Dan Bandung Terbakar Lagi
Sejarah kembali mencatat sejarah dengan bantuan para tukang mencari celah masa lalu. Sejarah pun mengatakan kepadaku bahwa Kota Bandung pernah dibumihanguskan oleh mereka yang ingin bebas dari jeratan siksaan. Kini, wartawan mencatat para mahasiswa yang sedang membakar sebuah kantor bank. Semangat mahasiswa ini mencerminkan pendahulu mereka, ketika Bandung pada saat itu sedang tidak baik-baik saja.
Pada 20 hingga 21 Maret 2025, gejolak mahasiswa tidak bisa dipisahkan dari api amarah. Sebab, sebuah naskah yang belum matang sudah disahkan. Ketakutan ini akan menjadi-jadi jika hal ini dibiarkan begitu saja. Maka dari itu, mahasiswa Indonesia, khususnya di Bandung, menyerukan aspirasi mereka kepada penguasa negeri ini.
Semangat tidak hanya sampai di jalanan. Mahasiswa yang mempelajari sejarah Bandung Lautan Api merasakan jiwanya menantikan kehadiran para pahlawan di tengah-tengah demonstrasi. Peristiwa 23 Maret 1946 telah membuktikan bahwa jika negara sudah tidak bisa lagi diajak berdialog, maka kota pun bisa dibakar. Dulu, rakyat Bandung melawan tentara Sekutu karena ultimatum mendadak yang memerintahkan mereka mengosongkan Bandung bagian utara. Namun, rakyat Bandung bukan orang yang mudah diatur, terlebih mereka sudah merdeka. Mereka tidak bisa diam begitu saja. Akhirnya, seluruh fasilitas di kota itu dibakar habis.
Mungkin, mahasiswa Bandung saat ini mengikuti jejak para pendahulu mereka dengan bom molotov untuk membakar kota. Mereka sudah tidak peduli lagi dengan apa pun yang terjadi. Tujuan mereka hanya satu: memberikan kepastian atas keputusan-keputusan yang dibuat di gedung-gedung nyaman, sementara rakyat tidak lagi didengar.
Semangat mereka semakin membara ketika lagu Halo-Halo Bandung karya Ismail Marzuki dikumandangkan. Lirik "Sekarang telah menjadi lautan api, mari bung rebut kembali!" semakin menyulut amarah. Ketika lagu ini dinyanyikan, bom pun terlempar jauh ke bangunan kota. Mahasiswa sudah lelah menunggu dan menunggu, namun tidak pernah didengar. Lagu ini lahir dari kebencian terhadap penjajah Barat yang seenaknya merebut wilayah yang sudah jelas-jelas merdeka. Kini, situasi yang sama terulang kembali. Demokrasi terancam oleh peraturan yang dibuat seenaknya.
Saya pun mendukung penuh aksi ini karena mahasiswa sudah memiliki dasar yang jelas. Sejarah adalah pijakan untuk menentukan jalan perjuangan. Jangan sampai kalah dengan para prajurit yang seharusnya tetap berada di barak dan menjaga keamanan negara, bukan mengusik urusan sipil.
Napoleon Bonaparte pernah berkata, "Terkadang, kau harus membakar yang lama untuk memberi jalan bagi yang baru." Hal ini didukung oleh Che Guevara yang berkata, "Ada saatnya sebuah kota harus dibakar, bukan karena kebencian, tetapi demi kebebasan." Mahasiswa bukan membenci bangunan di Bandung, mereka hanya ingin kebebasan—yakni hak untuk bersuara dan menentukan nasib bangsa mereka sendiri.
Memang, banyak pihak yang mengecam perbuatan ini. Namun, perlu diingat bahwa bisa saja ini hanyalah godaan setan untuk menghasut mahasiswa. Tetapi, jika benar setan menghasut mereka, mengapa hal ini justru membawa perubahan besar? Jika direnungkan, apakah para pendahulu juga dipengaruhi setan ketika membakar Bandung?
Banyak sudut pandang mengenai hal ini. Saya sendiri memilih untuk melihat dan mengamati. Memahami dinamika Bandung sama seperti memahami kota itu dengan perasaan, sebagaimana sepenggal lirik Pidi Baiq, "Dan Bandung bagiku bukan cuma urusan wilayah belaka, lebih jauh dari itu melibatkan perasaan yang bersamaku ketika sunyi." Artinya, kita diajarkan untuk mencintai Bandung sepenuh hati. Dan karena cinta, apa pun harus dilakukan, termasuk membakar kota, seperti yang pernah dilakukan para pendahulu.
Perasaan mahasiswa saat itu pun memiliki nuansa revolusi yang besar. Mereka mengalami trauma kolektif—ketakutan bahwa militer akan kembali berkuasa seperti di era Orde Baru. Itulah alasan mengapa mereka tega membakar sebuah bangunan bank.
Saya berpikir, jika mahasiswa hanya diam saat aksi, itu bukan bentuk perjuangan, melainkan hanya sekadar berkicau indah. Hanya menjadi bahan omongan para pejabat yang tetap menutup telinga mereka. Saya terus menyaksikan drama negara ini, yang tampaknya belum akan selesai sebelum Lebaran.
Namun, hati saya dilema karena jika sebuah kota terbakar oleh mahasiswa, siapa yang akan menggantinya? Masa iya pemerintah? Pemerintah sendiri saja sudah defisit dan banyak utang. Kasihan jika orang lain yang merugi karena ulah mahasiswa itu. Mungkin itulah dinamika hidup—ada yang diuntungkan dan ada yang dirugikan. Seharusnya, negara ini harus untung, bukan rugi karena korupsi yang terus-menerus terjadi, sudah seperti Kasemen sepakbola.
Saya meramalkan bahwa negara ini bisa saja menjadi seperti Bandung pada masa itu—dibumihanguskan oleh rakyatnya sendiri. Namun, jika kota ini terbakar, kita akan pergi ke mana? Saya sendiri mungkin akan pergi ke Belanda. Di sana, saya bisa belajar sejarah agar sejarah bisa mencatat lebih baik lagi, bukan hanya menjadi alat propaganda pemerintah.
Semoga tulisanku ini tidak dicari-cari oleh tukang bakso yang memakai HT, dan aku tidak ditembak oleh "penembak publik" seperti di zaman Orde Baru.
.png)
keren
BalasHapus