Langsung ke konten utama

Di Ambang Benua Beku


"Di Ambang Benua Beku"

Detak jantungku tak bisa kutahan lagi. Rasanya terlalu keras, terlalu gaduh dalam dada yang lama menanggung rindu. Namaku Arga, dan ini kisah tentang seorang perempuan yang tak pernah benar-benar pergi dari pikiranku—Nayla.

Aku merindukannya. Perempuan itu. Seseorang yang pernah begitu jujur aku ucapkan dari bibir, tapi tak pernah sempat kudekap dalam nyata. Sialnya, jarak menjauhkan segalanya. Dia berada begitu jauh dari hidupku sekarang, seolah bumi sengaja memisahkan kami seperti dua kutub.

Lalu datang kabar yang seperti petir menyambar diam. Nayla kini sedang melakukan penelitian di Antartika. Ya, Antartika—ujung dunia. Tanah beku tempat badai dan keheningan menjalin kesepakatan. Tanah yang bukan tempat untuk orang seperti aku. Tapi niat untuk menemuinya tumbuh liar, seperti bara di bawah salju.

Masalahnya: aku tak punya tenaga, tak punya rencana. Hanya hati yang memaksa.

Hingga malam itu datang, bersama kesepian yang menggigil. Aku menangis dalam diam. Menyesali banyak hal yang tak sempat kulakukan. Lalu... dering telepon menyala. Tak ada identitas, hanya suara asing yang menggetarkan udara.

"Hai, selamat malam... dari aku yang tak bisa disebutkan. Aku akan memberimu nomor. Temukan maknanya sendiri: 0273637373652. Masukkan ke situs 897i.com."

Aku, dalam kebingungan dan rasa penasaran, menelusuri situs itu. Kupasukkan deretan angka, dan seperti adegan dalam film fiksi, muncullah sebuah nama—agensi perjalanan penelitian ke Antartika. Kukedipkan mata berkali-kali. Tak percaya.

Keesokan harinya, aku mengajukan izin cuti kepada atasanku. Namun ditolak. Mereka bilang itu gila. Tapi niatku bukan sekadar pergi—aku ingin menemukan seseorang yang mungkin sudah melupakanku.

Waktu itu dunia sedang genting. Ada kabar burung tentang konflik besar antara Rusia dan Amerika. Aku takut. Takut Nayla terjebak dalam badai yang lebih besar dari salju. Tanpa banyak pikir, aku menuju Pelabuhan Tanjung Priok, berharap bisa naik kapal barang, menyusuri jalur laut menuju Amerika terlebih dahulu.

Sesampainya di Amerika, jantungku semakin tak karuan. Aku akhirnya mendapatkan tumpangan kapal riset menuju Antartika. Kapal besar itu melaju perlahan, membelah lautan yang tenang namun kelam. Dan di satu pagi yang kelabu, kapal tiba di batas dunia—di mana lautan biru bertabrakan dengan dinding es raksasa. Sebuah pemandangan yang membuat dadaku sesak oleh harapan dan takut.

Kapal itu berhenti. Aku berdiri di dek, mengenakan jaket tebal, menatap bentangan es yang tak bertepi.

"Nayla... sejauh ini aku mencarimu."
Langit abu-abu menyelubungiku. Langkahku menjejak salju yang membalut bumi dengan sunyi. Tiada suara selain desir angin dan detak hatiku yang melaju lebih cepat dari langkah kaki.

Aku mencari ke kamp penelitian. Menanyakan pada siapa saja, walau bahasa Inggrisku patah-patah. Tapi demi satu nama, aku rela tampak tolol. Tak ada jawaban pasti. Sampai akhirnya, dari balik kabut... aku melihat sosoknya.

Dia. Nayla.

Berdiri dengan jaket tebal dan catatan kecil di tangan kirinya—selalu tangan kiri. Dia belum melihatku. Tapi aku tahu itu dia.

Aku melangkah.
Perlahan.
Bergetar.

“Nayla...”

Ia menoleh. Matanya membulat. Ragu. Tapi kemudian perlahan bergetar.
“Arga...?”
Suaranya seperti desir musim semi yang mencoba bertahan di tengah kutub.

Kami bicara lama. Aku tumpahkan isi hatiku yang selama ini kutahan. Tentang malam-malam yang terisi bayangannya. Tentang keberanianku menyeberangi dunia demi satu pertemuan.

