Langsung ke konten utama

Suara diam kepalaku


By Rafif Abbas Pradana

Gemuruh hujan menemani hati yang telah lelah memikul beban yang tak pernah usai. Suara petir menyambar, menggetarkan jendela kamar dan dadaku yang sudah rapuh. Sekali-dua kali aku memejamkan mata, berharap hujan membawa tidur yang tenang, namun justru air mata yang mengalir lebih deras dari langit.
Itulah keadaanku, seorang anak yang ditinggal kedua orang tuanya dengan cara yang tak pernah kuinginkan.

Lukisan rumahku di sudut dekat lemari, yang pernah dibuat ibuku sebelum semuanya hancur, kini seperti menatapku dalam diam. Mata di dalam lukisan itu seolah berbicara dan menyuruhku untuk tetap berdoa. Namun, untuk siapa lagi doa itu kukirim? Apakah doa bisa menembus ruang surga dan menemukan mereka yang mati karena amarahnya sendiri? Aku tak tahu. Yang kutahu hanyalah: aku kecewa pada mereka.
Mereka bukan orang tua yang dewasa, bukan yang menuntunku, melainkan meninggalkanku dalam darah dan trauma.

Kata-kata mereka dulu masih bergaung di telingaku dengan kata-kata kasar, bentakan, dan teriakan yang saling bersahutan seperti perang tanpa jeda. Dan saat kata-kata tak lagi cukup, benda-benda di rumah ikut beterbangan. Piring pecah, vas bunga jatuh, meja terbalik.
Sampai akhirnya hari itu datang. Hari di mana semuanya berakhir dengan darah.

Bapakku memegang golok, ibuku menggenggam pisau dapur. Aku yang kecil hanya bisa berteriak, memohon agar mereka berhenti. Namun cinta yang dulu pernah menyatukan mereka kini telah membusuk menjadi kebencian yang menyesakkan dada. Dalam satu gerak, keduanya saling menusuk di dada, di hati, di kehidupan anaknya. Darah muncrat di lantai, merahnya menodai putih dinding rumahku. Dunia berhenti berputar. Aku hanya bisa memandangi tubuh mereka yang perlahan rebah, saling berpelukan dalam kematian, seakan menyesali semua yang telah terjadi.

Kini, ruang-ruang rumahku kosong. Sepi dan dingin.
Bibiku bekerja hingga larut malam, meninggalkanku dengan bayang-bayang masa lalu. Kadang aku masih mendengar suara langkah mereka di lorong, bisikan marah di balik pintu, atau tangisan ibu di dapur. Aku tahu itu hanya suara di kepalaku, tapi nyatanya suara itu lebih nyata daripada keheningan.
Aku lelah. Lelah dari hidup yang tak pernah tersenyum.

Namaku Gusti, seorang remaja yang tumbuh dari luka masa kecil. Hidupku dipenuhi trauma yang tak sembuh, tapi teman-temanku selalu mencoba menolongku. Mereka bilang, aku kuat. Padahal mereka tak tahu, setiap malam aku berbicara dengan arwah masa lalu.

Pagi itu, sinar matahari menyapa lembut. Hari Sabtu, hari libur sekolah. Aku memutuskan pergi ke pantai bersama Bima, sahabatku sejak kecil. Katanya, udara pantai bisa membuatku tenang, bisa menyembuhkan luka yang tak terlihat.
Kami menaiki motor tuanya, angin laut mulai terasa sejak di jalanan desa. Di sana, aku ingin berlari menjauh dari rumah, dari darah, dari kenangan.

Sesampainya di pantai, suara ombak menyambut dengan panggilan yang aneh, seperti seseorang yang mengenalku. Aku duduk di pasir, menatap birunya laut yang tampak tenang, tapi dalam diam menyembunyikan badai.
“Gusti, akhirnya kau bisa tersenyum juga,” kata Bima sambil melempar batu kecil ke air.
Aku mengangguk, mencoba membalas senyumnya. Tapi dalam hatiku, suara-suara itu mulai datang lagi.
“Gusti…” suara itu lirih. “Nak, sini… kami minta maaf.”

