Hujan deras menghujani kampus, membasahi seluruh halaman dan
jalan. Petir saling menyambar mengagetkan seluruh acara kajian yang
dilaksanakan di perantara ruangan kelas, di sebelah PKM. Berbicang-bincang seru
mengenai Perang Dunia Kedua. Saking seringnya petir menyambar layaknya bom
atom, ledakan-ledakan di medan pertempuran. Para peserta semakin seru melihat
dan mendengarkan pemantik yang seakan-akan mempunyai dimensi sendiri. Memainkan
narasi dengan keadaan hujan yang deras. Walau suara hujan kencang, namun suara
pemantik lebih kencang dari itu, sampai membuat pemantik hampir habis suara.
Perang Dunia Kedua dimulai dari keegoan para pemimpin yang
merebutkan ideologi yang paling baik, yang paling bermoral, yang melibatkan
rakyat dan militer dalam jumlah besar. Perang ini memiliki dua tantangan utama,
yaitu Jerman Nazi yang dipimpin Adolf Hitler dan lawannya Uni Soviet yang
dipimpin Joseph Stalin. Keduanya haus darah, tidak peduli berapa banyak orang
terbunuh, yang mereka pedulikan hanyalah kemenangan. Perang ini akhirnya
menelan korban lebih dari 70 juta jiwa di seluruh dunia.
Gengsi menjadi pondasi kuat atas diri mereka, sebuah bangsa
yang masing-masing kuat. Bangsa Arya ingin dipandang hebat dengan konsep Lebensraum
(ruang hidup), dan bangsa Soviet ingin dipandang sebagai ideologi paling
sempurna dengan komunisme yang diyakini mampu memecahkan masalah sosial.
Padahal mimpi itu hanya sebatas utopia yang sulit diwujudkan, sebagaimana mimpi
di waktu subuh yang terbangun saat matahari naik.
Semakin gengsi suatu perang, semakin seru pula di dalam
kajian kali ini. Para peserta saling gengsi, saling menukar pikiran, ada juga
yang saling menjatuhkan jika ada data ataupun argumentasi yang bisa dikalahkan.
Selayaknya Hitler yang memerintahkan pembunuhan terhadap kaum Yahudi dalam
tragedi Holocaust, sekitar 6 juta orang Yahudi menjadi korban.
Kajian sekali lagi tidak lagi kondusif, selayaknya hujan deras yang sedang
mengguyur di luar.
Cipratan besar air hujan ke tempat kajian, semua peserta
terkena air hujan, sebagian baju sudah basah. Semakin tidak terarah ujung
pembicaraan pada kajian kali ini. Pemantik mempunyai cara untuk menstabilkan
kajian ini dengan menghentikan seluruh aktivitas sejenak, namun tidak ada yang
mau mengikuti dan tidak mendukung cara itu. Lanjutlah pembahasan: siapa
sebenarnya yang paling salah di dalam Perang Dunia Kedua ini, apakah Hitler
atau Stalin. Semua peserta selayaknya saling baku hantam, ada yang bonyok, ada
juga yang pingsan karena sudah lelah dengan perdebatan ini.
Hujan sudah tidak lagi soal berisik, tapi sudah menjadi soal
banjir. Sebelum hari itu, kampus ini memang sudah tidak baik saluran airnya,
tersumbat dengan sampah yang dibuang oleh mahasiswa. Hari itu banjir menjadi
momok yang menakutkan, yang bisa menenggelamkan kampus bahkan menenggelamkan
gedung-gedung di dalamnya. Namun itu hanyalah ketakutan yang ditimbulkan oleh
salah satu peserta kajian yang cemas jika ia kalah argumentasi.
Salah satu peserta tidak memilih Stalin ataupun Hitler, malah
menuding pemantik yang paling salahkarena berusaha menghentikan diskusi di saat
hujan deras, apalagi sekarang mereka terjebak banjir. Keadaan sudah terlanjur,
tidak bisa mengevaluasi diri. Mereka terjebak dalam lautan air yang mengalir
karena hutan-hutan
ditebangi oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Pemantik pun
merasa bersalah karena sudah membuat forum kajian terjebak dalam lautan amarah
bahkan tidak bisa pulang ke rumah.
Satu kejutan muncul dari kebingungan: pemantik justru
melanjutkan kajian, lebih revolusioner, dengan menuduh forum tidak paham
terhadap situasi sosial, tidak mengerti bahwa rakyat lapar karena perang
terjadi, para tentara mati meninggalkan kekasih yang dicintainya. Forum semakin
tenggelam dengan pernyataan ini. Mereka mengeroyok pemantik, hingga ia tidak
sadarkan diri.
Sudah pingsan pemantiknya, forum teringat dengan keadaan di
mana Nazi Jerman dikeroyok oleh pasukan Merah, Uni Soviet. Dari segala arah
mereka sudah dikepung, tinggal asa yang sudah tidak lagi disematkan dalam
seragam, hanya tersisa doa dan kematian. Akhir dari perang ini sama dengan
akhir forum kajian: sama-sama tragis. Tidak ada sisi humanis di antara itu.
Berawal dari egois di antara keduanya, sama-sama ingin menang.
Hujan pun reda, banjir surut, para peserta sudah kembali
pulang ke rumah masing-masing, dan pemantik dibawa ke rumah sakit. Tidak ada
lagi perdebatan panjang, yang tersisa hanyalah penyesalan di antara peserta
kajian dan pemantik, sama-sama merasa salah. Sebelum pemantik tidur selamanya,
ia hanya mengatakan:
“Yang harus disalahkan di Perang Dunia Kedua itu adalah setan
yang merasuk ke dalam para tokoh sentral perang.”
Pernyataan ini mengagetkan seluruh orang yang
mendengarkannya. Kajian di saat hujan sebaiknya tidak dilakukan karena banyak
petir dan suara hujan yang mengganggu jalannya diskusi. Tetapi jika mau
dilakukan, boleh saja, dengan risiko yang sudah ditanggung bersama.

Komentar
Posting Komentar