Langsung ke konten utama

Literasi yang Dikriminalisasi


By Abbas Merah

Belakangan ini media sosial ramai soal penyitaan buku di Sidoarjo, Jawa Timur. Polisi menyita buku-buku dari seorang tersangka yang terlibat pembakaran pos polisi pada 18 September 2025. Anehnya, buku-buku itu langsung disamakan dengan “barang berbahaya” seolah menjadi motif orang tersebut berbuat. Padahal jelas-jelas buku tidak ada hubungannya dengan aksi itu. Kompas.com mencatat buku yang disita antara lain Revisionisme karya Franz Magnis-Suseno, Anarkisme: Apa yang Sesungguhnya Diperjuangkan karya Emma Goldman, Kisah Para Diktator oleh Jules Archer, dan Strategi Perang Gerilya karya Che Guevara.

Dari kasus ini terlihat jelas bahwa negara ketakutan jika rakyat mulai berpikir berbeda dari narasi tunggal yang digunakan. Mereka merasa terancam. Padahal, sesuai Pasal 39 KUHAP, barang bukti seharusnya benda yang dipergunakan secara langsung dalam tindak pidana oleh pelakunya. Jika dasar hukumnya tidak jelas, ini jelas merupakan kriminalisasi literasi yang telah dibangun masyarakat selama ini.

Kasus seperti ini juga bukan pertama kali terjadi. Dalam buku The Book: A Global History disebutkan bahwa rezim otoriter modern selalu menggunakan dalih “melindungi masyarakat dari ajaran sesat atau hasutan” untuk menindas buku. Di Indonesia, praktik pelarangan buku sudah ada sejak zaman Demokrasi Terpimpin (1957–1965), dan semakin parah ketika militer mulai ikut campur dalam politik.

Contohnya, pada tahun 1957, militer melarang penerbitan 33 brosur Demokrasi Kita karya Mohammad Hatta, bahkan dimusnahkan karena isinya mengkritik pemerintah. Karya sastra pun banyak yang hilang. Tahun 1959, buku Hoakiau di Indonesia karya Pramoedya Ananta Toer dilarang dan penulisnya dipenjara selama setahun.

Memasuki Orde Baru, literasi semakin dikriminalisasi. Penulis bisa dipenjara jika tulisannya tidak sesuai dengan pandangan pemerintah. Buku yang dianggap mengganggu stabilitas negara, atau berbau kiri, biasanya dimusnahkan. Karya Pramoedya Ananta Toer yang sebelumnya dilarang di Demokrasi Terpimpin, pada zaman Orde Baru malah semakin keras penindakannya, dituduh terlibat G30S/PKI. Contoh nyata, tahun 1989, Bambang Subono, Bonar Tigor Naipospos, dan Bambang Isti Nugroho dipenjara lebih dari empat tahun hanya karena kedapatan membawa Rumah Kaca karya Pramoedya.

 Intinya, sejak zaman Demokrasi Terpimpin hingga Orde Baru, buku yang tidak sejalan dengan pemerintah selalu menjadi sasaran tindakan represif dengan dalih keamanan atau stabilitas negara. Literasi, hak membaca, dan cara berpikir masyarakat terus dibatasi.

Buku sebagai jendela dunia kini sedang dihentikan oleh suara sirine polisi yang mengintai masyarakat yang membaca bacaan berbau kiri, yang dianggap tidak sesuai dengan ideologi bangsa. Alasan pelarangan ini, sebagaimana dicatat dalam Pelarangan Buku di Indonesia, Sebuah Paradoks Demokrasi dan Kebebasan Berekspresi, yaitu alasan politik, identitas penulis, penerbit, bahkan editor ikut dicap berbahaya. Budaya penyitaan buku ini terus dipertahankan, mungkin bahkan menjadi bagian dari budaya negara yang mengklaim diri demokratis.

Pada zaman Soeharto, setelah darurat militer diumumkan tiga bulan pasca G30S/PKI, pemerintah melarang 70 buku, kemudian 87 penulis, dan tercatat lebih dari 500 judul karya dimusnahkan. Bahkan sejarah dan ideologi dikendalikan secara monopoli oleh negara, yang membela citra penguasa yang nyaman di kursi kekuasaan dengan membakar ratusan buku. Maka wajar jika dulu ada ungkapan bahwa membaca buku Pramoedya dianggap menakutkan, karena karya itu sudah sejajar dengan benda haram yang tidak boleh muncul di ruang publik. Sekali lagi, dianggap berbahaya. Kini, negara seakan tidak belajar dari sejarah, selalu mengulang kesalahan tanpa memahami bagaimana buku bisa menyebarkan gagasan dengan sendirinya.