Aku menoleh ke kanan dan kiri. Tak ada siapa-siapa. Hanya deburan ombak dan teriakan camar. Namun, semakin lama suara itu makin jelas. “Gusti, pilih siapa… Bapak atau Ibu?”
Suara itu berulang, seperti gema neraka yang menggetarkan tulang. Aku memegang kepala, menutup telinga, tapi suaranya tak berhenti.
“Berhenti! Berhenti!!” teriakku. Tapi tidak ada yang berhenti.

Aku berjalan ke arah ombak, langkahku gemetar tapi terus maju. Air laut menyentuh kakiku, lalu lututku, lalu pinggangku.
Bima yang saat itu pergi membeli makanan tak tahu bahwa aku sedang menuju laut bukan untuk bermain, tapi untuk mencari mereka. dua sosok yang kutakuti dan kurindukan sekaligus.

Suara-suara itu makin keras, menggema dari dalam kepala:
“Kau tak bisa lari, Gusti… kami selalu di sini.”
Air mata menetes bercampur air laut.
“Kalau begitu, biarlah aku tenggelam bersama kalian,” bisikku pelan.

Ombak besar datang tiba-tiba. Tubuhku terhempas, dunia menjadi gelap dan dingin. Aku merasakan air memenuhi paru-paruku, tapi anehnya aku tenang. Seolah aku kembali ke pelukan yang dulu kurindukan.
Namun suara lain berteriak jauh di luar sana, suara Bima.
“Gusti! Gusti!!”

Dia berlari, panik, melihat tubuhku yang menghilang di antara ombak. Orang-orang mulai berkerumun, sebagian ikut menyelam, sebagian memanggil penjaga pantai. Hingga akhirnya tubuhku ditemukan. pucat, dingin, tak bergerak.
Bima mengguncang bahuku sambil menangis.
“Bangun, Gusti… jangan tinggalin aku!”
Beberapa orang mencoba memberi pertolongan pertama. Napasku tersengal, detak jantung pelan, tapi nyawaku belum sepenuhnya pergi.

Di ruang rumah sakit, aku terbaring. Tubuhku masih hidup, tapi pikiranku berada di tempat lain. Dalam ruang gelap, aku melihat mereka lagi, ayah dan ibuku. Wajah mereka penuh luka, darah masih mengalir di dada.
“Aku benci kalian,” ucapku.
Namun suara ibuku menjawab, “Kau benci kami karena kau mencintai kami, nak.”
Aku menjerit, menutup telinga, tapi suara itu tak berhenti.
“Bapakmu tak bermaksud begitu… kami lelah, kami manusia yang kalah.”

Aku menunduk. Air mata tak berhenti. “Kalian menghancurkan hidupku…”
Ibuku tersenyum samar, “Tapi kini kaulah yang bisa memperbaikinya.”

Aku terbangun tiba-tiba, napasku terengah. Bima di sampingku menatap dengan mata berkaca.
“Gusti, kau sadar?” katanya pelan.
Aku menatapnya lama. “Bima… aku takut.”
Bima menggenggam tanganku. “Tak apa, kau sudah kembali.”

Kami terdiam lama, hanya suara detak jam yang terdengar. Di luar jendela, matahari senja sedang tenggelam perlahan, mewarnai langit dengan oranye yang indah.
Aku menatap langit itu dan tersenyum lemah. “Bim, kau tahu? Aku dulu membenci senja… karena warnanya mirip darah. Tapi sekarang, aku rasa senja juga bisa jadi tanda harapan.”
Bima hanya tersenyum, menatap ombak di kejauhan yang masih bergulung lembut.

Hari itu, aku menyadari sesuatu:
Hidup tidak akan pernah berhenti menyakitimu, tapi juga tak akan berhenti memberi kesempatan untuk sembuh.
Aku mungkin tak bisa melupakan masa laluku, tapi aku bisa belajar berdamai dengannya.

