Langsung ke konten utama

Kajian hujan


BY ABBAS MERAH

Hujan deras menghujani kampus, membasahi seluruh halaman dan jalan. Petir saling menyambar mengagetkan seluruh acara kajian yang dilaksanakan di perantara ruangan kelas, di sebelah PKM. Berbicang-bincang seru mengenai Perang Dunia Kedua. Saking seringnya petir menyambar layaknya bom atom, ledakan-ledakan di medan pertempuran. Para peserta semakin seru melihat dan mendengarkan pemantik yang seakan-akan mempunyai dimensi sendiri. Memainkan narasi dengan keadaan hujan yang deras. Walau suara hujan kencang, namun suara pemantik lebih kencang dari itu, sampai membuat pemantik hampir habis suara.

Perang Dunia Kedua dimulai dari keegoan para pemimpin yang merebutkan ideologi yang paling baik, yang paling bermoral, yang melibatkan rakyat dan militer dalam jumlah besar. Perang ini memiliki dua tantangan utama, yaitu Jerman Nazi yang dipimpin Adolf Hitler dan lawannya Uni Soviet yang dipimpin Joseph Stalin. Keduanya haus darah, tidak peduli berapa banyak orang terbunuh, yang mereka pedulikan hanyalah kemenangan. Perang ini akhirnya menelan korban lebih dari 70 juta jiwa di seluruh dunia.

Gengsi menjadi pondasi kuat atas diri mereka, sebuah bangsa yang masing-masing kuat. Bangsa Arya ingin dipandang hebat dengan konsep Lebensraum (ruang hidup), dan bangsa Soviet ingin dipandang sebagai ideologi paling sempurna dengan komunisme yang diyakini mampu memecahkan masalah sosial. Padahal mimpi itu hanya sebatas utopia yang sulit diwujudkan, sebagaimana mimpi di waktu subuh yang terbangun saat matahari naik.

Semakin gengsi suatu perang, semakin seru pula di dalam kajian kali ini. Para peserta saling gengsi, saling menukar pikiran, ada juga yang saling menjatuhkan jika ada data ataupun argumentasi yang bisa dikalahkan. Selayaknya Hitler yang memerintahkan pembunuhan terhadap kaum Yahudi dalam tragedi Holocaust, sekitar 6 juta orang Yahudi menjadi korban. Kajian sekali lagi tidak lagi kondusif, selayaknya hujan deras yang sedang mengguyur di luar.

Cipratan besar air hujan ke tempat kajian, semua peserta terkena air hujan, sebagian baju sudah basah. Semakin tidak terarah ujung pembicaraan pada kajian kali ini. Pemantik mempunyai cara untuk menstabilkan kajian ini dengan menghentikan seluruh aktivitas sejenak, namun tidak ada yang mau mengikuti dan tidak mendukung cara itu. Lanjutlah pembahasan: siapa sebenarnya yang paling salah di dalam Perang Dunia Kedua ini, apakah Hitler atau Stalin. Semua peserta selayaknya saling baku hantam, ada yang bonyok, ada juga yang pingsan karena sudah lelah dengan perdebatan ini.

Hujan sudah tidak lagi soal berisik, tapi sudah menjadi soal banjir. Sebelum hari itu, kampus ini memang sudah tidak baik saluran airnya, tersumbat dengan sampah yang dibuang oleh mahasiswa. Hari itu banjir menjadi momok yang menakutkan, yang bisa menenggelamkan kampus bahkan menenggelamkan gedung-gedung di dalamnya. Namun itu hanyalah ketakutan yang ditimbulkan oleh salah satu peserta kajian yang cemas jika ia kalah argumentasi.

Salah satu peserta tidak memilih Stalin ataupun Hitler, malah menuding pemantik yang paling salahkarena berusaha menghentikan diskusi di saat hujan deras, apalagi sekarang mereka terjebak banjir. Keadaan sudah terlanjur, tidak bisa mengevaluasi diri. Mereka terjebak dalam lautan air yang mengalir karena hutan-hutan ditebangi oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Pemantik pun merasa bersalah karena sudah membuat forum kajian terjebak dalam lautan amarah bahkan tidak bisa pulang ke rumah.

Satu kejutan muncul dari kebingungan: pemantik justru melanjutkan kajian, lebih revolusioner, dengan menuduh forum tidak paham terhadap situasi sosial, tidak mengerti bahwa rakyat lapar karena perang terjadi, para tentara mati meninggalkan kekasih yang dicintainya. Forum semakin tenggelam dengan pernyataan ini. Mereka mengeroyok pemantik, hingga ia tidak sadarkan diri.

