Histografi Diriku Sendiri
Dalam histografi diriku sendiri, setiap senyum teman-temanku adalah alasan bagiku untuk menulis dengan jujur, tanpa pernah menutupinya seperti historiografi modern Indonesia yang sering menyembunyikan luka. Tawa mereka kutangkap dalam narasi yang lembut, agar tak menyakiti siapa pun yang membacanya.
Teman-temanku adalah rumah—penuh konflik, namun hangat dalam segala perbedaan. Karena itu, aku menulis seakan suatu hari mereka akan mengingatku sebagai sejarawan dari cerita-cerita kecil yang pernah kami bagi. Dan bila mereka lupa, aku akan mengisahkannya kembali, dengan kejujuran dan kehangatan yang sama.
Sejarah kami bukan sekadar baris-baris kronik; ia adalah bukti bahwa aku pernah menulis, pernah hadir, dan pernah mengakui bahwa mereka adalah sungguh-sungguh sahabat. Dalam tulisan itu, terdengar suara orang membawa cangkul dari tanah Banten, menggema bersama puisi-puisi silam yang perlahan kutemukan maknanya.
Aku menulis mereka dengan hati-hati, dan siap menerima bila ada kekeliruan dalam menyematkan nama atau makna, sebab aku tak ingin menghakimi—hanya memahami. Aku terus menulis bersama mereka, yang wajah dan langkahnya tak pernah luput dari potret penaku, juga kemeraku sendiri.
Terima kasih telah meluangkan waktu untuk membaca dan melihat karya foto terbaikku. Semoga tiap gambar dan kata bisa tinggal sejenak di benak kalian—atau bahkan menetap lama di sudut kepala seorang penyair yang hanya bisa tertawa pelan... hahaha.
Komentar
Posting Komentar