Langsung ke konten utama

Catatan Hujan Aruna

Hujan turun deras di Kota Serang. Sudah tiga jam tidak berhenti. Langit seperti menyimpan amarah yang tidak ingin reda. Di halaman kampus, genangan air naik sampai ke ubin teras gedung, dan udara dingin membuat sebagian mahasiswa menggigil sambil menunggu hujan reda.

Aruna berdiri di antara mereka. Ia menatap hujan tanpa banyak bicara. Di tangan kirinya ada map tugas yang mulai lembap, sedangkan tasnya ia peluk di dada agar tak basah. Matanya sesekali memandangi langit, berharap mendung segera berlalu. Namun yang terdengar hanya deru air menimpa genting, memantul ke tanah, menelan semua suara.

Aruna mahasiswa baru, jurusan Ilmu Sejarah. Ia datang jauh dari Kepulauan Seribu. tempat laut jadi halaman rumah, tempat matahari tenggelam tanpa suara kendaraan, hanya ombak dan perahu. Kini ia tinggal di kota yang tidak punya aroma garam. Setiap pagi ia bangun dengan bunyi klakson, bukan suara burung laut. Kadang ia masih bingung bagaimana bertahan di tempat yang terasa asing ini.

Aruna anak perantau yang sederhana. Ia datang dengan tekad yang rapuh tapi kuat: ingin belajar, ingin punya hidup yang lebih baik, ingin membuktikan bahwa dirinya mampu meski tanpa siapa-siapa. Ia tahu keluarganya tidak punya banyak uang, bahkan ongkos pertama kali ke Serang saja dikumpulkan dari hasil meminjam. Tapi Aruna percaya, kalau sudah sampai sejauh ini, ia tidak boleh menyerah.

Namun sore itu, setelah tiga jam menunggu hujan tak juga reda, tekadnya terasa kecil sekali. Ia berdiri di antara tawa teman-teman yang bercanda, merasa seperti bayangan yang tak terlihat. Ketika beberapa orang mulai menyerah dan nekat berlari ke parkiran, Aruna akhirnya ikut melangkah. Ia menarik resleting jaket, menunduk, lalu berlari di bawah derasnya air. Sepatunya menyiprat, pakaiannya basah, tapi ia tak peduli. Yang penting ia bisa pulang.

Saat tiba di kos, tubuhnya menggigil. Ia duduk di tepi ranjang sambil menatap lantai yang basah. Di luar, hujan masih jatuh seperti waktu tak bergerak. Bau lembap memenuhi kamar sempit itu. Aruna menatap tasnya, lalu menunduk pelan. Di dalam tas itu, masih ada kertas tugas yang gagal ia jelaskan di kelas pagi tadi.

Ia menarik napas panjang.
Tadi pagi, di depan kelas, dosennya bertanya hal yang sebetulnya sederhana, tentang hubungan antara kolonialisme dan pertumbuhan kota di abad ke-19. Aruna tahu jawabannya, ia sudah menyiapkan catatan, sudah berlatih malam sebelumnya. Tapi ketika semua mata menatapnya, suaranya hilang. Lidahnya seperti terkunci. Dan di belakang, terdengar bisikan kecil dari teman-teman yang membuat dadanya sesak.

Sekarang, di kamar kecil itu, Aruna menyesal.
“Kenapa aku diam?” gumamnya pelan.
Ia menatap cermin kecil di meja, melihat wajahnya sendiri yang pucat, mata sembab, rambut berantakan karena hujan. “Aku tahu jawabannya,” bisiknya lagi, seolah berbicara kepada bayangan.

Batin Aruna masih dipenuhi suara-suara masa lalu. Ia teringat masa kecilnya di pulau, hari ketika ayah dan ibunya berangkat melaut dan tak pernah kembali. Orang-orang bilang kapal mereka tenggelam. Sejak itu ia hidup bersama bibinya yang tua dan sakit-sakitan. Ia tumbuh tanpa pelukan, tanpa sapaan lembut, hanya dengan ombak yang sepi dan langit yang terlalu biru.

Di sekolah dulu, Aruna sering diam di pojok kelas. Ucapannya sering tidak jelas, suaranya pelan, membuat teman-teman menertawakan. Ada yang bilang ia aneh, ada yang menirukan caranya bicara. Sejak itu Aruna belajar menahan kata-kata. Ia menulis saja, menulis di buku catatannya, diam-diam.

