Langsung ke konten utama

Kumpulan puisi Abbas Merah


  

Sirkulasi

 

Denyutan menandakan aku hanyut

dalam dinding-dinding nadi,

aku kehilangan napasku

karena aku terlelap, tercampur darah.


Jantung mendesak kencang,

aku merosot ke dalam ginjal

untuk mencucikan jiwaku dari racun.

Napas sudah perlahan,

aku kembali ke dalam jantung

untuk dipompa kembali,

memutar-mutar tanpa henti.

 

Satu jalan untuk keluar,

seribu harapan tersedat,

terjebak dalam sirkulasi—

meminta urat nadi

dipotong,

agar aku keluar darinya.

 

 Kepala Bunga


Aku meminta tolong

kepada sang Kepala Bunga,

agar diizinkan memetik

satu saja dari kelopaknya.

Namun, ia menolak.

 

Aku pun terbesit mencabutnya paksa

selalu menghindar,

selalu menyadarkan

dengan cara yang sederhana.

 

Niatku hanya

untuk melengkapi tamanku,

bukan menyodorkannya

kepada yang tak pasti.

 

Lama Duduk di Bangku Kayu

 

Lama duduk di bangku kayu,

paku-paku ingin lepas.

Setiap genggaman kayu

kadang tak beraturan,

karena sudah lelah berdiri,

menanggung bebanku

yang duduk sepanjang hari.

Lelahnya menahan badanku.

 

Bangku terjebak dalam situasi,

menahan, merasakan sakit,

atau akan terlepas dan hancur

dari bagian yang tersusun.

 

Aku tak mempedulikan itu,

aku hanya tahu aku duduk,

dan tidak lebih dari itu.


Makna Sebuah Rumah

 

Rumahku ternyata kosong—

Tak ada pesta meriah.

Ruangku berantakan,

Tanpa jejeran makanan.

 

Aku tahu, rumah itu

adalah tempat ternyaman.

Namun ruangku ini

hanya menyisakan tanya:

di mana tempat tidurku?

 

Aku ingin tidur,

tanpa perlu tahu

makna sebuah rumah.

 

Serpih dan Ingatan

 

Menafsirkan arsiran luka

Yang bermula dari tubuhku

Lalu merambat ke hidupku

 

Merakit sepihan cermin

Meski tajam, menyayat diam

Tetap kurapikan serpihnya

Untuk kupetik makna dari retaknya

 

Serpihan itu menggambar ulang

Setiap bingkai kehidupanku

Yang kulalui dalam diam berdarah

 

Dan aku teringat —

Otakku membengkak

Oleh sejarah yang berjejak di ubun-ubun

 

 Delusi dalam Diam"

 

Diamku mengangkat akar nyawaku

Dari tubuhku yang berbaring lemah

 

Melihat aku terbaring

Membuat air mataku

Mengalir ke dalam ilusi

Suara hujan berpuisi

Untuk merayakan delusi

Yang kubuat sehingga aku terdampar

Di dalam tidurku

 

Tidak ada kehidupan di tubuhku

Karena sudah tercabut

Oleh diamku, kehampaanku

 

 Sebelum adzan subuh

 

Sebelum Adzan Subuh

Mata penuh kekosongan

Aku menghayati tanganku

Nadipun menungguku untuk diiris halus

 

Dari aku yang bodoh

Melihat tanganku

Selayaknya santapan manis

Untuk kujadikan memuaskan penderitaanku

 

Aku muak dengan semua ini

Aku lelah dengan detak nadiku

Sampai kapan aku mendengar nadiku menjerit

Maka lebih baik aku matikan saja

 

Lebih Baik Meninggal

 

Hahahaha...

Lebih baik meninggal

Dengan tertawa seperti itu,

Dengan suara yang pecah,

Hahahaha…

Untuk diriku sendiri,

Yang tak pernah tahu bagaimana cara berhenti.

 

Hanya tawa yang tersisa,

Dari jiwa yang kosong ini.