Hidup buku, hidup buku yang Melawan!!!

Daftar Pustaka

  • Yusuf, I. A., Adipura, W. M., dkk. (2010). Pelarangan Buku di Indonesia: Sebuah Paradoks Demokrasi dan Kebebasan Berekspresi. Jakarta: PR2Media.

  • Jaringan Kerja Budaya (ELSAM). (1999). Menentang Peradaban: Pelarangan Buku di Indonesia. Jakarta: ELSAM.

  • Suarez, M., & Woudhuysen, H. (Ed.). (2013). The Book: A Global History. Oxford: Oxford University Press.

  • Kompas.com. (2025, 18 September). Polisi Sita 11 Buku Diduga Berisi Paham Anarkisme dan Komunisme di Sidoarjo. Diakses dari https://www.kompas.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Negeri yang Demam oleh Amarah

  Stres berkepanjangan membuat saya terus bertanya pada diri sendiri, mengapa kepala saya dipenuhi masalah dan ketakutan yang menghantui. Lemas dan letih rasanya menghadapi keadaan ini, apalagi melihat situasi yang genting. Kerusuhan dalam diri tak lagi bisa dibendung, penjara ketakutan telah merampas kebahagiaan saya. Ruang-ruang batin pun berantakan setelah hati dan pikiran saya dijarah oleh rasa takut. Berita televisi dan media sosial dipenuhi kecemasan. Kota terasa semakin tercekam oleh massa yang menyampaikan aspirasi kepada mereka yang duduk nyaman di kursi kekuasaan. Emosi membara, kemarahan muncul karena rakyat diremehkan oleh salah satu wakilnya yang seharusnya mewakili suara banyak orang. Massa aksi selayaknya semut-semut kecil, bergerombol lalu bubar ke segala arah tanpa tahu jalan pulang. Mereka berdiri berjam-jam hanya untuk mendengarkan teriakan sekawannya. Namun, tidak semua yang berkerumun murni menyuarakan aspirasi, ada provokator yang membuat keadaan semakin mence...

THR: Dari Mogok Buruh ke Proposal THR

  Bulan Ramadhan telah berakhir, dan saya merasa cukup senang menyambut hari Lebaran. Hari yang penuh kebersamaan itu akhirnya tiba, dan saya tidak sabar menunggu THR. Namun, saya sadar bahwa saya sudah bukan anak sekolah lagi, sekarang saya adalah seorang mahasiswa. Kata saudara saya, anak kuliah justru memiliki lebih banyak kebutuhan dibandingkan anak kecil atau anak sekolah. Tahun lalu saya masih mendapatkan THR, tetapi tahun ini saya tidak tahu apakah masih akan mendapatkannya. Saya butuh uang untuk membeli PDH Belistra dan himpunan, agar bisa segera melunasinya. Saya melihat para pekerja mendapatkan tunjangan hari raya berupa uang atau sembako, termasuk ayah saya. Tahu tidak kalau THR ini di tahun 1953 dulunya disebut Hadiah Lebaran atau Persekot Hari Raya? Saat itu, pemberian tersebut bersifat sukarela dari majikan sebagai bentuk kepedulian sosial. Pada tahun 1950-an, para buruh hidup dalam kondisi yang memprihatinkan, dengan penghasilan yang bahkan tidak cukup untuk membeli ...

Semua Sudah Diatur, Tidak Perlu Dipikirkan

 Semua Sudah Diatur, Tidak Perlu Dipikirkan   Malam yang sunyi, saya kembali menulis. Kali ini, saya menulis tentang permasalahan kehidupan saya. Masalah hidup saya sama seperti masalah negeri ini. Dari ujung barat sampai timur, negeri ini dipenuhi oleh kicauan mahasiswa yang berteriak menuntut keadilan. Begitu pula saya, yang terus berteriak kepada hati saya sendiri, merasa bersalah atas perbuatan yang telah berlalu.   Iya, memang saya selalu menyesali setiap tindakan yang sudah terjadi. Namun, saya berpikir bahwa Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyesal ketika membuat UU TNI, yang kini membuat gaduh narasi di media sosial. Kerusuhan terjadi di mana-mana karena naskah yang dibuat terburu-buru. Saya tidak tahu apakah naskah itu benar-benar disusun berdasarkan proses demokrasi.   Saya mendukung undang-undang ini karena saya percaya bahwa undang-undang itu tidak akan merugikan rakyat, justru menguntungkan mereka. Namun, saya juga meragukan kemampuan seseor...