Sekarang, di kamar sempit itu, kebiasaan lamanya kembali. Ia mengambil buku catatan kecil, membuka halaman kosong, lalu menulis pelan:

“Hari ini aku gagal lagi. Aku tahu jawabannya, tapi aku tidak bisa bicara. Seperti ada sesuatu yang menahan di tenggorokan. Aku malu. Aku takut. Mungkin aku memang tidak pantas ada di sini.”

Tulisannya bergetar karena tangannya gemetar. Setelah itu ia menutup buku, menatap langit-langit yang rembes di sudut kamar. Hujan masih belum berhenti, seolah ikut merenungkan nasibnya.

Malam itu Aruna tak tidur. Ia hanya berbaring sambil mendengarkan bunyi hujan di atap. Dalam gelap, pikirannya penuh pertanyaan yang tak bisa dijawab. Tentang masa lalu, tentang dirinya, tentang kenapa ia selalu merasa salah.

Keesokan paginya, udara dingin masih tersisa dari hujan semalam. Aruna berjalan ke kampus dengan langkah pelan. Jaketnya masih agak basah, dan wajahnya tampak sayu. Di kelas, ia duduk di bangku belakang, mencoba menulis ulang catatannya.

Teman-teman lain berbincang ringan di depan, tertawa membahas hal sepele. Aruna hanya diam, menatap papan tulis. Lalu tiba-tiba, di tengah kelas, seseorang berbisik cukup keras, “Lihat tuh, si diam datang lagi.” Suara kecil itu disambut tawa pelan. Aruna menunduk, seolah tak mendengar. Tapi hatinya panas. Ia ingin berkata, “Aku juga bisa bicara,” tapi suara itu kembali hilang.

Usai kelas, ia segera keluar, menuju kantin. Ia duduk di pojok paling pinggir, membeli nasi goreng dan teh manis. Tangannya masih gemetar ketika memegang sendok. Ia hanya ingin tenang sebentar, sendirian. Tapi ketenangan itu tidak berlangsung lama.

“Bro, lo anak baru ya?” suara seseorang tiba-tiba terdengar dari sebelah meja.
Aruna menoleh. Seorang lelaki berjaket kampus, wajahnya ramah, duduk dengan senyum lebar.
“Iya… aku Aruna,” jawabnya ragu.
“Aruna? Namanya bagus. Gue Amir, anak Psikologi. Baru lihat lo nih, sering nongkrong di sini?”
“Enggak, cuma makan bentar…”
“Ah, santai aja. Gue dulu juga kayak lo, pendiem, kaku. Lama-lama juga biasa.”

Nada Amir ringan, seperti teman lama. Ia duduk di depan Aruna tanpa sungkan, lalu mulai mengobrol soal kampus, dosen, bahkan makanan yang menurutnya “semuanya rasa micin.” Aruna tersenyum kecil, lalu tertawa. Rasanya aneh, tapi hangat.

Mereka bicara lama. Tentang kuliah, tentang kenapa Amir suka psikologi, dan sedikit tentang kenapa Aruna memilih sejarah. Amir bilang, “Anak sejarah itu dalam, cuma sering kesepian. Hati-hati, kesepian bisa bahaya.” Ucapannya ringan, tapi entah kenapa Aruna merasa Amir benar-benar mengerti.

Sebelum pergi, Amir menepuk bahu Aruna. “Kapan-kapan nongkrong, ya. Gue biasa di taman belakang kampus. Kalau suntuk, datang aja.”

Aruna mengangguk.
Ketika berjalan pulang, langit kembali mendung. Bau tanah basah dari hujan semalam masih terasa di udara. Tapi kali ini, langkahnya terasa lebih ringan. Mungkin karena ada seseorang yang akhirnya mau menyapanya tanpa menertawakan.

Aruna tersenyum kecil. Entah kenapa, ia merasa hari ini sedikit lebih ringan. Langit di luar jendela asrama masih berawan, tapi tidak lagi sepekat tadi pagi. Sisa hujan menetes perlahan dari ujung atap, membentuk irama yang menenangkan di atas genting. Ia menatap secangkir teh yang mulai dingin di atas meja. Amir belum datang sore itu, tapi entah kenapa Aruna berharap ia datang membawa cerita baru.

