Sirkulasi
Denyutan menandakan aku hanyut
dalam dinding-dinding nadi,
aku kehilangan napasku
karena aku terlelap, tercampur darah.
Jantung mendesak kencang,
aku merosot ke dalam ginjal
untuk mencucikan jiwaku dari racun.
Napas sudah perlahan,
aku kembali ke dalam jantung
untuk dipompa kembali,
memutar-mutar tanpa henti.
Satu jalan untuk keluar,
seribu harapan tersedat,
terjebak dalam sirkulasi—
meminta urat nadi
dipotong,
agar aku keluar darinya.
Kepala Bunga
Aku meminta tolong
kepada sang Kepala Bunga,
agar diizinkan memetik
satu saja dari kelopaknya.
Namun, ia menolak.
Aku pun terbesit mencabutnya paksa
selalu menghindar,
selalu menyadarkan
dengan cara yang sederhana.
Niatku hanya
untuk melengkapi tamanku,
bukan menyodorkannya
kepada yang tak pasti.
Lama Duduk di Bangku Kayu
Lama duduk di bangku kayu,
paku-paku ingin lepas.
Setiap genggaman kayu
kadang tak beraturan,
karena sudah lelah berdiri,
menanggung bebanku
yang duduk sepanjang hari.
Lelahnya menahan badanku.
Bangku terjebak dalam situasi,
menahan, merasakan sakit,
atau akan terlepas dan hancur
dari bagian yang tersusun.
Aku tak mempedulikan itu,
aku hanya tahu aku duduk,
dan tidak lebih dari itu.
Makna Sebuah Rumah
Rumahku ternyata kosong—
Tak ada pesta meriah.
Ruangku berantakan,
Tanpa jejeran makanan.
Aku tahu, rumah itu
adalah tempat ternyaman.
Namun ruangku ini
hanya menyisakan tanya:
di mana tempat tidurku?
Aku ingin tidur,
tanpa perlu tahu
makna sebuah rumah.
Serpih dan Ingatan
Menafsirkan arsiran luka
Yang bermula dari tubuhku
Lalu merambat ke hidupku
Merakit sepihan cermin
Meski tajam, menyayat diam
Tetap kurapikan serpihnya
Untuk kupetik makna dari retaknya
Serpihan itu menggambar ulang
Setiap bingkai kehidupanku
Yang kulalui dalam diam berdarah
Dan aku teringat —
Otakku membengkak
Oleh sejarah yang berjejak di ubun-ubun
Delusi dalam Diam"
Diamku mengangkat akar nyawaku
Dari tubuhku yang berbaring lemah
Melihat aku terbaring
Membuat air mataku
Mengalir ke dalam ilusi
Suara hujan berpuisi
Untuk merayakan delusi
Yang kubuat sehingga aku terdampar
Di dalam tidurku
Tidak ada kehidupan di tubuhku
Karena sudah tercabut
Oleh diamku, kehampaanku
Sebelum adzan subuh
Sebelum Adzan Subuh
Mata penuh kekosongan
Aku menghayati tanganku
Nadipun menungguku untuk diiris halus
Dari aku yang bodoh
Melihat tanganku
Selayaknya santapan manis
Untuk kujadikan memuaskan penderitaanku
Aku muak dengan semua ini
Aku lelah dengan detak nadiku
Sampai kapan aku mendengar nadiku menjerit
Maka lebih baik aku matikan saja
Lebih Baik Meninggal
Hahahaha...
Lebih baik meninggal
Dengan tertawa seperti itu,
Dengan suara yang pecah,
Hahahaha…
Untuk diriku sendiri,
Yang tak pernah tahu bagaimana cara berhenti.
Hanya tawa yang tersisa,
Dari jiwa yang kosong ini.
Tertawa untuk menghapus semua yang tak terucapkan,
Tertawa agar tak ada yang tahu
Betapa sunyinya dunia yang kutinggalkan.
Hahahaha…
Dan biarkan itu menjadi kata terakhirku.
.png)
keren banget
BalasHapus