Langsung ke konten utama

Di Balik Bayang-Bayang Diri

Rafif Abbas Pradana


 Aku menulis di dini hari, hampir waktu sahur. Pikiranku menjelajah, dari ujung ke ujung. Aku menyadari bahwa rahasia hidupku belum aku temukan sampai sekarang. Padahal, rahasia dunia saja masih penuh teka-teki. Makanya, aku mencari rahasia diriku sendiri. Mungkin, kalau aku bisa menemukan rahasia ini, aku juga bisa memahami rahasia dunia.

Tapi sebelum lebih jauh membahasnya, aku ingin bertanya pada diriku sendiri: apa sih rahasia diri itu? Kenapa aku menyebutnya sebagai "rahasia"? Kalau kata orang, rahasia ini ada di lubuk hati yang paling dalam, tersembunyi di balik keinginan dan arah hidup yang sulit ditemukan. Itu sebabnya disebut rahasia. Dan kenapa aku menyebutnya sekarang? Karena aku sendiri penasaran dengan bayang-bayang yang ada di sana—di alam bawah sadar yang diam-diam mengendalikan semuanya. Sungguh rumit. Aku sendiri bingung saat membahasnya.

Setiap bangun tidur, yang pertama kali terlintas di kepalaku adalah tugas dan pekerjaan yang harus diselesaikan. Tak pernah terpikir bagaimana caranya menikmati hari atau sekadar mengambil jeda untuk diriku sendiri. Makanya, rahasia ini harus ditemukan. Agar batin tidak terus-menerus menjerit, agar aku tahu ke mana arah yang harus aku tuju, dan bagaimana aku menghadapi segala tantangan. Kadang, tekanan yang datang dari segala arah membuat otakku berpikir seakan-akan tidak ada jalan keluar. Tapi, bahkan di tempat gelap pun, aku bisa menemukan jalan pulang untuk sekadar beristirahat sejenak. Capek juga kalau terus-terusan dihantam kejutan-kejutan hidup. Saking capeknya, aku malah ingin tertawa. Lucu juga, rasanya aku ini seperti truk yang mengangkut muatan penuh, berat, terus berjalan tanpa tahu kapan harus berhenti.

Aku melihat ke luar jendela kehidupan. Sudah berpuluh-puluh buku yang kubaca untuk memecahkan rahasia ini, tapi tetap saja aku bingung. Malah rasanya tersesat, tak tahu siapa yang menyesatkanku sampai sejauh ini. Kulihat teman-temanku, mereka sepertinya punya jati diri yang jelas. Aku mencoba mengikuti mereka, berharap bisa punya sesuatu yang mereka miliki. Tapi, nyatanya aku malah kehilangan diriku sendiri, menjadi bayangan orang lain. Itu bukan aku. Aku tidak puas. Aku ingin melepaskan belenggu kebingungan ini, ingin menemukan siapa diriku sebenarnya.

Ki Hajar Dewantara bilang, ada tiga unsur penting dalam membangun jati diri yang kuat: cipta, rasa, dan karsa. Cipta itu pikiran dan intelektualitas—kemampuan berpikir kreatif, membentuk tujuan, dan menentukan arah hidup tanpa hanya sekadar ikut-ikutan. Rasa itu emosi, bagaimana seseorang mengelola perasaannya agar tidak terombang-ambing oleh keadaan. Sementara karsa adalah tekad dan kemauan untuk bertindak. Ketiga unsur ini bekerja sama membentuk kepribadian seseorang. Aku sadar, mungkin aku belum menemukan keseimbangan antara cipta, rasa, dan karsa dalam diriku. Itu sebabnya aku masih terus mencari.

Aku juga tahu bahwa pengendalian diri itu penting. Mengendalikan emosi, pikiran, dan tindakan membuat seseorang bisa membuat pilihan yang lebih baik dan mencapai tujuan hidupnya. Tapi, aku masih berusaha. Keingintahuanku terus mendorongku untuk mencari jawaban. Aku tidak tahu siapa yang menyembunyikan rahasia ini—apakah waktu, kehidupan, atau diriku sendiri? Aku lahir, tumbuh, menjalani hidup ini, tapi masih belum benar-benar mengenal kedalaman batinku sendiri. Bahkan soal cinta pun, aku masih terjebak dalam perasaan yang tidak jelas arahnya.

