Langsung ke konten utama

15 Menit Menulis Esai dalam 1000 Kata

 


Hari ini saya dikejutkan berita tentang kerusakan lingkungan yang makin luas. Kerusakan itu terjadi karena abainya pemerintah dan masyarakat terhadap bumi yang seharusnya dijaga bersama. Lingkungan yang rusak bisa membuat pola pikir manusia juga rusak. Di masa sekarang, lingkungan kita, bumi Indonesia, sedang bermasalah. Dari keluarga yang mandek sampai banyak korupsi. Sebelum jauh membahas, saya ingin bertanya, yang kita bicarakan ini lingkungan sosial atau alam. Lagi-lagi keduanya cuma beda tipis.

Era globalisasi yang katanya serba cepat penuh janji manis, terus dilontarkan dalam bait-bait setiap detiknya di layar televisi dan smartphone. Banyak yang merasa dirugikan dari kerusakan lingkungan ini. Ada kelompok yang dihina karena hutan adat mereka rusak secara brutal. Alih-alih janji lapangan kerja 19 juta itu, yang katanya akan dibangun tambang dan sawit, tapi yang terlihat malah sebaliknya. Janji tinggal janji, protes terus terjadi sampai sekarang dan belum selesai.

Kalau alam punya hati dan nurani, mungkin dia sudah lama meronta kesakitan. Kalau benar begitu, mungkin alam sudah berkompromi dengan sosial untuk mengacaukan urusan manusia terutama urusan orang-orang kelas atas. Tapi saya tidak setuju kalau alam dan sosial saling balas. Karena semua manusia dari kelas mana pun berhak hidup tanpa gangguan.

Sebenarnya saya menulis ini hanya untuk latihan cepat. Menulis dalam 15 menit untuk seribu kata. Bukan seribu pohon yang saya tebang lewat tulisan ini, bukan satu hari saya membakar hutan, tapi saya menulis untuk mengundang orang berpikir ulang tentang membakar dan menebang pohon. Buat apa juga pohon berdiri katanya hanya mengesakkan bumi ini. Tapi kalau ada yang bilang pohon menghasilkan oksigen, saya ingat bahwa di laut sana plankton yang banyak menghasilkan oksigen. Jadi walau pohon ditebang, manusia masih bisa bernapas walau sesak dan kekurangan uang bukan napas.

Napas yang sesak karena udara tidak bersih lagi. Tidak ada yang menyaring kata-kata kotor. Paru-paru terasa sakit, bukan cuma karena polusi tapi juga karena ucapan pejabat publik yang bilang rakyat tidak perlu ikut urusan negara. Katanya biarkan mereka yang bekerja di pantai politik menjaga negara. Saya merasa kerusakan lingkungan juga karena saya sendiri yang menulis ini. Mungkin bukan pejabat sana yang salah. Mungkin alam sendiri yang sudah tua dan butuh pengobatan serius.

Kata aktivis lingkungan bumi adalah rumah kita. Saya sedikit setuju. Tapi saya juga bilang bumi itu datar karena dari pandangan saya saat melihat sampah dibakar tidak ada lengkungan terlihat. Itu lelucon tapi juga sindiran.

Bumi datar atau bulat itu urusan para ahli sastra. Mereka yang harus membenahi kosa kata yang salah. Katanya kalau mau terkenal harus go green. Bahasa Inggris banget. Padahal banyak bahasa daerah dan Indonesia. Tapi pemerintah lebih nyaman dengan kata itu biar terdengar internasional, biar diakui dunia bahwa Indonesia ikut menjaga karbon.

Karbon yang sering kita keluarkan itu jumlahnya tinggi. Menurut penelitian saya sendiri, karbon naik karena jumlah manusia juga banyak. Tapi bukan berarti kebakaran hutan atau alih fungsi lahan bisa dibiarkan. Yang perlu ditanyakan bagaimana manusia bisa membuang karbon dengan benar. Misalnya buanglah di tempat sampah supaya tidak menambah beban karbon di udara.

Pemanasan global yang panas dan terik ini jadi sumbangsih dari karbon. Kadang saya bangga karena tidak perlu kompor untuk masak telur di siang hari. Tapi bagaimana karbon bisa membuat pemanasan global. Sederhananya seperti rumah kaca. Lapisan karbon di langit memantulkan panas dan menahannya supaya tidak keluar. Maka panas berputar di antara kita membuat bumi gerah.

Langit seperti kaca yang tidak pecah, memantulkan cahaya dan asap dari pabrik. Asap bukan berasal dari Sunda karena kalau dari Sunda disebut asep. Tidak elok juga kalau asep disalahkan karena merusak udara Jakarta.

Kualitas udara di Jakarta memang tidak baik-baik saja. Saya setuju dengan perkataan Pak Anies waktu debat bahwa udara tak punya KTP. Kalau udara punya KTP mungkin tidak akan ada lagi saling menyalahkan siapa yang paling salah.

