Langsung ke konten utama

Intan dan Mimpi ke Bulan

 


Bau busuk dari numpukan sampah. Tumpukan itu menjulang tinggi, bahkan melebihi gedung-gedung bertingkat yang ada di kota besar. Sering dikatakan orang, tempat itu menjijikkan, tak ada harapan selain mengambil sampah. Dari setiap penjuru, sampah-sampah seolah sudah menjadi sahabat dekat bagi masyarakatnya.

Di antara mereka, ada seorang anak kecil. Gadis mungil dengan wajah imut, hidung mancung, dan mata yang bersinar penuh harapan. Namanya Intan. Usianya masih belia, namun semangatnya jauh melampaui usianya. Orang tuanya bekerja sebagai pemulung, hanya bisa mengandalkan rongsokan yang datang dari kota.

Intan tumbuh besar di tengah bau sampah yang menyengat. Hidup di TPA Bantar Gerbang, tempat yang sering dijauhi banyak orang. Namun bagi Intan, tempat itu adalah rumah. Bau sampah sudah biasa ia hirup setiap hari. Meski begitu, hatinya dipenuhi mimpi yang jauh dari tumpukan sampah itu. Ia bercita-cita pergi ke bulan.

Cita-cita itu muncul dari buku bergambar alam semesta yang sering ia baca. Gambar bulan, bumi, dan planet-planet lain membuat imajinasinya melayang tinggi. Ia tahu jalannya tidak mudah. Di satu sisi, Intan ragu apakah mungkin anak pemulung sepertinya bisa menggapai angkasa.

Suatu sore, saat bermain bersama teman-temannya, Intan berbicara kepada sahabatnya, Bima.
“Hai Bima, gimana ya kalau aku suatu saat bisa menembus langit dan pergi ke bulan?” ucap Intan sambil menatap langit senja.

Bima tertawa kecil. “Ah, mimpi kamu terlalu jauh, Tan. Lihat tuh keluargamu. Kita di sini cuma bisa berharap dapat rongsokan banyak. Jangan mimpi yang aneh-aneh.”

Intan terdiam sejenak, lalu menatap sahabatnya. “Tapi kan mimpi itu sah-sah aja kan? Kalau aku berusaha, siapa tahu bisa tercapai.”

Bima mendengus. “Tan, lihat realitas sosial di sini. Nggak ada orang miskin kayak kita yang bisa makmur, apalagi ke bulan. Kamu sih kebanyakan baca fiksi.”

“Ih, kamu meremehkan aku. Aku bakal berusaha sekuat tenaga,” jawab Intan, agak kesal.

“Coba aja, Tan. Tapi kalau nanti kecewa, jangan salahin siapa-siapa.”

Sejak percakapan itu, Intan menyimpan tekad untuk membuktikan bahwa mimpinya tidak sekadar angan.

Malam itu, ketika ibunya selesai memasak, Intan pulang dari bermain dan langsung berkata, “Bu, kalau Intan bercita-cita pergi ke bulan, mungkinkah itu?”

Ibunya tertawa keras. “Kamu aneh-aneh aja. Mana mungkin orang kayak kita bisa sejauh itu. Jangan mimpi ketinggian.”

“Tapi bu…” mata Intan berkaca-kaca.

Ibunya kembali berkata, “Sudahlah, kamu fokus mulung aja. Cari barang yang bisa dijual. Itu lebih nyata.”

Intan merasa kesal. “Bu, aku akan usahakan. Ingat, apapun cita-citaku, aku akan kejar!”

Ibunya tersenyum kecil, lalu dengan nada bercanda berkata, “Ya sudah, kejar sampai bintang kejora. Tapi ujung-ujungnya kamu tetap nemu rongsokan juga.”

“Bu, kok tega ngomong gitu…” suara Intan bergetar.

Saat itu ibunya baru sadar, anaknya benar-benar serius. Ibunya pun melunak. “Yah, Intan… ibu dukung. Ibu berpesan, kamu harus rajin belajar dan jujur kalau mau benar-benar mencapainya.”

Intan memeluk ibunya erat.

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Hari-hari berikutnya, Intan bersekolah di sebuah SMA favorit di Bekasi berkat beasiswa pemerintah. Ia dikenal sebagai murid yang rajin, terutama di bidang fisika dan matematika. Namun kehidupan di sekolah tidak mudah. Banyak teman mengejeknya.

Suatu hari, setelah jam pelajaran usai, Intan menemukan sobekan kertas di mejanya. Isinya: “Hai anak pemulung, jangan sok suci lu!” Intan menunduk sedih. Itu bukan pertama kalinya ia diejek. Bau sampah seakan menempel pada dirinya.

Meski begitu, ia tetap belajar. Ia menahan rasa sakit, tidak pernah bercerita ke orang tua. Hanya kepada satu teman dekat di rumahnya ia bisa curhat sambil meneteskan air mata.

Waktu berjalan. Kini Intan duduk di kelas 12. Ia semakin serius mengejar mimpinya masuk jurusan Astronomi di ITB. Ia percaya, itulah jalannya menuju bulan.

Namun perjuangan tidak mulus. Ketika seleksi berbasis nilai rapor diumumkan, Intan gagal. Ia merasa dunianya runtuh. Ia teringat kata-kata Bima, juga perkataan ibunya.

“Apa benar aku tidak mungkin sampai ke bulan? Apa mimpiku hanya sampah?” pikir Intan sambil menangis.

Seorang guru mendengarnya. Guru itu mendekat, memberi semangat. “Intan, kamu masih punya kesempatan. Jangan menyerah. Banyak jalan menuju mimpimu.”

“Tapi Bu, apa mungkin anak pemulung bisa kuliah? Semua orang meremehkan saya.”

