Gemuruh hujan menemani hati yang telah lelah memikul beban
yang tak pernah usai. Suara petir menyambar, menggetarkan jendela kamar dan
dadaku yang sudah rapuh. Sekali-dua kali aku memejamkan mata, berharap hujan
membawa tidur yang tenang, namun justru air mata yang mengalir lebih deras dari
langit.
Itulah keadaanku, seorang anak yang ditinggal kedua orang tuanya dengan cara
yang tak pernah kuinginkan.
Lukisan rumahku di sudut dekat lemari, yang pernah dibuat
ibuku sebelum semuanya hancur, kini seperti menatapku dalam diam. Mata di dalam
lukisan itu seolah berbicara dan menyuruhku untuk tetap berdoa. Namun, untuk
siapa lagi doa itu kukirim? Apakah doa bisa menembus ruang surga dan menemukan
mereka yang mati karena amarahnya sendiri? Aku tak tahu. Yang kutahu hanyalah:
aku kecewa pada mereka.
Mereka bukan orang tua yang dewasa, bukan yang menuntunku, melainkan
meninggalkanku dalam darah dan trauma.
Kata-kata mereka dulu masih bergaung di telingaku dengan kata-kata
kasar, bentakan, dan teriakan yang saling bersahutan seperti perang tanpa jeda.
Dan saat kata-kata tak lagi cukup, benda-benda di rumah ikut beterbangan.
Piring pecah, vas bunga jatuh, meja terbalik.
Sampai akhirnya hari itu datang. Hari di mana semuanya berakhir dengan darah.
Bapakku memegang golok, ibuku menggenggam pisau dapur. Aku
yang kecil hanya bisa berteriak, memohon agar mereka berhenti. Namun cinta yang
dulu pernah menyatukan mereka kini telah membusuk menjadi kebencian yang
menyesakkan dada. Dalam satu gerak, keduanya saling menusuk di dada, di hati,
di kehidupan anaknya. Darah muncrat di lantai, merahnya menodai putih dinding
rumahku. Dunia berhenti berputar. Aku hanya bisa memandangi tubuh mereka yang
perlahan rebah, saling berpelukan dalam kematian, seakan menyesali semua yang
telah terjadi.
Kini, ruang-ruang rumahku kosong. Sepi dan dingin.
Bibiku bekerja hingga larut malam, meninggalkanku dengan bayang-bayang masa
lalu. Kadang aku masih mendengar suara langkah mereka di lorong, bisikan marah
di balik pintu, atau tangisan ibu di dapur. Aku tahu itu hanya suara di
kepalaku, tapi nyatanya suara itu lebih nyata daripada keheningan.
Aku lelah. Lelah dari hidup yang tak pernah tersenyum.
Namaku Gusti, seorang remaja yang tumbuh dari luka
masa kecil. Hidupku dipenuhi trauma yang tak sembuh, tapi teman-temanku selalu
mencoba menolongku. Mereka bilang, aku kuat. Padahal mereka tak tahu, setiap
malam aku berbicara dengan arwah masa lalu.
Pagi itu, sinar matahari menyapa lembut. Hari Sabtu, hari
libur sekolah. Aku memutuskan pergi ke pantai bersama Bima, sahabatku
sejak kecil. Katanya, udara pantai bisa membuatku tenang, bisa menyembuhkan
luka yang tak terlihat.
Kami menaiki motor tuanya, angin laut mulai terasa sejak di jalanan desa. Di
sana, aku ingin berlari menjauh dari rumah, dari darah, dari kenangan.
Sesampainya di pantai, suara ombak menyambut dengan
panggilan yang aneh, seperti seseorang yang mengenalku. Aku duduk di pasir,
menatap birunya laut yang tampak tenang, tapi dalam diam menyembunyikan badai.
“Gusti, akhirnya kau bisa tersenyum juga,” kata Bima sambil melempar batu kecil
ke air.
Aku mengangguk, mencoba membalas senyumnya. Tapi dalam hatiku, suara-suara itu
mulai datang lagi.
“Gusti…” suara itu lirih. “Nak, sini… kami minta maaf.”
Aku menoleh ke kanan dan kiri. Tak ada siapa-siapa. Hanya
deburan ombak dan teriakan camar. Namun, semakin lama suara itu makin jelas.
