Langsung ke konten utama

Melambai pada Senja yang Pulang

 

Melambai pada Senja yang Pulang

Rafif Abbas Pradana


 

Di kereta listrik buatan Jepang. Aku sedang menikmati sorenya Bekasi dari jendela kereta. Sore itu begitu indah lanskapnya, namun tidak dengan hati ini. Hati itu berwarna senja yang redup, bukan karena matahari terbenam dan bukan karena malam tiba. Tapi karena awan-awan mendung datang tanpa diminta. Awalnya, awan-awan itu datang dengan lembut tanpa melukai hatiku. Kecurigaan hatiku kepada awan itu amat besar, karena nampak merugikan. Senyum, namun matanya tajam menatap serius. Dengan niat sembunyi yang hatiku sendiri tidak ketahui. Ternyata di balik senyumnya ada petir yang menyambar hatiku secara keras karena awan marah tidak direspons atau diperhatikan, betapa sakit rasanya. Akhirnya pedih datang.

Keindahan senja dan hati perih bersamaan dalam satu waktu. Sakit rasanya melihat hatiku berdarah karena tersambar petir. Namun ada senja yang menghiburku selama perjalanan. Di situlah aku cukup tenang menikmati eloknya senja itu. Kereta membawaku kepada seluruh lanskap langit yang berwarna jingga dan membuatku sekali lagi kagum dengannya. Meskipun kereta ini berhenti di setiap stasiun yang dilintasi, rasanya ingin sekali menikmati senja tanpa dijeda-jeda. Karena setiap aku menikmati senja, aku tertutupan oleh pelon-pelon setiap stasiun. Di saat itu juga hatiku mulai pemberontakan, karena kesakitan menahan rasa sakit. Di saat kereta semakin kencang merajunya, aku merasa kedamaian dalam hidupku. Karena tidak ada halangan di depan, kecuali stasiun untuk berhenti sejenak. Aku ingin menjadi kereta yang terus meraju dan berhenti sejenak untuk menurunkan para penumpang.

Jika aku berhenti untuk menurunkan ambisi-ambisiku, karena terlalu berat membawa dan tidak bisa meraju secara kencang. Berhenti secara perlahan untuk tidak mengejutkan ambisiku, karena jika kaget, egoku akan mencambuk hatiku. Pikiran menjadi taruhan selayaknya mencari keuntungan di dalam kartu as. Hari sudah mulai gelap. Di saat itu juga aku mulai sadar bahwa aku tidak bisa berjalan tanpa awan-awan itu. Aku terus meraju tanpa memikirkan kapan aku berhenti lama. Karena aku berhenti hanya sejenak, itu pun aku belum siap untuk merajunya selayaknya kereta.

Aku sadar bahwa aku tidak sempurna di mata awan-awan. Mungkin hatiku lemah di matanya. Rasanya langit menarik senja karena sudah waktunya untuk tidak hadir dalam waktu-waktu yang gelap ini. Aku tidak mampu menahan ambisiku karena aku ingin sekali melihat senja secara penuh dan sesuka hatiku. Namun sistem sudah dibuat. Aku hanya bisa menerima yang sudah ditentukan oleh sistem pergerakan alam semesta. Tertawa pada akhirnya untuk menerima kenyataan bahwa senja ini sudah berakhir. Tertawa pun menjadi perantara di antara sedih dan senang, berhubung dalam dunia yang berbeda. Dunia sedih yang penuh kedukaan dan dunia senang yang penuh keceriaan. Tertawa menjadi narahubung yang terbaik dalam hatiku ini.

Tertawa bisa menyambut senja dan bisa juga mendada dengan melambai-lambaikan tangan dengan lenturnya. Ketika dunia sedih, tertawa menjadi obat untuk mengarahkan diriku kepada keceriaan, karena aku sudah berhasil dan berusaha besar untuk melihat senja. Di situlah aku tertawa berbahak-bahak karena saking lucunya melihat nasibku selaras dengan senja yang hilang itu. Jenaka melodi hidup yang enggan tidur. Jika jenaka tidur, dunia sedih akan menguasai hatiku secara penuh dan menambah lara yang tercekam.