Matahari benar-benar tenggelam, meninggalkan pantulan cahaya terakhir di laut. Aku menatapnya lama dan berbisik pelan:

“Ayah, Ibu… aku sudah memaafkan. Kini biarlah kalian tenang, dan biarlah aku hidup.”

Dan untuk pertama kalinya, dalam waktu yang lama, Gusti tersenyum.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Negeri yang Demam oleh Amarah

  Stres berkepanjangan membuat saya terus bertanya pada diri sendiri, mengapa kepala saya dipenuhi masalah dan ketakutan yang menghantui. Lemas dan letih rasanya menghadapi keadaan ini, apalagi melihat situasi yang genting. Kerusuhan dalam diri tak lagi bisa dibendung, penjara ketakutan telah merampas kebahagiaan saya. Ruang-ruang batin pun berantakan setelah hati dan pikiran saya dijarah oleh rasa takut. Berita televisi dan media sosial dipenuhi kecemasan. Kota terasa semakin tercekam oleh massa yang menyampaikan aspirasi kepada mereka yang duduk nyaman di kursi kekuasaan. Emosi membara, kemarahan muncul karena rakyat diremehkan oleh salah satu wakilnya yang seharusnya mewakili suara banyak orang. Massa aksi selayaknya semut-semut kecil, bergerombol lalu bubar ke segala arah tanpa tahu jalan pulang. Mereka berdiri berjam-jam hanya untuk mendengarkan teriakan sekawannya. Namun, tidak semua yang berkerumun murni menyuarakan aspirasi, ada provokator yang membuat keadaan semakin mence...

THR: Dari Mogok Buruh ke Proposal THR

  Bulan Ramadhan telah berakhir, dan saya merasa cukup senang menyambut hari Lebaran. Hari yang penuh kebersamaan itu akhirnya tiba, dan saya tidak sabar menunggu THR. Namun, saya sadar bahwa saya sudah bukan anak sekolah lagi, sekarang saya adalah seorang mahasiswa. Kata saudara saya, anak kuliah justru memiliki lebih banyak kebutuhan dibandingkan anak kecil atau anak sekolah. Tahun lalu saya masih mendapatkan THR, tetapi tahun ini saya tidak tahu apakah masih akan mendapatkannya. Saya butuh uang untuk membeli PDH Belistra dan himpunan, agar bisa segera melunasinya. Saya melihat para pekerja mendapatkan tunjangan hari raya berupa uang atau sembako, termasuk ayah saya. Tahu tidak kalau THR ini di tahun 1953 dulunya disebut Hadiah Lebaran atau Persekot Hari Raya? Saat itu, pemberian tersebut bersifat sukarela dari majikan sebagai bentuk kepedulian sosial. Pada tahun 1950-an, para buruh hidup dalam kondisi yang memprihatinkan, dengan penghasilan yang bahkan tidak cukup untuk membeli ...

Semua Sudah Diatur, Tidak Perlu Dipikirkan

 Semua Sudah Diatur, Tidak Perlu Dipikirkan   Malam yang sunyi, saya kembali menulis. Kali ini, saya menulis tentang permasalahan kehidupan saya. Masalah hidup saya sama seperti masalah negeri ini. Dari ujung barat sampai timur, negeri ini dipenuhi oleh kicauan mahasiswa yang berteriak menuntut keadilan. Begitu pula saya, yang terus berteriak kepada hati saya sendiri, merasa bersalah atas perbuatan yang telah berlalu.   Iya, memang saya selalu menyesali setiap tindakan yang sudah terjadi. Namun, saya berpikir bahwa Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyesal ketika membuat UU TNI, yang kini membuat gaduh narasi di media sosial. Kerusuhan terjadi di mana-mana karena naskah yang dibuat terburu-buru. Saya tidak tahu apakah naskah itu benar-benar disusun berdasarkan proses demokrasi.   Saya mendukung undang-undang ini karena saya percaya bahwa undang-undang itu tidak akan merugikan rakyat, justru menguntungkan mereka. Namun, saya juga meragukan kemampuan seseor...