Tertawa untuk menghapus semua yang tak terucapkan,

Tertawa agar tak ada yang tahu

Betapa sunyinya dunia yang kutinggalkan.

Hahahaha…

Dan biarkan itu menjadi kata terakhirku.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Negeri yang Demam oleh Amarah

  Stres berkepanjangan membuat saya terus bertanya pada diri sendiri, mengapa kepala saya dipenuhi masalah dan ketakutan yang menghantui. Lemas dan letih rasanya menghadapi keadaan ini, apalagi melihat situasi yang genting. Kerusuhan dalam diri tak lagi bisa dibendung, penjara ketakutan telah merampas kebahagiaan saya. Ruang-ruang batin pun berantakan setelah hati dan pikiran saya dijarah oleh rasa takut. Berita televisi dan media sosial dipenuhi kecemasan. Kota terasa semakin tercekam oleh massa yang menyampaikan aspirasi kepada mereka yang duduk nyaman di kursi kekuasaan. Emosi membara, kemarahan muncul karena rakyat diremehkan oleh salah satu wakilnya yang seharusnya mewakili suara banyak orang. Massa aksi selayaknya semut-semut kecil, bergerombol lalu bubar ke segala arah tanpa tahu jalan pulang. Mereka berdiri berjam-jam hanya untuk mendengarkan teriakan sekawannya. Namun, tidak semua yang berkerumun murni menyuarakan aspirasi, ada provokator yang membuat keadaan semakin mence...

THR: Dari Mogok Buruh ke Proposal THR

  Bulan Ramadhan telah berakhir, dan saya merasa cukup senang menyambut hari Lebaran. Hari yang penuh kebersamaan itu akhirnya tiba, dan saya tidak sabar menunggu THR. Namun, saya sadar bahwa saya sudah bukan anak sekolah lagi, sekarang saya adalah seorang mahasiswa. Kata saudara saya, anak kuliah justru memiliki lebih banyak kebutuhan dibandingkan anak kecil atau anak sekolah. Tahun lalu saya masih mendapatkan THR, tetapi tahun ini saya tidak tahu apakah masih akan mendapatkannya. Saya butuh uang untuk membeli PDH Belistra dan himpunan, agar bisa segera melunasinya. Saya melihat para pekerja mendapatkan tunjangan hari raya berupa uang atau sembako, termasuk ayah saya. Tahu tidak kalau THR ini di tahun 1953 dulunya disebut Hadiah Lebaran atau Persekot Hari Raya? Saat itu, pemberian tersebut bersifat sukarela dari majikan sebagai bentuk kepedulian sosial. Pada tahun 1950-an, para buruh hidup dalam kondisi yang memprihatinkan, dengan penghasilan yang bahkan tidak cukup untuk membeli ...

Semua Sudah Diatur, Tidak Perlu Dipikirkan

 Semua Sudah Diatur, Tidak Perlu Dipikirkan   Malam yang sunyi, saya kembali menulis. Kali ini, saya menulis tentang permasalahan kehidupan saya. Masalah hidup saya sama seperti masalah negeri ini. Dari ujung barat sampai timur, negeri ini dipenuhi oleh kicauan mahasiswa yang berteriak menuntut keadilan. Begitu pula saya, yang terus berteriak kepada hati saya sendiri, merasa bersalah atas perbuatan yang telah berlalu.   Iya, memang saya selalu menyesali setiap tindakan yang sudah terjadi. Namun, saya berpikir bahwa Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyesal ketika membuat UU TNI, yang kini membuat gaduh narasi di media sosial. Kerusuhan terjadi di mana-mana karena naskah yang dibuat terburu-buru. Saya tidak tahu apakah naskah itu benar-benar disusun berdasarkan proses demokrasi.   Saya mendukung undang-undang ini karena saya percaya bahwa undang-undang itu tidak akan merugikan rakyat, justru menguntungkan mereka. Namun, saya juga meragukan kemampuan seseor...