Kereta dan aku punya kesamaan dan perbedaan. Kesamaanku dengannya: selalu melaju dan berhenti sejenak. Dan perbedaannya yaitu tidak terus meraju seperti kereta. Karena aku membutuhkan energi dan kereta mempunyai energi listrik di atasnya dengan kabel yang terhubung. Dalam hal ini aku jadikan sebagai inspirasiku terhadap diriku sendiri. Senja kujadikan sebagai bahan hiburanku. Aku tidak menyalahkan awan mendung datang secara tiba-tiba dan menyakitiku, karena itu sudah diatur. Aku menyikapinya dengan membenahi diriku dan mendirikan benteng-benteng besar terhadap hatiku agar tidak terjadi seperti yang sudah hatiku alami. Aku tetap menjadi kereta yang terus melaju, meski tak selalu kuat, meski awan kerap datang menantang.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Negeri yang Demam oleh Amarah

  Stres berkepanjangan membuat saya terus bertanya pada diri sendiri, mengapa kepala saya dipenuhi masalah dan ketakutan yang menghantui. Lemas dan letih rasanya menghadapi keadaan ini, apalagi melihat situasi yang genting. Kerusuhan dalam diri tak lagi bisa dibendung, penjara ketakutan telah merampas kebahagiaan saya. Ruang-ruang batin pun berantakan setelah hati dan pikiran saya dijarah oleh rasa takut. Berita televisi dan media sosial dipenuhi kecemasan. Kota terasa semakin tercekam oleh massa yang menyampaikan aspirasi kepada mereka yang duduk nyaman di kursi kekuasaan. Emosi membara, kemarahan muncul karena rakyat diremehkan oleh salah satu wakilnya yang seharusnya mewakili suara banyak orang. Massa aksi selayaknya semut-semut kecil, bergerombol lalu bubar ke segala arah tanpa tahu jalan pulang. Mereka berdiri berjam-jam hanya untuk mendengarkan teriakan sekawannya. Namun, tidak semua yang berkerumun murni menyuarakan aspirasi, ada provokator yang membuat keadaan semakin mence...

THR: Dari Mogok Buruh ke Proposal THR

  Bulan Ramadhan telah berakhir, dan saya merasa cukup senang menyambut hari Lebaran. Hari yang penuh kebersamaan itu akhirnya tiba, dan saya tidak sabar menunggu THR. Namun, saya sadar bahwa saya sudah bukan anak sekolah lagi, sekarang saya adalah seorang mahasiswa. Kata saudara saya, anak kuliah justru memiliki lebih banyak kebutuhan dibandingkan anak kecil atau anak sekolah. Tahun lalu saya masih mendapatkan THR, tetapi tahun ini saya tidak tahu apakah masih akan mendapatkannya. Saya butuh uang untuk membeli PDH Belistra dan himpunan, agar bisa segera melunasinya. Saya melihat para pekerja mendapatkan tunjangan hari raya berupa uang atau sembako, termasuk ayah saya. Tahu tidak kalau THR ini di tahun 1953 dulunya disebut Hadiah Lebaran atau Persekot Hari Raya? Saat itu, pemberian tersebut bersifat sukarela dari majikan sebagai bentuk kepedulian sosial. Pada tahun 1950-an, para buruh hidup dalam kondisi yang memprihatinkan, dengan penghasilan yang bahkan tidak cukup untuk membeli ...

Semua Sudah Diatur, Tidak Perlu Dipikirkan

 Semua Sudah Diatur, Tidak Perlu Dipikirkan   Malam yang sunyi, saya kembali menulis. Kali ini, saya menulis tentang permasalahan kehidupan saya. Masalah hidup saya sama seperti masalah negeri ini. Dari ujung barat sampai timur, negeri ini dipenuhi oleh kicauan mahasiswa yang berteriak menuntut keadilan. Begitu pula saya, yang terus berteriak kepada hati saya sendiri, merasa bersalah atas perbuatan yang telah berlalu.   Iya, memang saya selalu menyesali setiap tindakan yang sudah terjadi. Namun, saya berpikir bahwa Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyesal ketika membuat UU TNI, yang kini membuat gaduh narasi di media sosial. Kerusuhan terjadi di mana-mana karena naskah yang dibuat terburu-buru. Saya tidak tahu apakah naskah itu benar-benar disusun berdasarkan proses demokrasi.   Saya mendukung undang-undang ini karena saya percaya bahwa undang-undang itu tidak akan merugikan rakyat, justru menguntungkan mereka. Namun, saya juga meragukan kemampuan seseor...