingin lagi dimanipulasi oleh kebahagiaan semu yang tidak ada artinya. Berulang kali aku melontarkan pertanyaan pada diriku sendiri, memastikan agar aku tidak kembali terjatuh. Aku pikir lantai yang kupijak ini licin, makanya aku berhati-hati ketika melangkah. Jangan sampai basah oleh hujan deras, lalu lantai menjadi semakin licin, membuatku terpeleset dan terjatuh. Aku merasakan sakit, menahan rasa sakit sambil diguyur hujan. Hujan itu berasal dari masa lalu yang hadir di tengah rasa lemas, datang karena trauma yang kemudian menjelma menjadi awan mendung dan hujan yang kini mengguyurku.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Negeri yang Demam oleh Amarah

  Stres berkepanjangan membuat saya terus bertanya pada diri sendiri, mengapa kepala saya dipenuhi masalah dan ketakutan yang menghantui. Lemas dan letih rasanya menghadapi keadaan ini, apalagi melihat situasi yang genting. Kerusuhan dalam diri tak lagi bisa dibendung, penjara ketakutan telah merampas kebahagiaan saya. Ruang-ruang batin pun berantakan setelah hati dan pikiran saya dijarah oleh rasa takut. Berita televisi dan media sosial dipenuhi kecemasan. Kota terasa semakin tercekam oleh massa yang menyampaikan aspirasi kepada mereka yang duduk nyaman di kursi kekuasaan. Emosi membara, kemarahan muncul karena rakyat diremehkan oleh salah satu wakilnya yang seharusnya mewakili suara banyak orang. Massa aksi selayaknya semut-semut kecil, bergerombol lalu bubar ke segala arah tanpa tahu jalan pulang. Mereka berdiri berjam-jam hanya untuk mendengarkan teriakan sekawannya. Namun, tidak semua yang berkerumun murni menyuarakan aspirasi, ada provokator yang membuat keadaan semakin mence...

THR: Dari Mogok Buruh ke Proposal THR

  Bulan Ramadhan telah berakhir, dan saya merasa cukup senang menyambut hari Lebaran. Hari yang penuh kebersamaan itu akhirnya tiba, dan saya tidak sabar menunggu THR. Namun, saya sadar bahwa saya sudah bukan anak sekolah lagi, sekarang saya adalah seorang mahasiswa. Kata saudara saya, anak kuliah justru memiliki lebih banyak kebutuhan dibandingkan anak kecil atau anak sekolah. Tahun lalu saya masih mendapatkan THR, tetapi tahun ini saya tidak tahu apakah masih akan mendapatkannya. Saya butuh uang untuk membeli PDH Belistra dan himpunan, agar bisa segera melunasinya. Saya melihat para pekerja mendapatkan tunjangan hari raya berupa uang atau sembako, termasuk ayah saya. Tahu tidak kalau THR ini di tahun 1953 dulunya disebut Hadiah Lebaran atau Persekot Hari Raya? Saat itu, pemberian tersebut bersifat sukarela dari majikan sebagai bentuk kepedulian sosial. Pada tahun 1950-an, para buruh hidup dalam kondisi yang memprihatinkan, dengan penghasilan yang bahkan tidak cukup untuk membeli ...

Semua Sudah Diatur, Tidak Perlu Dipikirkan

 Semua Sudah Diatur, Tidak Perlu Dipikirkan   Malam yang sunyi, saya kembali menulis. Kali ini, saya menulis tentang permasalahan kehidupan saya. Masalah hidup saya sama seperti masalah negeri ini. Dari ujung barat sampai timur, negeri ini dipenuhi oleh kicauan mahasiswa yang berteriak menuntut keadilan. Begitu pula saya, yang terus berteriak kepada hati saya sendiri, merasa bersalah atas perbuatan yang telah berlalu.   Iya, memang saya selalu menyesali setiap tindakan yang sudah terjadi. Namun, saya berpikir bahwa Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyesal ketika membuat UU TNI, yang kini membuat gaduh narasi di media sosial. Kerusuhan terjadi di mana-mana karena naskah yang dibuat terburu-buru. Saya tidak tahu apakah naskah itu benar-benar disusun berdasarkan proses demokrasi.   Saya mendukung undang-undang ini karena saya percaya bahwa undang-undang itu tidak akan merugikan rakyat, justru menguntungkan mereka. Namun, saya juga meragukan kemampuan seseor...