Surat dari sang raja katanya
Cahaya malam menyinari kisah cinta kita selama ini. Adegan pewayangan cinta kita berlangsung megah dan meriah di atas bukit kesetiaan. Aku dan kamu—jika saja aku tidak melepaskan pada malam itu. Aku tak akan memaafkan diriku hingga kini. Sebenarnya, aku belum benar-benar melepaskan. Cinta itu masih kusimpan baik-baik, dan aku sembuh perlahan lewat nyanyian merdumu yang diam-diam kuputar sendiri.
Aku sadar, hubungan mesra ini tak bisa bertahan hanya dengan genggaman tanganku. Namun satu hal yang selalu ingin kukatakan: aku tak pernah sekalipun menggugurkan cintaku dari jantungku.
Seluruh lelah yang kutanggung, hanya untuk menunjukkan bahwa aku tetap tegar—agar bisa menjadi bagian dari hatimu.
Mati dan hidup, langit dan lautan, aku dan kamu—semuanya telah dinobatkan sebagai mukjizat yang sudah ada sejak dulu. Sesuatu yang seharusnya dijaga, dirawat. Tapi penyesalanku adalah satu: aku gagal menjadi calon pemimpinmu.
Kini, aku hanya berdiri di persimpangan jalan,
hanya bisa melihatmu dari kejauhan, wahai ratuku.
Jika semesta berkenan merestui kita sekali lagi,
aku akan pastikan kesempatan itu tidak kusia-siakan.
Namun jika tidak, aku siap tetap berada di balik layar kebahagiaanmu.
Aku sungguh bahagia melihatmu saat keadaanmu baik-baik saja.
Dan ketika kamu tidak baik-baik saja, aku takkan tinggal diam.
Itulah yang masih bisa kulakukan.
Ratuku yang kusayangi...
Rindu masa-masa itu—hah, sampai tertawa pun rasanya sesak napas.
Tapi aku tetap setia, dalam cintaku yang abadi,
yang hidup terus-menerus di dalam benakku.
Komentar
Posting Komentar