Menulis dan Melawan
Saya bangga dengan pikiran saya. Pikiran selalu membawa saya pada keingintahuan—ingin membaca banyak hal baru dan menulis dengan menyenangkan, meski di tengah kericuhan negara ini. Saya menikmati eksplorasi, dari memahami diri sendiri hingga membayangkan luasnya angkasa. Saya menantikan apa yang akan saya kerjakan dan ciptakan suatu hari nanti. Kadang saya berpikir bahwa saya sudah gila, karena memiliki pola pikir yang berbeda. "Cukup unik," kata orang-orang. "Selalu punya gebrakan di setiap momen," ujar teman-teman. Biarlah mereka menilai sesuka hati. Saya tetap menjadi diri saya sendiri. Saya tidak peduli lagi dengan ucapan orang-orang yang hanya membuat saya merasa lemah dan tidak berdaya.
Ketika ketidakberdayaan membuat saya tidak produktif, saya kehilangan ide-ide luar biasa. Karena itu, saya memilih untuk tetap berdiri sambil menulis. Kata orang, menulis membuat kita hidup sepanjang sejarah, meskipun raga kita telah terkubur di dalam tanah. Saat ini saya memiliki banyak waktu luang untuk menulis tentang hal-hal yang saya sukai. Momentum seperti ini jarang datang. Biasanya, saya hanya malas-malasan. Ingin lebih produktif, tetapi tidak bertindak. Maka, saya mencari cara untuk melihat sisi dunia yang mungkin tidak disadari orang lain.
Saya senang dengan dunia sastra yang luas—luas dalam kata-kata dan makna. Saya bisa bebas mengekspresikan diri melalui tulisan yang saya tampilkan di panggung publik. Kata-kata ini saya ramu untuk membelah isu-isu yang tengah hangat diulas para juru analisis. Saya ingin tulisan saya menjadi bahan diskusi, menemani kopi dan rokok di malam yang panjang.
Di akhir Maret ini, menjelang berakhirnya bulan suci Ramadan, saya merasa mendapat hidayah untuk lebih produktif dalam menulis. Tuhan seakan membuka jalan bagi saya untuk melangkah lebih jauh. Saya beribadah dengan serius, sambil menulis dan mengkritisi isu-isu yang mengkhawatirkan masyarakat. Setiap tengah malam, saya berpikir sambil berbisik, "Semoga saya baik-baik saja." Saya tidak bisa melupakan dosa-dosa saya. Namun, saya telah berusaha untuk menggugurkannya dengan taubat yang sungguh-sungguh—termasuk meninggalkan kemalasan dalam menulis.
Saya lelah dengan semua ini. Namun, yang lebih melelahkan adalah ketika saya tidak menulis, sementara kepala saya penuh dengan ide-ide luar biasa. Saat itu, pikiran saya seperti banjir yang tak bisa dikendalikan. Aliran sungai pemikiran saya menguap ke ranah bawah sadar, meninggalkan kekosongan yang membuat saya waswas. Rasa cemas itu sulit dikendalikan, bercampur dengan pikiran-pikiran negatif—atau mungkin hanya ilusi semata. Saya muak dengan kecemasan ini, terutama ketika melihat kemungkinan buruk yang datang bersama pengesahan Undang-Undang TNI secara tergesa-gesa dan tertutup.
Saya takut membayangkan suatu hari nanti, ketika saya sedang belajar, tiba-tiba seseorang menodongkan senjata sambil berkata, "Diam, atau aku akan menghabisimu." Jika itu terjadi, saya tak tahu harus berbuat apa.
Saya tak pernah merasa tenang setiap kali membuka ponsel dan melihat berita penuh dengan kekerasan aparat terhadap mahasiswa yang sedang melakukan aksi massa. Saya tak tega melihat polisi yang seharusnya menjaga rakyat, tetapi malah bertindak represif—padahal keluarganya membutuhkan dia sebagai kepala rumah tangga. Pemerintah sudah tak bisa diajak berdialog, dan saya lelah melihat itu semua. Maka, saya memilih menulis tentang berbagai sisi kehidupan masyarakat kita. Dunia ini tidak tunggal, tetapi majemuk. Saya ingin memahami berbagai sudut pandang, agar tidak menjadi buzzer yang beropini hanya demi uang.
Saya maklum terhadap para buzzer—mereka butuh makan, seperti kita. Jika mereka tidak memutarbalikkan fakta, mereka mungkin tidak bisa makan. Jika tidak makan, mereka bisa mati kelaparan. Lalu, siapa yang akan disalahkan jika mereka mati?
Hari demi hari, saya terus berpikir untuk menajamkan jati diri di tengah ketidakpastian negara ini. Jika saya masih mudah dipengaruhi, jari-jari saya dalam menulis bisa disalahgunakan untuk kepentingan tertentu. Saya tidak mau tulisan saya membuat rakyat menderita. Bukankah seharusnya tulisan saya membawa kebahagiaan, bukan justru melukai mereka karena keberpihakan yang keliru? Saya ingin menjadi manusia yang patah tumbuh, yang hilang berganti —seperti lagu Banda Neira yang saat ini saya dengarkan. Setiap kali saya melakukan kesalahan dalam menulis, setiap kali saya lupa satu atau dua kata yang mungkin melukai hati orang lain, saya akan belajar dari kesalahan itu dan terus bertumbuh.
Mungkin suatu saat saya akan hilang, karena tutup usia. Tapi saya yakin, saya akan digantikan oleh generasi muda yang lebih hebat. Lebih tajam dari tulisan saya hari ini. Kini, saya akan terus merapikan kata-kata, menyusun paragraf, dan mengasah ide-ide saya. Setelah semuanya rapi, saya ingin membuka relasi seluas mungkin, hingga ke penjuru dunia. Saya ingin dikenal dan mengenal orang-orang di berbagai belahan bumi. Saya tidak ingin hanya dikenal di Bekasi atau Serang. Saya ingin memahami berbagai sudut pandang, selama itu tidak memaksa saya untuk menerima sesuatu yang bertentangan dengan nurani saya.
Saya hanya ingin diam, lalu tersenyum lebar ketika berhasil menciptakan karya. Karya yang menjadi pijakan untuk merenungi setiap perjalanan hidup saya. Saya tidak ingin mati tanpa meninggalkan ide-ide yang bisa dikenang banyak orang.
.png)
Abbas keren , narasimu cukup membuat kami masyarakat begitu was -was dan kami kebingunan dengan kebijakan yang selalu mementingkan aparat yang begitu rakus dengan jabatan, selalu berprogres ya abbas.
BalasHapusAku tunggu karyamu selanjutnya 😍👊