Saya sering duduk sambil minum kopi melihat isu lingkungan tidak pernah lepas dari urusan kekuasaan. Mereka yang di atas sibuk soal jabatan tapi lupa bumi di bawahnya retak pelan. Alam terus marah. Banjir, gempa, tsunami, tanah longsor. Tapi saya juga marah terutama pada banjir karena saya sendiri terkena imbasnya.

Catatan statistik menunjukkan kualitas udara kita sudah di angka merah. Merah bukan warna politik tapi tanda darurat. Kalau bumi dilihat dari angkasa polusi tidak terlihat. Tapi dari bawah ke atas kita bisa lihat langit gelap bukan karena hujan tapi kabut kotor. Kalau difoto gedung-gedung hilang di balik abu.

Mungkin itu tanda bahwa menulis statistik setiap hari penting supaya kita tahu kapan udara mulai beracun supaya foto gedung bisa kembali jelas.

Saya lelah menulis seribu kata. Semoga seribu kata ini bisa menumbuhkan seribu pohon dan seribu orang yang mau membuang sampah di tempatnya dan seribu KTP untuk udara. Semoga seratus kata terakhir ini bisa menumbuhkan rasa cinta lagi pada alam yang selama ini dijadikan anak tiri. Semoga sosial sebagai anak kandung juga tidak dibiarkan kabur begitu saja. Semoga Seribu kata cukup untuk menghentikan tulisan ini.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Negeri yang Demam oleh Amarah

  Stres berkepanjangan membuat saya terus bertanya pada diri sendiri, mengapa kepala saya dipenuhi masalah dan ketakutan yang menghantui. Lemas dan letih rasanya menghadapi keadaan ini, apalagi melihat situasi yang genting. Kerusuhan dalam diri tak lagi bisa dibendung, penjara ketakutan telah merampas kebahagiaan saya. Ruang-ruang batin pun berantakan setelah hati dan pikiran saya dijarah oleh rasa takut. Berita televisi dan media sosial dipenuhi kecemasan. Kota terasa semakin tercekam oleh massa yang menyampaikan aspirasi kepada mereka yang duduk nyaman di kursi kekuasaan. Emosi membara, kemarahan muncul karena rakyat diremehkan oleh salah satu wakilnya yang seharusnya mewakili suara banyak orang. Massa aksi selayaknya semut-semut kecil, bergerombol lalu bubar ke segala arah tanpa tahu jalan pulang. Mereka berdiri berjam-jam hanya untuk mendengarkan teriakan sekawannya. Namun, tidak semua yang berkerumun murni menyuarakan aspirasi, ada provokator yang membuat keadaan semakin mence...

THR: Dari Mogok Buruh ke Proposal THR

  Bulan Ramadhan telah berakhir, dan saya merasa cukup senang menyambut hari Lebaran. Hari yang penuh kebersamaan itu akhirnya tiba, dan saya tidak sabar menunggu THR. Namun, saya sadar bahwa saya sudah bukan anak sekolah lagi, sekarang saya adalah seorang mahasiswa. Kata saudara saya, anak kuliah justru memiliki lebih banyak kebutuhan dibandingkan anak kecil atau anak sekolah. Tahun lalu saya masih mendapatkan THR, tetapi tahun ini saya tidak tahu apakah masih akan mendapatkannya. Saya butuh uang untuk membeli PDH Belistra dan himpunan, agar bisa segera melunasinya. Saya melihat para pekerja mendapatkan tunjangan hari raya berupa uang atau sembako, termasuk ayah saya. Tahu tidak kalau THR ini di tahun 1953 dulunya disebut Hadiah Lebaran atau Persekot Hari Raya? Saat itu, pemberian tersebut bersifat sukarela dari majikan sebagai bentuk kepedulian sosial. Pada tahun 1950-an, para buruh hidup dalam kondisi yang memprihatinkan, dengan penghasilan yang bahkan tidak cukup untuk membeli ...

Semua Sudah Diatur, Tidak Perlu Dipikirkan

 Semua Sudah Diatur, Tidak Perlu Dipikirkan   Malam yang sunyi, saya kembali menulis. Kali ini, saya menulis tentang permasalahan kehidupan saya. Masalah hidup saya sama seperti masalah negeri ini. Dari ujung barat sampai timur, negeri ini dipenuhi oleh kicauan mahasiswa yang berteriak menuntut keadilan. Begitu pula saya, yang terus berteriak kepada hati saya sendiri, merasa bersalah atas perbuatan yang telah berlalu.   Iya, memang saya selalu menyesali setiap tindakan yang sudah terjadi. Namun, saya berpikir bahwa Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyesal ketika membuat UU TNI, yang kini membuat gaduh narasi di media sosial. Kerusuhan terjadi di mana-mana karena naskah yang dibuat terburu-buru. Saya tidak tahu apakah naskah itu benar-benar disusun berdasarkan proses demokrasi.   Saya mendukung undang-undang ini karena saya percaya bahwa undang-undang itu tidak akan merugikan rakyat, justru menguntungkan mereka. Namun, saya juga meragukan kemampuan seseor...