Langsung ke konten utama

Histografi Diriku Sendiri


 Dalam histografi diriku sendiri, setiap senyum teman-temanku adalah alasan bagiku untuk menulis dengan jujur, tanpa pernah menutupinya seperti historiografi modern Indonesia yang sering menyembunyikan luka. Tawa mereka kutangkap dalam narasi yang lembut, agar tak menyakiti siapa pun yang membacanya.

Teman-temanku adalah rumah—penuh konflik, namun hangat dalam segala perbedaan. Karena itu, aku menulis seakan suatu hari mereka akan mengingatku sebagai sejarawan dari cerita-cerita kecil yang pernah kami bagi. Dan bila mereka lupa, aku akan mengisahkannya kembali, dengan kejujuran dan kehangatan yang sama.
Sejarah kami bukan sekadar baris-baris kronik; ia adalah bukti bahwa aku pernah menulis, pernah hadir, dan pernah mengakui bahwa mereka adalah sungguh-sungguh sahabat. Dalam tulisan itu, terdengar suara orang membawa cangkul dari tanah Banten, menggema bersama puisi-puisi silam yang perlahan kutemukan maknanya.
Aku menulis mereka dengan hati-hati, dan siap menerima bila ada kekeliruan dalam menyematkan nama atau makna, sebab aku tak ingin menghakimi—hanya memahami. Aku terus menulis bersama mereka, yang wajah dan langkahnya tak pernah luput dari potret penaku, juga kemeraku sendiri.
Terima kasih telah meluangkan waktu untuk membaca dan melihat karya foto terbaikku. Semoga tiap gambar dan kata bisa tinggal sejenak di benak kalian—atau bahkan menetap lama di sudut kepala seorang penyair yang hanya bisa tertawa pelan... hahaha.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Negeri yang Demam oleh Amarah

  Stres berkepanjangan membuat saya terus bertanya pada diri sendiri, mengapa kepala saya dipenuhi masalah dan ketakutan yang menghantui. Lemas dan letih rasanya menghadapi keadaan ini, apalagi melihat situasi yang genting. Kerusuhan dalam diri tak lagi bisa dibendung, penjara ketakutan telah merampas kebahagiaan saya. Ruang-ruang batin pun berantakan setelah hati dan pikiran saya dijarah oleh rasa takut. Berita televisi dan media sosial dipenuhi kecemasan. Kota terasa semakin tercekam oleh massa yang menyampaikan aspirasi kepada mereka yang duduk nyaman di kursi kekuasaan. Emosi membara, kemarahan muncul karena rakyat diremehkan oleh salah satu wakilnya yang seharusnya mewakili suara banyak orang. Massa aksi selayaknya semut-semut kecil, bergerombol lalu bubar ke segala arah tanpa tahu jalan pulang. Mereka berdiri berjam-jam hanya untuk mendengarkan teriakan sekawannya. Namun, tidak semua yang berkerumun murni menyuarakan aspirasi, ada provokator yang membuat keadaan semakin mence...

THR: Dari Mogok Buruh ke Proposal THR

  Bulan Ramadhan telah berakhir, dan saya merasa cukup senang menyambut hari Lebaran. Hari yang penuh kebersamaan itu akhirnya tiba, dan saya tidak sabar menunggu THR. Namun, saya sadar bahwa saya sudah bukan anak sekolah lagi, sekarang saya adalah seorang mahasiswa. Kata saudara saya, anak kuliah justru memiliki lebih banyak kebutuhan dibandingkan anak kecil atau anak sekolah. Tahun lalu saya masih mendapatkan THR, tetapi tahun ini saya tidak tahu apakah masih akan mendapatkannya. Saya butuh uang untuk membeli PDH Belistra dan himpunan, agar bisa segera melunasinya. Saya melihat para pekerja mendapatkan tunjangan hari raya berupa uang atau sembako, termasuk ayah saya. Tahu tidak kalau THR ini di tahun 1953 dulunya disebut Hadiah Lebaran atau Persekot Hari Raya? Saat itu, pemberian tersebut bersifat sukarela dari majikan sebagai bentuk kepedulian sosial. Pada tahun 1950-an, para buruh hidup dalam kondisi yang memprihatinkan, dengan penghasilan yang bahkan tidak cukup untuk membeli ...

Semua Sudah Diatur, Tidak Perlu Dipikirkan

 Semua Sudah Diatur, Tidak Perlu Dipikirkan   Malam yang sunyi, saya kembali menulis. Kali ini, saya menulis tentang permasalahan kehidupan saya. Masalah hidup saya sama seperti masalah negeri ini. Dari ujung barat sampai timur, negeri ini dipenuhi oleh kicauan mahasiswa yang berteriak menuntut keadilan. Begitu pula saya, yang terus berteriak kepada hati saya sendiri, merasa bersalah atas perbuatan yang telah berlalu.   Iya, memang saya selalu menyesali setiap tindakan yang sudah terjadi. Namun, saya berpikir bahwa Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyesal ketika membuat UU TNI, yang kini membuat gaduh narasi di media sosial. Kerusuhan terjadi di mana-mana karena naskah yang dibuat terburu-buru. Saya tidak tahu apakah naskah itu benar-benar disusun berdasarkan proses demokrasi.   Saya mendukung undang-undang ini karena saya percaya bahwa undang-undang itu tidak akan merugikan rakyat, justru menguntungkan mereka. Namun, saya juga meragukan kemampuan seseor...