Guru itu tersenyum sabar. “Justru karena kamu dari keluarga sederhana, kamu harus berjuang. Ujian ini akan membuatmu lebih kuat.”

Ucapan itu memberi sedikit harapan. Intan kembali semangat. Ia belajar setiap malam, bahkan sambil membantu orang tuanya mencari sampah.

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Seleksi ujian tulis pun tiba. Intan mengerjakan soal dengan penuh tekad. Meski sulit, ia tetap berusaha. Namun hasilnya lagi-lagi mengecewakan. Intan gagal untuk kedua kalinya.

Air matanya tumpah. Ia merasa benar-benar hancur. “Mungkin benar kata mereka, aku tidak layak bermimpi…” gumamnya lirih.

Namun gurunya kembali datang. “Tidak apa-apa, Tan. Kamu masih layak. Banyak jalan lain. Ibu punya kabar.”

Guru itu lalu menunjukkan brosur beasiswa ke Jerman. “Ini beasiswa Astronomi. Ibu tahu kamu pintar fisika dan bahasa Jerman. Cobalah ikut seleksi ini.”

Intan terkejut. “Jerman? Apa mungkin, Bu? Aku kan cuma anak pemulung.”

“Kamu punya potensi besar. Jangan ragu.”

Dengan hati berdebar, Intan mendaftar. Seleksi demi seleksi ia jalani: berkas, wawancara, tes kemampuan. Hatinya selalu waswas, takut gagal lagi. Namun ia tak menyerah.

Sampai suatu hari, pengumuman itu datang. Intan diterima.

Ia membaca surat itu berulang kali. Tangannya gemetar. Matanya berkaca-kaca. Ia berlari pulang, menunjukkan surat itu pada ibunya.

“Bu! Intan diterima! Aku bisa kuliah di Jerman!”

Ibunya tidak percaya. Ia memeluk Intan erat, sambil menangis haru. “Anakku… aku dulu sempat meremehkan mimpimu. Tapi sekarang kau buktikan. Pergilah, nak. Kejar bulanmu.”

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Negeri yang Demam oleh Amarah

  Stres berkepanjangan membuat saya terus bertanya pada diri sendiri, mengapa kepala saya dipenuhi masalah dan ketakutan yang menghantui. Lemas dan letih rasanya menghadapi keadaan ini, apalagi melihat situasi yang genting. Kerusuhan dalam diri tak lagi bisa dibendung, penjara ketakutan telah merampas kebahagiaan saya. Ruang-ruang batin pun berantakan setelah hati dan pikiran saya dijarah oleh rasa takut. Berita televisi dan media sosial dipenuhi kecemasan. Kota terasa semakin tercekam oleh massa yang menyampaikan aspirasi kepada mereka yang duduk nyaman di kursi kekuasaan. Emosi membara, kemarahan muncul karena rakyat diremehkan oleh salah satu wakilnya yang seharusnya mewakili suara banyak orang. Massa aksi selayaknya semut-semut kecil, bergerombol lalu bubar ke segala arah tanpa tahu jalan pulang. Mereka berdiri berjam-jam hanya untuk mendengarkan teriakan sekawannya. Namun, tidak semua yang berkerumun murni menyuarakan aspirasi, ada provokator yang membuat keadaan semakin mence...

THR: Dari Mogok Buruh ke Proposal THR

  Bulan Ramadhan telah berakhir, dan saya merasa cukup senang menyambut hari Lebaran. Hari yang penuh kebersamaan itu akhirnya tiba, dan saya tidak sabar menunggu THR. Namun, saya sadar bahwa saya sudah bukan anak sekolah lagi, sekarang saya adalah seorang mahasiswa. Kata saudara saya, anak kuliah justru memiliki lebih banyak kebutuhan dibandingkan anak kecil atau anak sekolah. Tahun lalu saya masih mendapatkan THR, tetapi tahun ini saya tidak tahu apakah masih akan mendapatkannya. Saya butuh uang untuk membeli PDH Belistra dan himpunan, agar bisa segera melunasinya. Saya melihat para pekerja mendapatkan tunjangan hari raya berupa uang atau sembako, termasuk ayah saya. Tahu tidak kalau THR ini di tahun 1953 dulunya disebut Hadiah Lebaran atau Persekot Hari Raya? Saat itu, pemberian tersebut bersifat sukarela dari majikan sebagai bentuk kepedulian sosial. Pada tahun 1950-an, para buruh hidup dalam kondisi yang memprihatinkan, dengan penghasilan yang bahkan tidak cukup untuk membeli ...

Semua Sudah Diatur, Tidak Perlu Dipikirkan

 Semua Sudah Diatur, Tidak Perlu Dipikirkan   Malam yang sunyi, saya kembali menulis. Kali ini, saya menulis tentang permasalahan kehidupan saya. Masalah hidup saya sama seperti masalah negeri ini. Dari ujung barat sampai timur, negeri ini dipenuhi oleh kicauan mahasiswa yang berteriak menuntut keadilan. Begitu pula saya, yang terus berteriak kepada hati saya sendiri, merasa bersalah atas perbuatan yang telah berlalu.   Iya, memang saya selalu menyesali setiap tindakan yang sudah terjadi. Namun, saya berpikir bahwa Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyesal ketika membuat UU TNI, yang kini membuat gaduh narasi di media sosial. Kerusuhan terjadi di mana-mana karena naskah yang dibuat terburu-buru. Saya tidak tahu apakah naskah itu benar-benar disusun berdasarkan proses demokrasi.   Saya mendukung undang-undang ini karena saya percaya bahwa undang-undang itu tidak akan merugikan rakyat, justru menguntungkan mereka. Namun, saya juga meragukan kemampuan seseor...