Langsung ke konten utama

Puisi yang Tak Ingin Menjadi Puisi

 By Rafif Abbas Pradana ( Abbas.Merah )

Aku berkeras memaksa semuanya harus sempurna. Mengorbankan hati yang sudah terluka. Kini lukanya semakin parah. Hari-hariku terasa seperti aktivitas yang berulang-ulang tanpa arti. Egoku sering kali menikam diriku sendiri. Aku kasihan pada hatiku, tapi terus memaksanya menyelam meski napas hampir habis. Aku menyimpan rasa sakit ini erat-erat, berharap semesta tidak tahu betapa parahnya hatiku terluka.

Namun semesta akhirnya tahu dari perbuatanku yang sering menyiksa diri sendiri. Semesta mengutukku menjadi sebuah puisi. Kini aku hanyalah kata-kata yang menguak rasa sakitku. Hatiku memang merasa lega, tapi aku kehilangan diriku. Aku dan hatiku terhempas. Aku hanya sebatas puisi yang terus berusaha melukiskan dunia. Dunia yang gelap tanpa makna positif.

Malam ini aku mencurahkan isi hati lewat bait-bait di atas lembaran kayu jati. Aku meyakinkan diri untuk merangkak berdiri pelan-pelan, berjalan di atas bara api kehidupan. Aku menyukai caraku melepaskan belenggu dunia. Setiap kata yang kutuliskan membuat dunia tahu bagaimana hidupku selama ini terpenjara dalam kecemasan. Kecemasan yang membuatku gugup berbicara dengan semesta yang telah mengutukku. Aku ingin kembali menjadi diriku sendiri. Aku tak ingin menjadi puisi; aku ingin menulis puisi tentang diriku tanpa menjadi puisi itu sendiri.

Aku mencintai diriku dan hatiku. Aku bisa melangkah karena itu. Aku tak mungkin berlari tanpa tahu bagaimana memulai. Aku tak mungkin berjalan tanpa tahu tujuan dan niat untuk melangkah. Belenggu dunia sempat mengganggu kewarasanku. Alam bawah sadarku berteriak di malam yang sunyi, memperingatkan agar aku lebih menjaga hatiku.

Bayang-bayang dunia mendengar jeritanku, tetapi menganggapnya biasa. Mereka menilai apa yang kualami sering terjadi pada banyak orang. Manusia memang selalu mencari validasi dan eksistensi di lingkungannya—begitu juga aku. Aku ingin diakui di tengah ribuan manusia agar terlihat sempurna. Di sini aku salah, karena kesempurnaan bukan kewajiban manusia. Manusia hanya perlu berusaha mendekatinya.

Aku sudah terjebak dalam belenggu pikiran sendiri, dan hatiku menjadi korban. Aku lelah berkelahi dengan pikiran yang terus overthinking. Aku takut melakukan kesalahan, tapi kesalahan adalah bagian dari hidup.

Saat aku berpikir diriku akan hancur karena kesalahan besar, ternyata itu hanya masalah kecil. Aku yang sudah terlanjur ketakutan. Hatiku kembali menjadi korban, menanggung beban berat. Masalah akan terus ada selama aku hidup. Ternyata hidup adalah ladang masalah yang tak pernah habis. Namun, dari kesalahan itu aku belajar banyak hal yang tak pernah diajarkan di bangku sekolah.

Dampak dari semua ini memang melemahkanku, tapi juga menguatkanku. Akhirnya, aku bisa berdamai dengan keadaan diriku. Aku tak lagi mengejar kesempurnaan dan tak takut menghadapi masalah. Yang penting, aku berusaha menyelesaikannya tanpa terus terjebak memikirkannya.

Agar hatiku perkasa, biarlah ia beristirahat sejenak. Bersama hati yang kuat, aku siap bertempur melawan berbagai masalah yang ada sekarang dan nanti.

Rafif. Hatiku Sendiri. Bekasi: Abbas Meras Produksi, 2004.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Negeri yang Demam oleh Amarah

  Stres berkepanjangan membuat saya terus bertanya pada diri sendiri, mengapa kepala saya dipenuhi masalah dan ketakutan yang menghantui. Lemas dan letih rasanya menghadapi keadaan ini, apalagi melihat situasi yang genting. Kerusuhan dalam diri tak lagi bisa dibendung, penjara ketakutan telah merampas kebahagiaan saya. Ruang-ruang batin pun berantakan setelah hati dan pikiran saya dijarah oleh rasa takut. Berita televisi dan media sosial dipenuhi kecemasan. Kota terasa semakin tercekam oleh massa yang menyampaikan aspirasi kepada mereka yang duduk nyaman di kursi kekuasaan. Emosi membara, kemarahan muncul karena rakyat diremehkan oleh salah satu wakilnya yang seharusnya mewakili suara banyak orang. Massa aksi selayaknya semut-semut kecil, bergerombol lalu bubar ke segala arah tanpa tahu jalan pulang. Mereka berdiri berjam-jam hanya untuk mendengarkan teriakan sekawannya. Namun, tidak semua yang berkerumun murni menyuarakan aspirasi, ada provokator yang membuat keadaan semakin mence...

THR: Dari Mogok Buruh ke Proposal THR

  Bulan Ramadhan telah berakhir, dan saya merasa cukup senang menyambut hari Lebaran. Hari yang penuh kebersamaan itu akhirnya tiba, dan saya tidak sabar menunggu THR. Namun, saya sadar bahwa saya sudah bukan anak sekolah lagi, sekarang saya adalah seorang mahasiswa. Kata saudara saya, anak kuliah justru memiliki lebih banyak kebutuhan dibandingkan anak kecil atau anak sekolah. Tahun lalu saya masih mendapatkan THR, tetapi tahun ini saya tidak tahu apakah masih akan mendapatkannya. Saya butuh uang untuk membeli PDH Belistra dan himpunan, agar bisa segera melunasinya. Saya melihat para pekerja mendapatkan tunjangan hari raya berupa uang atau sembako, termasuk ayah saya. Tahu tidak kalau THR ini di tahun 1953 dulunya disebut Hadiah Lebaran atau Persekot Hari Raya? Saat itu, pemberian tersebut bersifat sukarela dari majikan sebagai bentuk kepedulian sosial. Pada tahun 1950-an, para buruh hidup dalam kondisi yang memprihatinkan, dengan penghasilan yang bahkan tidak cukup untuk membeli ...

Semua Sudah Diatur, Tidak Perlu Dipikirkan

 Semua Sudah Diatur, Tidak Perlu Dipikirkan   Malam yang sunyi, saya kembali menulis. Kali ini, saya menulis tentang permasalahan kehidupan saya. Masalah hidup saya sama seperti masalah negeri ini. Dari ujung barat sampai timur, negeri ini dipenuhi oleh kicauan mahasiswa yang berteriak menuntut keadilan. Begitu pula saya, yang terus berteriak kepada hati saya sendiri, merasa bersalah atas perbuatan yang telah berlalu.   Iya, memang saya selalu menyesali setiap tindakan yang sudah terjadi. Namun, saya berpikir bahwa Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyesal ketika membuat UU TNI, yang kini membuat gaduh narasi di media sosial. Kerusuhan terjadi di mana-mana karena naskah yang dibuat terburu-buru. Saya tidak tahu apakah naskah itu benar-benar disusun berdasarkan proses demokrasi.   Saya mendukung undang-undang ini karena saya percaya bahwa undang-undang itu tidak akan merugikan rakyat, justru menguntungkan mereka. Namun, saya juga meragukan kemampuan seseor...