Beberapa minggu terakhir, Amir menjadi satu-satunya orang yang sering menyapanya tanpa alasan. Kadang hanya untuk berbagi rokok, kadang sekadar duduk diam di tangga kampus menatap langit. Amir sering bercerita tentang hidupnya yang tidak pasti tentang ayah yang jarang pulang, dan tentang bagaimana ia ingin “melupakan semua tekanan” dengan caranya sendiri. Aruna mendengarkan tanpa banyak bicara. Ia merasa, untuk pertama kalinya, seseorang tidak menilai diamnya sebagai keanehan.

Suatu sore, setelah kelas filsafat yang menegangkan, Amir menghampirinya di depan kantin. “Lu kelihatan capek banget, Na,” katanya sambil mengulurkan sebungkus rokok. Aruna menolak halus, tapi Amir tertawa kecil. “Santai aja, cuma buat nenangin diri.”

Beberapa kali Aruna mencoba membayangkan bagaimana rasanya tidak selalu takut, tidak selalu merasa salah di tengah keramaian. Ia teringat dosen yang tadi siang menegurnya karena jawabannya terlalu ragu. Ia teringat bagaimana teman-teman lain tertawa, bukan mengejek, tapi suara tawa itu menggema di kepalanya lama sekali. Seolah setiap kali ia mencoba bicara, ada dinding tak terlihat yang memantulkan semua kata kembali padanya.

Malam itu Amir datang ke kamar kos Aruna. Membawa sebotol minuman dan beberapa bungkus camilan. “Cuma buat santai,” katanya lagi, senyumnya tenang tapi matanya menyimpan letih. Mereka berbincang lama, tentang hujan, tentang rumah, tentang bagaimana kadang hidup terasa seperti jalan tanpa ujung. Aruna mulai merasa nyaman. Lalu Amir mengeluarkan sesuatu dari saku jaketnya — sebuah kapsul kecil.

“Ini, kalau lo susah tidur. Nggak berbahaya kok. Biar otak lo tenang, kayak semua masalah berhenti sebentar,” ucapnya ringan, seolah itu hal biasa. Aruna menatap kapsul itu lama, ragu, tapi kemudian Amir menambahkan, “Cuma sekali aja, Na. Biar besok lo bisa fokus kelas.”

Aruna terdiam. Dalam kepalanya, kata-kata itu bergema seperti bisikan yang menenangkan. Ia pikir, mungkin benar. Mungkin semua orang butuh sedikit istirahat dari pikiran sendiri. Ia mengambil kapsul itu perlahan, menelannya tanpa suara.

Malam berjalan pelan. Angin membawa aroma lembap dari luar jendela. Aruna memejamkan mata, dan untuk pertama kalinya dalam beberapa bulan, ia tertidur tanpa mimpi buruk. Tidak ada hujan di dalam kepalanya malam itu.

Keesokan paginya, Aruna datang ke kampus lebih awal dari biasanya. Langkahnya ringan, pikirannya jernih. Ia bahkan bisa menjawab pertanyaan dosen dengan yakin, sesuatu yang jarang terjadi. Amir melambai dari kejauhan, tersenyum puas. “Gimana? Kan gue bilang, lo cuma butuh tenang,” katanya sambil menepuk bahu Aruna.

Hari-hari berikutnya terasa lebih mudah, tapi juga lebih kabur. Aruna mulai mencari Amir lebih sering, bukan hanya karena ingin bicara, tapi karena ia ingin kembali merasakan tenang itu. Amir tidak selalu datang, tapi setiap kali muncul, ia membawa sesuatu, pil lain, sedikit lebih kuat, katanya. “Cuma biar nggak mikir terlalu keras,” ujarnya enteng.

Pelan-pelan, Aruna mulai kehilangan waktu. Ia tidak sadar berapa lama ia duduk di taman kampus menatap kosong. Buku catatannya penuh coretan yang tidak selesai. Ia jarang ke perpustakaan, jarang menjawab pesan teman sekelas. Tapi setiap kali Amir datang, dunia terasa kembali utuh.

Suatu sore, dosen wali memanggilnya. “Kamu kenapa akhir-akhir ini?” suara dosen itu lembut tapi tegas. Aruna mencoba tersenyum, tapi suaranya serak. “Saya cuma capek, Pak.” Dosen itu menatapnya lama, lalu menghela napas. “Capek boleh, tapi jangan hilang.”

Kalimat itu seharusnya sederhana, tapi mengguncang Aruna. Malamnya ia menatap cermin kamar kos, wajahnya pucat, matanya cekung. Ia mencoba mengingat kapan terakhir kali ia benar-benar tertawa tanpa bantuan apa pun. Tapi bayangan Amir datang lagi, dengan suaranya yang menenangkan: “Lo cuma butuh tenang.”

