Kemana Air Membawaku

 


 malam, menyiratkan bahwa kapal itu akan tenggelam. Katanya karena menabrak karang. Lalu terdengar pengumuman darurat, lalu kepanikan, lalu tangisan.


Kapal itu bocor. Aku hanya ingat suara jeritan—suara orang-orang yang mencari keluarganya. Dan satu suara dalam batinku yang bergema lebih keras dari apapun: "Aku akan mati."


Lalu gelap.


Aku ditemukan tim penyelamat. Tapi saat mencariku, tak ada siapa-siapa di pos penjagaan. Aku menunggu. Mencari wajah ayah dan ibu di antara orang-orang asing. Namun tak pernah kutemukan.


Beberapa hari kemudian, barulah kabar itu datang: mereka hilang, hanyut bersama pecahan kapal yang tak pernah kembali ke pelabuhan.


Saat itu rasanya hidupku pun sebaiknya ikut tenggelam bersama mereka.


Beberapa bulan berlalu. Anak-anak korban lainnya dijemput keluarganya. Tapi tidak aku. Tidak ada yang mencariku. Tidak ada yang menanyakan keberadaanku. Aku diam, seperti bayangan yang tak dianggap.


Lalu aku dikirim ke panti asuhan.


Di sana, aku terus berharap ada suara yang memanggil namaku. Tapi hari-hari berlalu seperti lembaran kosong.


Di panti, traumaku menjadi hantu yang tak bisa kulawan. Setiap malam, suara ombak menggelegar dalam mimpi, membangunkanku dengan tubuh gemetar. Kadang, aku merasa ibu duduk di samping ranjangku. Kadang kulihat sosoknya di jendela. Tapi ketika kupejamkan mata dan membuka lagi, hanya bayangan kosong.


Aku rindu. Tapi rinduku seperti jerit dalam air—sunyi dan tak sampai ke mana-mana.


Aku pikir aku akan menemukan teman. Tapi mereka menjauh.


“Dia suka halusinasi.”

“Dia autis.”

“Dia gila.”


Itu yang mereka katakan. Bahkan asisten panti mengajari mereka untuk tidak terlalu dekat denganku. Katanya, aku terlalu rapuh, bisa menyebarkan hal aneh.


Aku semakin tenggelam. Kadang aku menangis semalaman. Air mata tak bisa kutahan, seperti ombak yang terus datang.


Hingga suatu hari, seseorang menghampiriku. Bukan anak-anak. Bukan pengurus. Tapi perempuan muda yang bekerja sukarela di panti. Namanya Kirana.


Wajahnya tenang. Matanya seperti tahu sesuatu yang tak pernah dia ucapkan.


“Hai, Bintang,” ucapnya lembut. “Kenapa wajahmu selalu murung seperti ini?”


Aku menunduk. “Aku… aku bingung kenapa aku seperti ini. Aku takut terus mengingat… semua itu.”


Ia tidak menjawab panjang. Hanya tersenyum tipis, lalu menyerahkan secarik kertas padaku.


Tertulis di sana:


“Aku hidup. Bukan karena harus, tapi karena ingin tahu ke mana air ini akan membawaku.”


Kata-kata itu seperti suara yang lama hilang. Tapi juga menakutkan. Air membawaku ke tempat yang gelap, yang penuh jeritan. Ke tempat ayah dan ibuku menghilang. Lalu… bagaimana kalau aku pun suatu saat akan hanyut juga?


Melihat wajahku yang pucat, Kirana bertanya, “Kenapa kamu seperti ketakutan?”


“Aku teringat semua… ombak itu, kapal itu, suara ibu. Aku takut, Kak… bagaimana kalau aku juga akhirnya hilang? Aku seperti setengah manusia sekarang. Separuhku hilang di laut.”


Ia menatapku lama. Lalu menjawab pelan, “Tapi separuhmu yang tersisa ini, masih bisa tumbuh. Kau selamat dari kejadian itu. Mungkin tidak utuh, tapi tidak semua yang tumbuh itu harus sempurna bentuknya. Yang penting, kau bertahan.”


Lalu ia memberiku buku tipis tentang tsunami di Aceh. Sampulnya biru laut.


“Bacalah,” kata Kirana. “Di situ kau akan belajar tentang kehilangan, tentang bagaimana manusia bisa bangkit, meski yang mereka cintai tak pernah kembali. Kau bisa jadikan masa lalu sebagai kekuatan, bukan beban.”


Aku mengangguk pelan, lalu pergi ke kamar sambil menggenggam buku itu erat-erat.


Malam itu, aku duduk di tepi ranjang, membuka halaman pertama, dan untuk pertama kalinya, aku membaca tanpa takut.


Aku tahu, aku masih belum utuh. Tapi mungkin, menjadi manusia bukan tentang kembali utuh. Tapi tentang menerima potongan-potongan yang tersisa dan menjadikannya milik sendiri.


Dan mungkin, seperti kata Kirana...

“Air tak hanya menenggelamkan. Ia juga bisa mengalirkan kita menuju tempat yang baru.”

Komentar

Postingan Populer

Ular Melingkar-Melingkar di Atas Pagar

Pulang Kepada yang Pernah

Manusia yang Belum Mampu Menerima Kenyataan: Sebuah Takdir yang Telah Terjadi