Sudah pingsan pemantiknya, forum teringat dengan keadaan di mana Nazi Jerman dikeroyok oleh pasukan Merah, Uni Soviet. Dari segala arah mereka sudah dikepung, tinggal asa yang sudah tidak lagi disematkan dalam seragam, hanya tersisa doa dan kematian. Akhir dari perang ini sama dengan akhir forum kajian: sama-sama tragis. Tidak ada sisi humanis di antara itu. Berawal dari egois di antara keduanya, sama-sama ingin menang.

Hujan pun reda, banjir surut, para peserta sudah kembali pulang ke rumah masing-masing, dan pemantik dibawa ke rumah sakit. Tidak ada lagi perdebatan panjang, yang tersisa hanyalah penyesalan di antara peserta kajian dan pemantik, sama-sama merasa salah. Sebelum pemantik tidur selamanya, ia hanya mengatakan:

“Yang harus disalahkan di Perang Dunia Kedua itu adalah setan yang merasuk ke dalam para tokoh sentral perang.”

Pernyataan ini mengagetkan seluruh orang yang mendengarkannya. Kajian di saat hujan sebaiknya tidak dilakukan karena banyak petir dan suara hujan yang mengganggu jalannya diskusi. Tetapi jika mau dilakukan, boleh saja, dengan risiko yang sudah ditanggung bersama.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Negeri yang Demam oleh Amarah

  Stres berkepanjangan membuat saya terus bertanya pada diri sendiri, mengapa kepala saya dipenuhi masalah dan ketakutan yang menghantui. Lemas dan letih rasanya menghadapi keadaan ini, apalagi melihat situasi yang genting. Kerusuhan dalam diri tak lagi bisa dibendung, penjara ketakutan telah merampas kebahagiaan saya. Ruang-ruang batin pun berantakan setelah hati dan pikiran saya dijarah oleh rasa takut. Berita televisi dan media sosial dipenuhi kecemasan. Kota terasa semakin tercekam oleh massa yang menyampaikan aspirasi kepada mereka yang duduk nyaman di kursi kekuasaan. Emosi membara, kemarahan muncul karena rakyat diremehkan oleh salah satu wakilnya yang seharusnya mewakili suara banyak orang. Massa aksi selayaknya semut-semut kecil, bergerombol lalu bubar ke segala arah tanpa tahu jalan pulang. Mereka berdiri berjam-jam hanya untuk mendengarkan teriakan sekawannya. Namun, tidak semua yang berkerumun murni menyuarakan aspirasi, ada provokator yang membuat keadaan semakin mence...

THR: Dari Mogok Buruh ke Proposal THR

  Bulan Ramadhan telah berakhir, dan saya merasa cukup senang menyambut hari Lebaran. Hari yang penuh kebersamaan itu akhirnya tiba, dan saya tidak sabar menunggu THR. Namun, saya sadar bahwa saya sudah bukan anak sekolah lagi, sekarang saya adalah seorang mahasiswa. Kata saudara saya, anak kuliah justru memiliki lebih banyak kebutuhan dibandingkan anak kecil atau anak sekolah. Tahun lalu saya masih mendapatkan THR, tetapi tahun ini saya tidak tahu apakah masih akan mendapatkannya. Saya butuh uang untuk membeli PDH Belistra dan himpunan, agar bisa segera melunasinya. Saya melihat para pekerja mendapatkan tunjangan hari raya berupa uang atau sembako, termasuk ayah saya. Tahu tidak kalau THR ini di tahun 1953 dulunya disebut Hadiah Lebaran atau Persekot Hari Raya? Saat itu, pemberian tersebut bersifat sukarela dari majikan sebagai bentuk kepedulian sosial. Pada tahun 1950-an, para buruh hidup dalam kondisi yang memprihatinkan, dengan penghasilan yang bahkan tidak cukup untuk membeli ...

Semua Sudah Diatur, Tidak Perlu Dipikirkan

 Semua Sudah Diatur, Tidak Perlu Dipikirkan   Malam yang sunyi, saya kembali menulis. Kali ini, saya menulis tentang permasalahan kehidupan saya. Masalah hidup saya sama seperti masalah negeri ini. Dari ujung barat sampai timur, negeri ini dipenuhi oleh kicauan mahasiswa yang berteriak menuntut keadilan. Begitu pula saya, yang terus berteriak kepada hati saya sendiri, merasa bersalah atas perbuatan yang telah berlalu.   Iya, memang saya selalu menyesali setiap tindakan yang sudah terjadi. Namun, saya berpikir bahwa Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyesal ketika membuat UU TNI, yang kini membuat gaduh narasi di media sosial. Kerusuhan terjadi di mana-mana karena naskah yang dibuat terburu-buru. Saya tidak tahu apakah naskah itu benar-benar disusun berdasarkan proses demokrasi.   Saya mendukung undang-undang ini karena saya percaya bahwa undang-undang itu tidak akan merugikan rakyat, justru menguntungkan mereka. Namun, saya juga meragukan kemampuan seseor...