Langsung ke konten utama

Demo Sebelum Lebaran

 

Kamis, 27 Maret 2025, saya mengikuti aksi rusuh. Awalnya, saya berangkat jam 6 pagi sebagai peserta aksi pertama yang berada di gedung DPR Senayan. Saya tidak sendirian dalam aksi ini, melainkan bersama teman saya yang bernama Saki. Saki adalah seseorang yang tidak lama mendapatkan pekerjaan karena rezim tidak memperdulikan nasib masyarakat yang kesulitan mencari kerja akibat lapangan kerja yang terbatas. Pemerintah hanya memberikan janji manis, katanya telah membuka sebelas juta lapangan kerja baru dalam tiga tahun terakhir. 

Namun, keraguan muncul saat melihat kondisi perekonomian kita yang kacau balau, apalagi dengan situasi politik dan birokrasi yang bahkan bayi sekalipun tidak akan mengerti. Arahnya tidak jelas mau ke mana. Saya dan Saki ingin pergi ke gedung yang menjadi pusat drama politik, tempat di mana setiap orang memainkan perannya masing-masing untuk menciptakan citra yang bagus sekaligus mengeluarkan bau busuk dari citra itu.

Saya pergi demo jam 2 siang karena ketiduran dari jam 6 pagi sampai jam 12 siang, begitu juga dengan Saki. Kebiasaan begadang merenungi nasib diri menjadi penyebabnya. Ketika hendak berangkat, hujan turun. Walaupun awalnya dimarahi, akhirnya saya diizinkan untuk ikut aksi. Saya pergi ke rumah Saki meskipun gerimis masih turun. Sesampainya di sana, kami berdiskusi mengenai teknis keberangkatan dan kepulangan. Setelah mencapai kesepakatan, kami pergi ke stasiun lalu naik kereta ke Stasiun Palmerah. Dari Palmerah ke gedung DPR hanya sekitar 1,2 km. Cukup melelahkan, tetapi saya bersemangat karena ingin menduduki atap gedung DPR itu. 

Namun, saat hendak menuju ke sana, saya kebingungan. Karena bingung, saya mengikuti dua orang berbaju hitam yang terlihat seperti bagian dari skena aksi. Terlihat meyakinkan bahwa mereka ikut demo, tetapi ternyata mereka hanya ingin ke Blok M. Saya kecewa dan ingin memukul mereka karena merasa tertipu. Akhirnya, saya berinisiatif meminjam HP Saki untuk melihat Google Maps. Setelah mengetahui posisinya, kami pun berjalan menuju gedung tersebut.

Setengah jalan, saya menemukan sekelompok orang yang memberhentikan sebuah mobil. Saya diajak naik ke mobil bak tersebut. Sesampainya di lokasi, saya melihat logistik makanan untuk mensuplai kebutuhan peserta demo. Melihat ini, saya yakin bahwa setiap elemen memiliki perannya masing-masing. Solidaritas masyarakat begitu kuat dalam mendukung aksi ini. Saya bangga menjadi bagian dari aksi tersebut. Tidak hanya makanan, kebutuhan aksi lainnya seperti jas hujan, masker, dan kacamata juga disediakan untuk menghadapi gas air mata dari polisi. Ketika ingin sampai ke depan gedung DPR, saya menelepon Kak Kiting yang bersama kawannya. Jujur, saya takut jika tidak didampingi oleh para suhu dari Banten ini. Namun, setelah beberapa lama tidak datang, Kak Kiting menelepon saya dan menyuruh untuk maju lebih dulu. Saya dan Saki pun melangkah lebih dulu ke depan gedung DPR.

Suasananya begitu bersemangat. Saya melihat orang-orang menyemprotkan cat semprot, menggambarkan kemarahan rakyat terhadap para wakil yang bahkan saya sendiri tidak menganggap mereka sebagai wakil. Mereka merevisi UU secara tertutup di hotel mewah. Saya menengok ke kanan, melihat orang-orang lain merusak kabel internet. Beberapa orang terlihat seperti sedang kerja bakti, mengikis tembok sedikit demi sedikit. Namun, tembok itu tetap kokoh karena tidak dibayar oleh DPR, dan tidak ada Gibran di sana. Tidak ada investor yang masuk karena banyak pihak asing kabur akibat birokrasi yang ruwet dan ekonomi yang semakin memburuk.