Dalam diam, Aruna tahu dirinya mulai bergantung. Tapi rasa takut untuk kembali ke dirinya yang dulu yang penuh kecemasan dan kesepian yang terlalu besar. Ia duduk di tepi ranjang, hujan kembali turun di luar. Air menetes dari atap, ritmenya lambat, nyaris sama seperti hari pertama ia tiba di kampus itu.

Namun kali ini, hujan tidak lagi terasa menenangkan. Suaranya seperti detik jam yang berlari pelan menuju sesuatu yang ia belum berani hadapi.

Beberapa hari kemudian, Aruna mulai jarang masuk kelas. Ia sering duduk di taman belakang fakultas, tempat yang jarang dilewati orang. Di tangannya selalu ada buku catatan kecil, tapi halamannya tetap kosong. Kadang ia hanya menatap lembar putih itu, menunggu sesuatu muncul dari pikirannya — tapi yang datang justru kabut.

Amir makin jarang terlihat. Katanya sibuk, katanya harus ke luar kota sebentar. Namun di hari-hari sepi itu, Aruna mulai merasa tubuhnya gelisah. Ia tidak bisa tidur, jantungnya berdegup cepat tanpa alasan. Ia menatap langit-langit kamar, berharap waktu bergerak lebih cepat, atau malah berhenti saja.

Pagi itu, hujan kembali turun. Deras sekali, seperti minggu pertama ia tiba di kota ini. Aruna memandangi jalan dari balik jendela kampus. Mahasiswa berlarian membawa payung warna-warni, sementara ia berdiri sendirian di koridor. Di ujung lorong, dosennya lewat, membawa map besar berisi arsip penelitian mahasiswa. Di dalamnya, ada berkas milik Aruna yang belum dikembalikan — nilai tugasnya, juga catatan-catatan evaluasi.

Entah kenapa, Aruna merasa harus memilikinya malam itu juga. Ia tidak ingin orang lain membaca isi pikirannya di kertas itu, terutama catatan dosen yang menulis: “Terlihat kurang fokus. Kemungkinan sedang mengalami tekanan.”

Malamnya, kampus sepi. Aruna datang diam-diam, hanya berbekal senter kecil. Ia berjalan ke ruang dosen, jantungnya berdetak tak beraturan. Di dalam ruangan itu, bau kertas dan kopi basi bercampur menjadi aroma aneh yang menekan dada. Ia menemukan map itu di laci terbuka. Tangannya bergetar saat mengambilnya.

Namun langkahnya berhenti ketika terdengar suara pintu berderit. Satpam kampus menyorotkan senter ke arahnya.
“Siapa di situ?”
Aruna tak menjawab. Tubuhnya membeku, matanya berair. Dalam beberapa detik, semua alasan runtuh. Ia tak sedang mencari berkas, ia sedang mencari dirinya yang hilang di antara tumpukan kertas itu.

Keesokan paginya, kabar tentang pencurian kecil itu menyebar. Amir tidak muncul lagi. Sebagian teman berbisik-bisik, sebagian pura-pura tidak tahu. Dosen wali datang ke asrama Aruna. Ia menatap gadis itu yang duduk di lantai, memegang map basah karena air hujan yang menetes dari atap.
“Kenapa harus sejauh ini, Aruna?” suaranya lirih, nyaris seperti ayah yang kehilangan anaknya sendiri.

Aruna tidak menjawab. Bibirnya bergetar. Di luar, hujan belum berhenti. Ia ingin berkata sesuatu, tapi tenggorokannya kering.
“Aku cuma... pengin tenang, Pak,” katanya akhirnya, hampir tak terdengar.

Dosen itu menatap lama, lalu menutup map di tangannya. “Tenang bukan berarti berhenti,” ucapnya pelan. “Kadang kita cuma perlu berhenti mencari luka di tempat yang salah.”

Kalimat itu tertinggal lama di kepala Aruna, bahkan setelah semua berakhir. Setelah ia dipulangkan untuk sementara waktu, setelah kampus perlahan melupakannya. Malam-malam di asrama kini digantikan bunyi jam dinding dan aroma obat penenang yang perlahan habis.

