Langsung ke konten utama

Akar Puisiku

 


Malam ini, aku akan menceritakan bagaimana aku mulai menulis puisi. Semuanya bermula saat aku duduk di bangku SMP. Saat itu, aku sedang belajar seperti biasa, lalu melihat temanku—seseorang yang kucintai saat itu—menulis puisi yang menurutku sangat indah. Bukan hanya satu atau dua puisi, tetapi satu buku penuh ia tulis. Aku semakin penasaran dengan dunia puisi. Sebelumnya, aku tidak menyukai puisi karena menurutku sulit untuk membuatnya, bingung harus memulainya dari mana. Namun, karena sering melihatnya menulis, aku mulai merenungkan bagaimana proses ia menciptakan puisi. Aku pun mencoba menulis, meskipun hasilnya masih kaku dan terasa asing bagiku.

    Aku benar-benar mulai mendalami puisi pada masa pandemi Covid-19. Rasa hampa dan kebosanan saat itu mendorongku untuk menulis puisi. Aku memulainya dengan menulis puisi cinta, terutama tentang perasaan rindu yang tak terelakkan. Aku menulis untuk seseorang yang kukagumi, namun tak sempat kuungkapkan perasaanku padanya. Dari situ, aku mulai menciptakan puisi, salah satunya yang paling kusukai berjudul "Hai."

Hai
Langit-langit mulai redup,
Awan mulai mengepung,
Petir selalu bergetar,
Angin menghembus kencang.

Wahai adinda, suasana saat ini sedang tidak baik-baik saja.
Apakah kau tahu betapa khawatirkan diriku memikirkan dirimu.
Kau tahu tidak, ku rela hujan-hujanan demi menunggu mu, datang di hadapanku.
Sayang, kau melupakan diriku, kau tidak peduli lagi dengan nasibku ini.
Ku percaya tuhan mencari jalan terbaik untuk kita.
Kau cepat sadar, dengan arti cinta ini.
Kau cepat pergi ke hadapanku.

Hai adinda kau ingat dengan masa lalu kita?
Kau pasti lupa, betapa mesranya kisah cinta kita di masa lalu.

Kau selalu tersenyum yang kini, senyuman hanya menjadi imajinasi semata.
Kau akan, ingat dengan kisah cinta kita?..
kau ada dimana sekarang ini....

    Puisi itu menggambarkan perasaan rinduku yang ingin diungkapkan secara langsung, tetapi aku tidak berani karena sadar diri. Aku terus berlatih menulis puisi, menjadikan kata-kata, diksi, dan majas sebagai alat untuk menyalurkan perasaanku. Puisi menjadi obat bagi jiwaku yang goyah akibat perubahan besar yang terjadi selama pandemi. Aku menuliskan segala keresahanku melalui puisi.

    Di bangku SMA, aku mulai lebih serius dalam menulis puisi. Aku mulai membaca antologi puisi dari para penyair untuk memahami lebih dalam tentang seni ini. Kesempatan pun datang ketika aku bisa mengikuti lomba puisi tingkat kabupaten, Festival Lomba Seni Siswa Nasional (FLS2N). Saat itu, aku mengikuti lomba puisi, meskipun hasilnya belum maksimal. Aku hanya meraih peringkat 8 dari 15 peserta. Meskipun sedikit kecewa, aku tetap bangga bisa mewakili sekolah. Selain itu, aku juga dipercaya oleh guruku untuk menulis puisi dengan tema tertentu sebagai tugas. Pengalaman itu semakin mengasah kemampuanku dalam menulis.

    Bagiku, menulis puisi bukan sekadar tentang keindahan kata-kata, tetapi juga tentang roh dan esensi dari puisi itu sendiri. Jujur, aku menulis puisi untuk menyembuhkan batinku yang sedang terluka. Aku mencurahkan seluruh perasaan dan penderitaanku melalui puisi, menggoreskannya di atas kertas, lalu membiarkannya menjadi bagian dari panggung sastra. Aku merasa senang ketika puisiku diapresiasi oleh teman-temanku. Banyak yang mulai menganggapku sebagai penyair, meskipun aku sendiri merasa masih harus banyak belajar.

    Gaya puisiku cenderung melankolis, dengan pendekatan pesimisme dalam memandang kehidupan. Aku mengeluarkan segala kekecewaanku melalui puisi, terkadang dengan dramatisasi berlebihan seolah-olah akulah yang paling tersakiti. Namun, selain mengungkapkan perasaan pribadi, aku juga menulis puisi yang berfokus pada masalah sosial, seperti kehidupan anak-anak jalanan yang seharusnya bersekolah, tetapi justru harus bekerja sebagai pengamen. Aku mengeksplorasi realitas ini dalam puisiku sebagai bentuk kritik terhadap keadaan yang sering kulihat di jalanan.