Tiba-tiba, saya dipanggil Kak Kiting yang mengaku rindu melihat saya. Saya menyapanya dengan keras. Ia mengajak saya merapat ke kerumunan orang, pusat dari kegiatan aksi. Di sana, banyak orang berorasi membahas berbagai topik panas, sepanas berita perselingkuhan mantan pejabat gubernur Jawa bagian Barat. Saya mendengarkan dengan cermat dan merenungkan. Dari orasi itu, saya mendapatkan hidayah untuk rajin salat dan sedekah. Saya juga mendengar bahwa aksi ini berencana menduduki atap gedung DPR, sebagaimana yang dilakukan ribuan masyarakat pada tahun 1998. Namun, melihat kekuatan massa yang tidak cukup dan jumlah polisi yang banyak, saya merasa itu tidak mungkin terjadi.

Di tengah kemarahan rakyat, saya menemukan seorang profesor, panutan seluruh rakyat Indonesia, Fery Irwandy. Ia memberikan kepercayaan kepada masyarakat melalui opininya tentang negara ini dengan bahasa yang sederhana. Beliau memiliki aura yang sama dengan Tan Malaka: dingin, tetapi memiliki ide-ide yang mendobrak zaman.

Peserta aksi banyak yang memanjat pagar sambil memainkan petasan. Ada pula yang memukul-mukul kotak listrik dengan bambu, seolah-olah seperti bayi yang tidak menghasilkan apa-apa. Namun, saya tetap mengapresiasi usaha mereka.

Seiring berjalannya waktu, situasi semakin tidak kondusif, sesuatu yang sebenarnya saya tunggu. Peserta aksi disemprot gas air mata, tetapi mereka tetap bertahan di atas pagar. Semakin disemprot, semakin membakar amarah dan semangat. Mereka ingin mendobrak dan merobohkan pagar itu, tetapi usaha mereka gagal. Sebagian peserta mulai melempar berbagai macam benda seperti batu dan botol minum.

Saat suasana memanas, seorang polisi datang mengendarai motor polisi. Saat itu juga, polisi tersebut dikeroyok oleh peserta aksi dan motornya dibakar hingga gosong. Saat pengeroyokan itu terjadi, saya dan Saki berada di sana. Namun, setelah kejadian itu selesai, Saki menghilang. Saya dan Kak Kiting panik mencarinya, tetapi tidak membuahkan hasil. Saya semakin cemas, takut kehilangan teman dekat saya. Namun, saat sedang mencari, saya menemukan Saki duduk di pinggir pohon, santai menyantap gorengan dan kopi. Ternyata, dia sedang mokel. Saya menegurnya, tetapi Saki tidak mempedulikan teguran saya yang panik dan kaget melihat dia makan sementara saya masih bertahan dalam rasa lapar dan haus.

Saat matahari semakin terbenam, polisi mulai menyetel bacaan Al-Qur’an. Seolah-olah mahasiswa yang berdemonstrasi ini adalah setan. Saya sih mendukung polisi yang menyetel Al-Qur’an, tetapi bukan dalam posisi ketika peserta aksi sedang emosi. Seolah-olah mereka di dalam gedung tidak tersesat dalam mengambil keputusan.

Akhirnya, saya berbuka puasa ketika suara azan terdengar dari gedung DPR. Saya yakin mereka di dalam juga sedang berbuka puasa seperti kami di luar. Akan lebih baik jika ada pengadaan bukber bersama aparat agar hasil demo bisa didiskusikan lebih lanjut. Namun, pasti akan ada pihak yang menolak karena gengsi. Masing-masing pihak memiliki idealisme dan pola doktrin yang berbeda.

Saya menggenggam batang pohon kecil yang tumbuh di depan tembok gedung DPR, merasakan kelembutan daunnya di sela jari-jari saya. Saya merenung. Di saat saya mencabut sehelai rumput dari taman ini, hutan-hutan di negeri ini justru lenyap tanpa ampun, 500.000 hingga 600.000 hektar habis ditebang pada tahun 2025, menurut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia. Pemerintah tetap diam, tak jelas apakah karena takut pada penguasa atau justru bersekongkol dengan mereka. Hanya Tuhan yang tahu bagaimana semua ini bisa terus berlangsung.

