Ombak menghantam kapal-kapal yang ada di depannya. Sungguh
mustahil bagi kapal besar yang hampir tenggelam itu untuk bertahan. Hantaman
ombak merusak lambung kapal, beruntung masih bisa diperbaiki dengan baik. Para
penumpang panik, mondar-mandir tanpa arah. Jika terjun pun, mereka akan
terdampar di samudra luas yang katanya tanpa batas. Sialnya, petir menyambar,
membuat suasana semakin dramatis. Kematian bukan lagi pilihan, melainkan
kewajiban bagi jiwa yang tak ingin terus terhanyut di samudra itu.
Seluruh penumpang pusing, sebagian histeris. Hanya satu
orang yang tampak tenang, seolah tahu bahwa kematian memang akan tiba pada
waktunya. Katanya, dia mengalami gangguan depresi berat atau istilah ilmiahnya major
depression disorder, yang sudah dialami sejak kecil. Kehidupannya memang
tidak seindah kebanyakan orang. Aku melihat kartu identitasnya tertinggal di
ruang makan; dia lupa mengambilnya. Namanya tertera di sana: Rafif.
Masih berusia delapan belas tahun, masa yang seharusnya disebut remaja.
Di tengah riuh kapal itu, dia tetap berdiri. Tiba-tiba ia
teringat bahwa kartu identitasnya hilang. Panik, ia ikut mondar-mandir bersama
penumpang lain. Teman-temannya tak sempat memikirkannya karena sudah dilanda
kepanikan. Kabar terakhir yang kudengar, salah satu temannya terjatuh ke laut
dan tak bisa diselamatkan. Padahal temannya itu sangat baik pada Rafif. Kini
Rafif seorang diri, panik setengah mati mencari kartu identitasnya. Tapi
pencariannya sia-sia. Ia pun pasrah.
“Aku sudah lelah mencari kartuku. Akhirnya aku tak mengenal
diriku sendiri,” gumamnya.
“Padahal, aku hanya mengingat siapa diriku lewat kartu itu.”
Rafif lupa minum obat penenangnya. Lagi-lagi ia bingung dan siapa
dirinya sebenarnya, kenapa orang-orang berlarian, dan kenapa kapal ini
berguncang seperti hendak tenggelam. Sirene darurat meraung tanpa henti. “Ada
apa denganku? Aku hanya ingin pergi ke Jakarta, bertemu ibuku... yang sudah
tiada,” katanya dalam hati. “Ah, apa jangan-jangan kapal ini benar-benar
tenggelam? Bagaimana nasibku? Cukup hatiku saja yang tenggelam, aku ingin
bertemu Ibu.”
Kapal benar-benar mulai tenggelam. Rafif bingung, mentalnya
lemah, tubuhnya pasrah. Air mata menetes di lantai geladak. Dalam detik-detik
terakhir, ia mencoba menuju sekoci dengan pelampung, tapi semua sudah penuh. Ia
berlari di geladak, terdiam, pasrah menerima takdir yang sebentar lagi
menjemput ajalnya.
Ketika kapal benar-benar tenggelam, Rafif terhempas.
Tubuhnya terapung. Ia heran kenapa tubuhnya belum tenggelam. “Apakah aku punya
kekuatan?” pikirnya, tapi segera terseret ombak deras. Air masuk ke hidungnya.
Ia tak bisa bernapas, hingga akhirnya... ia benar-benar tak bernapas lagi.
Namun Rafif diselamatkan oleh seseorang bernama Bayuh
Bayah, lalu terdampar di sebuah kota pelabuhan yang sama sekali tidak
dikenalnya. Bayuh Bayah menuntunnya untuk beristirahat di rumahnya. Ia
memberinya teh dan roti buaya.
“Aku di mana... aku di mana?”
“Diam, Nak! Untung kau kutolong,” kata Bayuh Bayah, risih mendengar suaranya.
Rafif terdiam, merasa terancam. Ia belum pernah diperlakukan
seperti itu oleh orang tuanya. Orang tua Bayuh Bayah itu menyiapkan tempat
tidur untuknya, meski hatinya berat menolong. Namun karena tuntutan adat dan
norma sosial yang mengikat, bahwa siapa pun yang menemukan orang tersesat wajib
menolong , ia tetap melakukannya.
Beberapa hari kemudian, orang tua Bayuh Bayah sering
berteriak karena tidak tahan melihat perilaku Rafif yang tak normal: menangis
sepanjang hari. Hingga akhirnya, karena muak, orang tua itu menjual Rafif
diam-diam kepada seorang pedagang lewat jalur gelap. Rafif dijadikan budak dan
dibeli oleh seorang bernama Josef, pedagang yang menggunakan tenaga
budak untuk berlayar keliling dunia menjual rempah seperti cengkeh dan lada.
Rafif disekap, mulut dan kakinya diikat tanpa peri
kemanusiaan. Ia tersiksa. Aku kasihan padanya. Kartu identitasnya masih ada
padaku. Kusimpan baik-baik, karena mungkin kelak bisa membantu Rafif menemukan
dirinya kembali. Sekarang, Rafif tak lagi hidup seperti manusia. Ia bekerja
tanpa henti hingga lupa berbicara dengan bahasa manusia. Ia merasa dirinya
seperti mamalia yang dikurung, tanpa disentuh oleh nurani. Ia hanya berharap
suatu hari akan datang pembebasan.
“Hai kamu! Kerja yang benar!” teriak seorang kru kapal.
Rafif hanya merenung, tangannya menggenggam pel lantai
kapal. Tiba-tiba tangannya diinjak dan dipukul karena dianggap bekerja tidak
benar. Tapi Rafif justru tersenyum — luka itu membuatnya merasa bebas.
“Tolong... lakukan lagi. Lukai tanganku. Mengapa kau
berhenti, Tuan?”
Orang yang melukainya kaget. Josef pun heran. Baru kali ini
ada budak yang menantang dengan cara seperti itu. Ia mencurigai Rafif memiliki
mental yang kuat.
“Bagus,” kata Josef. “Aku akan menjadikannya bahan
percobaan.”
Rafif dipaksa memakan tanaman-tanaman aneh yang tak
dikenalnya. Salah satunya beracun. Tubuhnya kejang-kejang, wajahnya pucat,
budak-budak lain menjerit ketakutan.
“Apakah aku akan benar-benar mati? Aku tak kuat lagi... ah,
aku akan pergi ke samudra yang luas itu. Aku akan bersama Ibu... di samudra.”
Racun itu akhirnya menghentikan napasnya. Rafif terbebas.
Namun jumlah penderitaan tetap sama, hanya bentuknya yang berubah.
.png)
Komentar
Posting Komentar