    Banyak penyair besar yang memiliki gaya melankolis dalam menulis, seperti Sapardi Djoko Damono yang dikenal dengan puisi-puisi lirismenya yang penuh kelembutan dan kesunyian. Puisinya, seperti "Aku Ingin," mencerminkan perasaan yang dalam dan personal. Selain itu, Chairil Anwar dengan puisinya yang penuh gairah dan pemberontakan juga memiliki sisi melankolis, terutama dalam puisi-puisi seperti "Senja di Pelabuhan Kecil."  Karya-karya mereka menjadi inspirasi bagiku untuk terus mengeksplorasi dunia puisi dengan gaya yang lebih matang dan dalam.

    Dalam batin dan jiwaku, aku tidak bisa lepas dari puisi. Puisi telah menjadi teman setia sekaligus obat saat jiwaku terguncang. Semua coretan puisi yang telah kutulis adalah bagian dari diriku. Aku merasa bahwa aku dan puisi adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Aku juga sangat menikmati kebebasan dalam berpikir dan berkarya. Aku suka menggabungkan hal-hal yang belum pernah terpikirkan oleh orang lain. Aku mencoba hal-hal yang mungkin dianggap aneh oleh sebagian orang. Puisiku sering kali membuka pintu ke dunia keabstrakan. Bagiku, malam adalah kehidupanku, dan rembulan adalah harapan. Hal-hal ini membuatku merasa hidup, seolah melayang di ketinggian, melihat segalanya dari kejauhan, memahami diriku sendiri, dan menuangkan isi kepalaku melalui puisi.

    Sampai saat ini, aku masih merasa belum benar-benar memahami puisi. Aku masih perlu banyak belajar agar suatu hari nanti, saat aku telah tiada, puisiku tetap hidup dan dikenang oleh orang lain.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Negeri yang Demam oleh Amarah

  Stres berkepanjangan membuat saya terus bertanya pada diri sendiri, mengapa kepala saya dipenuhi masalah dan ketakutan yang menghantui. Lemas dan letih rasanya menghadapi keadaan ini, apalagi melihat situasi yang genting. Kerusuhan dalam diri tak lagi bisa dibendung, penjara ketakutan telah merampas kebahagiaan saya. Ruang-ruang batin pun berantakan setelah hati dan pikiran saya dijarah oleh rasa takut. Berita televisi dan media sosial dipenuhi kecemasan. Kota terasa semakin tercekam oleh massa yang menyampaikan aspirasi kepada mereka yang duduk nyaman di kursi kekuasaan. Emosi membara, kemarahan muncul karena rakyat diremehkan oleh salah satu wakilnya yang seharusnya mewakili suara banyak orang. Massa aksi selayaknya semut-semut kecil, bergerombol lalu bubar ke segala arah tanpa tahu jalan pulang. Mereka berdiri berjam-jam hanya untuk mendengarkan teriakan sekawannya. Namun, tidak semua yang berkerumun murni menyuarakan aspirasi, ada provokator yang membuat keadaan semakin mence...

THR: Dari Mogok Buruh ke Proposal THR

  Bulan Ramadhan telah berakhir, dan saya merasa cukup senang menyambut hari Lebaran. Hari yang penuh kebersamaan itu akhirnya tiba, dan saya tidak sabar menunggu THR. Namun, saya sadar bahwa saya sudah bukan anak sekolah lagi, sekarang saya adalah seorang mahasiswa. Kata saudara saya, anak kuliah justru memiliki lebih banyak kebutuhan dibandingkan anak kecil atau anak sekolah. Tahun lalu saya masih mendapatkan THR, tetapi tahun ini saya tidak tahu apakah masih akan mendapatkannya. Saya butuh uang untuk membeli PDH Belistra dan himpunan, agar bisa segera melunasinya. Saya melihat para pekerja mendapatkan tunjangan hari raya berupa uang atau sembako, termasuk ayah saya. Tahu tidak kalau THR ini di tahun 1953 dulunya disebut Hadiah Lebaran atau Persekot Hari Raya? Saat itu, pemberian tersebut bersifat sukarela dari majikan sebagai bentuk kepedulian sosial. Pada tahun 1950-an, para buruh hidup dalam kondisi yang memprihatinkan, dengan penghasilan yang bahkan tidak cukup untuk membeli ...

Semua Sudah Diatur, Tidak Perlu Dipikirkan

 Semua Sudah Diatur, Tidak Perlu Dipikirkan   Malam yang sunyi, saya kembali menulis. Kali ini, saya menulis tentang permasalahan kehidupan saya. Masalah hidup saya sama seperti masalah negeri ini. Dari ujung barat sampai timur, negeri ini dipenuhi oleh kicauan mahasiswa yang berteriak menuntut keadilan. Begitu pula saya, yang terus berteriak kepada hati saya sendiri, merasa bersalah atas perbuatan yang telah berlalu.   Iya, memang saya selalu menyesali setiap tindakan yang sudah terjadi. Namun, saya berpikir bahwa Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyesal ketika membuat UU TNI, yang kini membuat gaduh narasi di media sosial. Kerusuhan terjadi di mana-mana karena naskah yang dibuat terburu-buru. Saya tidak tahu apakah naskah itu benar-benar disusun berdasarkan proses demokrasi.   Saya mendukung undang-undang ini karena saya percaya bahwa undang-undang itu tidak akan merugikan rakyat, justru menguntungkan mereka. Namun, saya juga meragukan kemampuan seseor...