“Gusti, pilih siapa… Bapak atau Ibu?”
Suara itu berulang, seperti gema neraka yang menggetarkan tulang. Aku memegang
kepala, menutup telinga, tapi suaranya tak berhenti.
“Berhenti! Berhenti!!” teriakku. Tapi tidak ada yang berhenti.
Aku berjalan ke arah ombak, langkahku gemetar tapi terus
maju. Air laut menyentuh kakiku, lalu lututku, lalu pinggangku.
Bima yang saat itu pergi membeli makanan tak tahu bahwa aku sedang menuju laut
bukan untuk bermain, tapi untuk mencari mereka. dua sosok yang kutakuti dan
kurindukan sekaligus.
Suara-suara itu makin keras, menggema dari dalam kepala:
“Kau tak bisa lari, Gusti… kami selalu di sini.”
Air mata menetes bercampur air laut.
“Kalau begitu, biarlah aku tenggelam bersama kalian,” bisikku pelan.
Ombak besar datang tiba-tiba. Tubuhku terhempas, dunia
menjadi gelap dan dingin. Aku merasakan air memenuhi paru-paruku, tapi anehnya
aku tenang. Seolah aku kembali ke pelukan yang dulu kurindukan.
Namun suara lain berteriak jauh di luar sana, suara Bima.
“Gusti! Gusti!!”
Dia berlari, panik, melihat tubuhku yang menghilang di
antara ombak. Orang-orang mulai berkerumun, sebagian ikut menyelam, sebagian
memanggil penjaga pantai. Hingga akhirnya tubuhku ditemukan. pucat, dingin, tak
bergerak.
Bima mengguncang bahuku sambil menangis.
“Bangun, Gusti… jangan tinggalin aku!”
Beberapa orang mencoba memberi pertolongan pertama. Napasku tersengal, detak
jantung pelan, tapi nyawaku belum sepenuhnya pergi.
Di ruang rumah sakit, aku terbaring. Tubuhku masih hidup,
tapi pikiranku berada di tempat lain. Dalam ruang gelap, aku melihat mereka
lagi, ayah dan ibuku. Wajah mereka penuh luka, darah masih mengalir di dada.
“Aku benci kalian,” ucapku.
Namun suara ibuku menjawab, “Kau benci kami karena kau mencintai kami, nak.”
Aku menjerit, menutup telinga, tapi suara itu tak berhenti.
“Bapakmu tak bermaksud begitu… kami lelah, kami manusia yang kalah.”
Aku menunduk. Air mata tak berhenti. “Kalian menghancurkan
hidupku…”
Ibuku tersenyum samar, “Tapi kini kaulah yang bisa memperbaikinya.”
Aku terbangun tiba-tiba, napasku terengah. Bima di sampingku
menatap dengan mata berkaca.
“Gusti, kau sadar?” katanya pelan.
Aku menatapnya lama. “Bima… aku takut.”
Bima menggenggam tanganku. “Tak apa, kau sudah kembali.”
Kami terdiam lama, hanya suara detak jam yang terdengar. Di
luar jendela, matahari senja sedang tenggelam perlahan, mewarnai langit dengan
oranye yang indah.
Aku menatap langit itu dan tersenyum lemah. “Bim, kau tahu? Aku dulu membenci
senja… karena warnanya mirip darah. Tapi sekarang, aku rasa senja juga bisa
jadi tanda harapan.”
Bima hanya tersenyum, menatap ombak di kejauhan yang masih bergulung lembut.
Hari itu, aku menyadari sesuatu:
Hidup tidak akan pernah berhenti menyakitimu, tapi juga tak akan berhenti
memberi kesempatan untuk sembuh.
Aku mungkin tak bisa melupakan masa laluku, tapi aku bisa belajar berdamai
dengannya.
Matahari benar-benar tenggelam, meninggalkan pantulan cahaya
terakhir di laut. Aku menatapnya lama dan berbisik pelan:
“Ayah, Ibu… aku sudah memaafkan. Kini biarlah kalian tenang,
dan biarlah aku hidup.”
Dan untuk pertama kalinya, dalam waktu yang lama, Gusti
tersenyum.
.png)
Baguuusss, sukaaa. Keep writing, hwaiting 💪🏻
BalasHapusKerenn abbas
BalasHapus