Setelah berbuka dengan gorengan dan air dari logistik, saya dan Saki pamit untuk pulang. Kami pulang dengan keadaan aman tanpa terluka. Semoga setelah aksi ini, semua kalangan bisa turun ke jalan seperti peristiwa 1998. Saya sendiri berharap bisa melihat Indonesia menjadi negara yang maju dalam segala aspek. Namun, itu hanya mimpi jika pemerintah masih bernyanyi dan berjoget, "Ok, gas! Ok, gas! Ok, aman!"

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Negeri yang Demam oleh Amarah

  Stres berkepanjangan membuat saya terus bertanya pada diri sendiri, mengapa kepala saya dipenuhi masalah dan ketakutan yang menghantui. Lemas dan letih rasanya menghadapi keadaan ini, apalagi melihat situasi yang genting. Kerusuhan dalam diri tak lagi bisa dibendung, penjara ketakutan telah merampas kebahagiaan saya. Ruang-ruang batin pun berantakan setelah hati dan pikiran saya dijarah oleh rasa takut. Berita televisi dan media sosial dipenuhi kecemasan. Kota terasa semakin tercekam oleh massa yang menyampaikan aspirasi kepada mereka yang duduk nyaman di kursi kekuasaan. Emosi membara, kemarahan muncul karena rakyat diremehkan oleh salah satu wakilnya yang seharusnya mewakili suara banyak orang. Massa aksi selayaknya semut-semut kecil, bergerombol lalu bubar ke segala arah tanpa tahu jalan pulang. Mereka berdiri berjam-jam hanya untuk mendengarkan teriakan sekawannya. Namun, tidak semua yang berkerumun murni menyuarakan aspirasi, ada provokator yang membuat keadaan semakin mence...

THR: Dari Mogok Buruh ke Proposal THR

  Bulan Ramadhan telah berakhir, dan saya merasa cukup senang menyambut hari Lebaran. Hari yang penuh kebersamaan itu akhirnya tiba, dan saya tidak sabar menunggu THR. Namun, saya sadar bahwa saya sudah bukan anak sekolah lagi, sekarang saya adalah seorang mahasiswa. Kata saudara saya, anak kuliah justru memiliki lebih banyak kebutuhan dibandingkan anak kecil atau anak sekolah. Tahun lalu saya masih mendapatkan THR, tetapi tahun ini saya tidak tahu apakah masih akan mendapatkannya. Saya butuh uang untuk membeli PDH Belistra dan himpunan, agar bisa segera melunasinya. Saya melihat para pekerja mendapatkan tunjangan hari raya berupa uang atau sembako, termasuk ayah saya. Tahu tidak kalau THR ini di tahun 1953 dulunya disebut Hadiah Lebaran atau Persekot Hari Raya? Saat itu, pemberian tersebut bersifat sukarela dari majikan sebagai bentuk kepedulian sosial. Pada tahun 1950-an, para buruh hidup dalam kondisi yang memprihatinkan, dengan penghasilan yang bahkan tidak cukup untuk membeli ...

Semua Sudah Diatur, Tidak Perlu Dipikirkan

 Semua Sudah Diatur, Tidak Perlu Dipikirkan   Malam yang sunyi, saya kembali menulis. Kali ini, saya menulis tentang permasalahan kehidupan saya. Masalah hidup saya sama seperti masalah negeri ini. Dari ujung barat sampai timur, negeri ini dipenuhi oleh kicauan mahasiswa yang berteriak menuntut keadilan. Begitu pula saya, yang terus berteriak kepada hati saya sendiri, merasa bersalah atas perbuatan yang telah berlalu.   Iya, memang saya selalu menyesali setiap tindakan yang sudah terjadi. Namun, saya berpikir bahwa Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyesal ketika membuat UU TNI, yang kini membuat gaduh narasi di media sosial. Kerusuhan terjadi di mana-mana karena naskah yang dibuat terburu-buru. Saya tidak tahu apakah naskah itu benar-benar disusun berdasarkan proses demokrasi.   Saya mendukung undang-undang ini karena saya percaya bahwa undang-undang itu tidak akan merugikan rakyat, justru menguntungkan mereka. Namun, saya juga meragukan kemampuan seseor...