Namun langit yang beku itu ternyata menyimpan nestapa yang tak kutahu.

Nayla menunduk.
“Maaf... aku harus jujur. Aku... aku sudah bersama orang lain sekarang.”

Semesta runtuh tanpa suara.

Angin dingin menusuk tulang. Tapi tak ada yang lebih dingin dari kata-katanya barusan. Aku menatapnya, tak bisa berkata apa pun. Tapi aku tahu, cinta sejati bukan soal memiliki. Ini soal sampai di tempat dia berada... walau tak bisa menetap di sisinya.

Hari itu aku berdiri di Antartika. Di ambang benua beku. Di ujung dunia. Bukan untuk mendapatkan cinta, tapi untuk membuktikan: aku pernah mencintainya sepenuh keberanian.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Negeri yang Demam oleh Amarah

  Stres berkepanjangan membuat saya terus bertanya pada diri sendiri, mengapa kepala saya dipenuhi masalah dan ketakutan yang menghantui. Lemas dan letih rasanya menghadapi keadaan ini, apalagi melihat situasi yang genting. Kerusuhan dalam diri tak lagi bisa dibendung, penjara ketakutan telah merampas kebahagiaan saya. Ruang-ruang batin pun berantakan setelah hati dan pikiran saya dijarah oleh rasa takut. Berita televisi dan media sosial dipenuhi kecemasan. Kota terasa semakin tercekam oleh massa yang menyampaikan aspirasi kepada mereka yang duduk nyaman di kursi kekuasaan. Emosi membara, kemarahan muncul karena rakyat diremehkan oleh salah satu wakilnya yang seharusnya mewakili suara banyak orang. Massa aksi selayaknya semut-semut kecil, bergerombol lalu bubar ke segala arah tanpa tahu jalan pulang. Mereka berdiri berjam-jam hanya untuk mendengarkan teriakan sekawannya. Namun, tidak semua yang berkerumun murni menyuarakan aspirasi, ada provokator yang membuat keadaan semakin mence...

THR: Dari Mogok Buruh ke Proposal THR

  Bulan Ramadhan telah berakhir, dan saya merasa cukup senang menyambut hari Lebaran. Hari yang penuh kebersamaan itu akhirnya tiba, dan saya tidak sabar menunggu THR. Namun, saya sadar bahwa saya sudah bukan anak sekolah lagi, sekarang saya adalah seorang mahasiswa. Kata saudara saya, anak kuliah justru memiliki lebih banyak kebutuhan dibandingkan anak kecil atau anak sekolah. Tahun lalu saya masih mendapatkan THR, tetapi tahun ini saya tidak tahu apakah masih akan mendapatkannya. Saya butuh uang untuk membeli PDH Belistra dan himpunan, agar bisa segera melunasinya. Saya melihat para pekerja mendapatkan tunjangan hari raya berupa uang atau sembako, termasuk ayah saya. Tahu tidak kalau THR ini di tahun 1953 dulunya disebut Hadiah Lebaran atau Persekot Hari Raya? Saat itu, pemberian tersebut bersifat sukarela dari majikan sebagai bentuk kepedulian sosial. Pada tahun 1950-an, para buruh hidup dalam kondisi yang memprihatinkan, dengan penghasilan yang bahkan tidak cukup untuk membeli ...

Semua Sudah Diatur, Tidak Perlu Dipikirkan

 Semua Sudah Diatur, Tidak Perlu Dipikirkan   Malam yang sunyi, saya kembali menulis. Kali ini, saya menulis tentang permasalahan kehidupan saya. Masalah hidup saya sama seperti masalah negeri ini. Dari ujung barat sampai timur, negeri ini dipenuhi oleh kicauan mahasiswa yang berteriak menuntut keadilan. Begitu pula saya, yang terus berteriak kepada hati saya sendiri, merasa bersalah atas perbuatan yang telah berlalu.   Iya, memang saya selalu menyesali setiap tindakan yang sudah terjadi. Namun, saya berpikir bahwa Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyesal ketika membuat UU TNI, yang kini membuat gaduh narasi di media sosial. Kerusuhan terjadi di mana-mana karena naskah yang dibuat terburu-buru. Saya tidak tahu apakah naskah itu benar-benar disusun berdasarkan proses demokrasi.   Saya mendukung undang-undang ini karena saya percaya bahwa undang-undang itu tidak akan merugikan rakyat, justru menguntungkan mereka. Namun, saya juga meragukan kemampuan seseor...