Saya waktu SD kelas 2, saya merupakan orang yang ingin tahu tentang segala hal walau tidak tahu kelanjutannya. Saya ingin cerita ketika saya menjadi duta. Saat itu ruang kelas ramai dengan riuh bising. Tiba-tiba guru datang dari pintu, kirain wali kelas yang datang, tapi ternyata guru Bahasa Inggris. Beliau datang membawa kabar pengumuman pencarian duta. Saat itu juga hati saya berdetak-detak, penuh semangat, saya angkat tangan ketika disuruh angkat tangan. Waktu itu beberapa orang juga ikut angkat tangan bersama saya. Guru itu senyum-senyum, dan melanjutkan maksud dari duta itu. Guru mengatakan bahwa yang mengangkat tangan akan menjadi duta kebersihan. Di situ para siswa kaget berat, tidak percaya, karena dikira bakal jadi duta seperti pada umumnya.
Keesokan harinya, bersama teman-teman yang angkat tangan,
kami naik angkot bersama guru, yaitu Pak Yoyon. Beliau orangnya tegas. Kami
dibawa ke alun-alun kota Bekasi. Saat sampai di sana, saya kira ada seleksi
duta, tapi ternyata tidak. Duta-duta dari berbagai sekolah se-Kota Bekasi
dikumpulkan untuk jadi bagian dari program duta kebersihan. Saya kurang
mendengar sosialisasinya karena suaranya gak jelas, jadinya saya malah sibuk
bercanda sama teman-teman, sampai dimarahi guru karena gak dengar penjelasan dari
pemateri waktu itu.
Akhir kegiatan, guru menjelaskan bahwa kami sebagai duta
kebersihan harus menjaga dan mengajak teman-teman untuk selalu menjaga
kebersihan. Kami juga disuruh mengajak teman-teman lain jadi duta kebersihan.
Niat guru itu bagus, supaya semua murid bisa jadi duta kebersihan agar sekolah
selalu bersih. Melihat itu, saya paham kenapa duta kebersihan dihadirkan waktu
itu. Terlebih lagi, Kota Bekasi memang punya permasalahan sampah terbesar di
Indonesia, yaitu Bantar Gebang. Tempat itu sudah kayak bukit, kadang diberitakan
longsor. Banyak juga sampah di kali-kali Bekasi, jadi gak heran kalau kota
Bekasi sering banjir.
Banjir sudah jadi kabar yang biasa didengar masyarakat. Saya
waktu kecil malah senang kalau banjir karena bisa main air. Tapi saya juga
sering dengar berita kalau masyarakat suka buang sampah ke sungai dan abai sama
sampahnya sendiri. Saya sedih melihat itu. Saya bingung kenapa air selalu
disalahkan, padahal air sering diganggu sama bangunan-bangunan yang nutup
resapan air dan sampah-sampah yang nyumbat aliran air. Tapi sebagian masyarakat
belum sadar sama masalah ini. Yang penting bisa makan enak, bisa buang sampah
di mana aja, sesuai egonya. Tapi saya bisa maklum juga, karena masyarakat
sekarang hidupnya serba cepat, seperti HP yang nyebarin informasi terus. Tapi
soal informasi juga, sekarang banyak berita-berita sampah yang tersebar ke
mana-mana.
Hal ini bikin pejabat geram, makanya pemerintah bikin
program duta anak buat ngedukasi anak-anak agar menjaga lingkungannya. Tapi
lingkungan sekarang udah tercemar, bukan cuma oleh sampah, tapi juga
pikiran-pikiran manusia yang kebanyakan dipengaruhi globalisasi. Alam dipaksa
buat nahan laju pembangunan yang cepat, banyak industri, perumahan, yang bikin
sumpek tata ruang kota. Kalau kita lihat dari kacamata sejarah, atau akar
history-nya, dari tahun 1990-an bahkan sebelumnya, manusia udah mulai menggusur
sawah dan rawa buat perumahan. Manusia berusaha melawan air, padahal air itu
dasarnya mengalir, gak mau diam, keras kepala, dan kalau ditahan terus, bisa
memberontak. Air bisa melakukan revolusi alam, menghentikan aktivitas manusia.
Saya dulu waktu jadi duta kebersihan, lama-lama merasa putus
asa karena teman-teman gak mau ikut jadi duta. Banyak yang abai sama amanat
guru buat jaga kebersihan. Saya juga bingung waktu itu, mau lanjut juga rasanya
percuma. Tapi jujur aja, rasanya enak buang sampah sembarangan karena tinggal
buang aja, gak perlu jalan jauh cari tong sampah. Ini juga bikin saya paham
kenapa banyak orang buang sampah gak pada tempatnya. Harusnya tempat sampah itu
diperbanyak. Kalau di sekolah cuma ada lima tong, harusnya ditambah jadi
seratus, biar murid-murid gampang buang sampah.
Sampah udah jadi bagian dari kehidupan manusia sejak manusia
kenal plastik. Dari plastik inilah manusia mulai memproduksi barang-barang yang
akhirnya bikin banjir, pencemaran tanah, sungai, dan lainnya. Tapi di sisi
lain, ada juga usaha buat ubah sampah jadi kerajinan tangan, kayak tas, baju,
gantungan kunci, tempat uang, dan lain-lain. Dua pandangan ini bikin masalahnya
gak ketemu ujungnya. Mau ada inovasi apa pun, banjir tetap banjir.
Gak peduli siapa pemimpinnya, kalau hujan turun, Bekasi
pasti banjir. Saya kasihan lihat warga yang kena dampak. Mereka sabar
menghadapi banjir tiap tahun. Tapi saya, sebagai duta kebersihan, malah ngerasa
bersalah. Kayak gagal ngajak orang buat peduli lingkungan. Sekarang saya heran,
kenapa benda mati kayak sampah bisa bikin orang mati.
Saya selalu berdoa supaya air bisa mengalir lancar tanpa
hambatan. Biar hujan gak disalahkan terus. Masalah banjir ini gak bisa
diselesain cuma dengan buang sampah di tempatnya. Karena walau udah dibuang ke
tempatnya, ujungnya juga ke TPA Bantar Gebang, yang udah jadi bukit. Malah jadi
semacam icon Kota Bekasi, mungkin kebanggaan juga bagi sebagian orang. Tapi
seharusnya itu jadi pengingat buat warga, apalagi banyak juga sampah kiriman
dari Jakarta yang nyumbang ke sana.
Masalah sampah ini kayak nggak ada habisnya. Mungkin jalan keluarnya ya dengan menjadikan duta kebersihan itu bukan cuma gelar, tapi cara berpikir baru. Karena kalau nggak begitu, duta kebersihan sendiri bisa ikut tercemar seperti shampoo yang busanya malah memenuhi kali Bekasi. Entah mana yang lebih bahaya, busa di air atau sampah di air. Tapi ya sudah, biarlah itu jadi bahan perdebatan saja.

Komentar
Posting Komentar