Beberapa bulan kemudian, ia kembali duduk di halte yang sama, di depan kampus. Hujan turun lagi, membasahi seluruh jalan. Anak-anak baru berlarian, sama seperti dulu. Aruna menatap ke arah gedung yang kini terasa asing. Ia membuka buku catatan kecilnya, kali ini ada tulisan di sana:

“Aku pernah tenggelam karena ingin tenang. Tapi ternyata tenang yang kucari bukan diam, melainkan berani menatap gelombang.”

Aruna menutup bukunya, lalu menatap langit. Hujan belum reda, tapi ia tidak lagi menunggu. Ia melangkah perlahan ke tengah gerimis, membiarkan air menetes di wajahnya.

Di kejauhan, suara bel kampus terdengar samar yang seolah memanggilnya pulang, bukan sebagai mahasiswi yang jatuh, tapi sebagai seseorang yang akhirnya belajar berdamai dengan sunyi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Negeri yang Demam oleh Amarah

  Stres berkepanjangan membuat saya terus bertanya pada diri sendiri, mengapa kepala saya dipenuhi masalah dan ketakutan yang menghantui. Lemas dan letih rasanya menghadapi keadaan ini, apalagi melihat situasi yang genting. Kerusuhan dalam diri tak lagi bisa dibendung, penjara ketakutan telah merampas kebahagiaan saya. Ruang-ruang batin pun berantakan setelah hati dan pikiran saya dijarah oleh rasa takut. Berita televisi dan media sosial dipenuhi kecemasan. Kota terasa semakin tercekam oleh massa yang menyampaikan aspirasi kepada mereka yang duduk nyaman di kursi kekuasaan. Emosi membara, kemarahan muncul karena rakyat diremehkan oleh salah satu wakilnya yang seharusnya mewakili suara banyak orang. Massa aksi selayaknya semut-semut kecil, bergerombol lalu bubar ke segala arah tanpa tahu jalan pulang. Mereka berdiri berjam-jam hanya untuk mendengarkan teriakan sekawannya. Namun, tidak semua yang berkerumun murni menyuarakan aspirasi, ada provokator yang membuat keadaan semakin mence...

THR: Dari Mogok Buruh ke Proposal THR

  Bulan Ramadhan telah berakhir, dan saya merasa cukup senang menyambut hari Lebaran. Hari yang penuh kebersamaan itu akhirnya tiba, dan saya tidak sabar menunggu THR. Namun, saya sadar bahwa saya sudah bukan anak sekolah lagi, sekarang saya adalah seorang mahasiswa. Kata saudara saya, anak kuliah justru memiliki lebih banyak kebutuhan dibandingkan anak kecil atau anak sekolah. Tahun lalu saya masih mendapatkan THR, tetapi tahun ini saya tidak tahu apakah masih akan mendapatkannya. Saya butuh uang untuk membeli PDH Belistra dan himpunan, agar bisa segera melunasinya. Saya melihat para pekerja mendapatkan tunjangan hari raya berupa uang atau sembako, termasuk ayah saya. Tahu tidak kalau THR ini di tahun 1953 dulunya disebut Hadiah Lebaran atau Persekot Hari Raya? Saat itu, pemberian tersebut bersifat sukarela dari majikan sebagai bentuk kepedulian sosial. Pada tahun 1950-an, para buruh hidup dalam kondisi yang memprihatinkan, dengan penghasilan yang bahkan tidak cukup untuk membeli ...

Semua Sudah Diatur, Tidak Perlu Dipikirkan

 Semua Sudah Diatur, Tidak Perlu Dipikirkan   Malam yang sunyi, saya kembali menulis. Kali ini, saya menulis tentang permasalahan kehidupan saya. Masalah hidup saya sama seperti masalah negeri ini. Dari ujung barat sampai timur, negeri ini dipenuhi oleh kicauan mahasiswa yang berteriak menuntut keadilan. Begitu pula saya, yang terus berteriak kepada hati saya sendiri, merasa bersalah atas perbuatan yang telah berlalu.   Iya, memang saya selalu menyesali setiap tindakan yang sudah terjadi. Namun, saya berpikir bahwa Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyesal ketika membuat UU TNI, yang kini membuat gaduh narasi di media sosial. Kerusuhan terjadi di mana-mana karena naskah yang dibuat terburu-buru. Saya tidak tahu apakah naskah itu benar-benar disusun berdasarkan proses demokrasi.   Saya mendukung undang-undang ini karena saya percaya bahwa undang-undang itu tidak akan merugikan rakyat, justru menguntungkan mereka. Namun, saya juga meragukan kemampuan seseor...