Untuk sekarang, aku hanya bisa menjalani hidup ini, melewati setiap peristiwa dengan penuh kesenangan. Biarkan keingintahuanku menjelajah lebih jauh. Aku yakin, rahasia ini akan terbongkar dengan sendirinya. Karena waktu terus berjalan, dan hasil dari perjalanan ini pasti akan mengungkapkan siapa diriku sebenarnya.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Negeri yang Demam oleh Amarah

  Stres berkepanjangan membuat saya terus bertanya pada diri sendiri, mengapa kepala saya dipenuhi masalah dan ketakutan yang menghantui. Lemas dan letih rasanya menghadapi keadaan ini, apalagi melihat situasi yang genting. Kerusuhan dalam diri tak lagi bisa dibendung, penjara ketakutan telah merampas kebahagiaan saya. Ruang-ruang batin pun berantakan setelah hati dan pikiran saya dijarah oleh rasa takut. Berita televisi dan media sosial dipenuhi kecemasan. Kota terasa semakin tercekam oleh massa yang menyampaikan aspirasi kepada mereka yang duduk nyaman di kursi kekuasaan. Emosi membara, kemarahan muncul karena rakyat diremehkan oleh salah satu wakilnya yang seharusnya mewakili suara banyak orang. Massa aksi selayaknya semut-semut kecil, bergerombol lalu bubar ke segala arah tanpa tahu jalan pulang. Mereka berdiri berjam-jam hanya untuk mendengarkan teriakan sekawannya. Namun, tidak semua yang berkerumun murni menyuarakan aspirasi, ada provokator yang membuat keadaan semakin mence...

THR: Dari Mogok Buruh ke Proposal THR

  Bulan Ramadhan telah berakhir, dan saya merasa cukup senang menyambut hari Lebaran. Hari yang penuh kebersamaan itu akhirnya tiba, dan saya tidak sabar menunggu THR. Namun, saya sadar bahwa saya sudah bukan anak sekolah lagi, sekarang saya adalah seorang mahasiswa. Kata saudara saya, anak kuliah justru memiliki lebih banyak kebutuhan dibandingkan anak kecil atau anak sekolah. Tahun lalu saya masih mendapatkan THR, tetapi tahun ini saya tidak tahu apakah masih akan mendapatkannya. Saya butuh uang untuk membeli PDH Belistra dan himpunan, agar bisa segera melunasinya. Saya melihat para pekerja mendapatkan tunjangan hari raya berupa uang atau sembako, termasuk ayah saya. Tahu tidak kalau THR ini di tahun 1953 dulunya disebut Hadiah Lebaran atau Persekot Hari Raya? Saat itu, pemberian tersebut bersifat sukarela dari majikan sebagai bentuk kepedulian sosial. Pada tahun 1950-an, para buruh hidup dalam kondisi yang memprihatinkan, dengan penghasilan yang bahkan tidak cukup untuk membeli ...

Semua Sudah Diatur, Tidak Perlu Dipikirkan

 Semua Sudah Diatur, Tidak Perlu Dipikirkan   Malam yang sunyi, saya kembali menulis. Kali ini, saya menulis tentang permasalahan kehidupan saya. Masalah hidup saya sama seperti masalah negeri ini. Dari ujung barat sampai timur, negeri ini dipenuhi oleh kicauan mahasiswa yang berteriak menuntut keadilan. Begitu pula saya, yang terus berteriak kepada hati saya sendiri, merasa bersalah atas perbuatan yang telah berlalu.   Iya, memang saya selalu menyesali setiap tindakan yang sudah terjadi. Namun, saya berpikir bahwa Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyesal ketika membuat UU TNI, yang kini membuat gaduh narasi di media sosial. Kerusuhan terjadi di mana-mana karena naskah yang dibuat terburu-buru. Saya tidak tahu apakah naskah itu benar-benar disusun berdasarkan proses demokrasi.   Saya mendukung undang-undang ini karena saya percaya bahwa undang-undang itu tidak akan merugikan rakyat, justru menguntungkan mereka. Namun, saya juga meragukan kemampuan seseor...