“Di bukit indah berbunga”
Lirik lagu ciptaan Uci Bing Slamet ini mengingatkan saya pada keindahan bukit-bukit yang masih berdiri gagah. Bukit tidak hanya indah tetapi juga berbunga, sebuah hiperbola yang justru menjadi kekuatan lagu itu. Lagu ini mengajak pendengar untuk seolah-olah melihat alam sekitarnya, memandangnya sebagai keindahan ciptaan Tuhan yang penuh kehidupan, keindahan yang kadang sulit saya nilai dengan kata-kata.
Dari lirik alam sekitarnya saya merasa diajak untuk melihat lebih jauh. Lingkungan selain bukit pun seolah meminta perhatian. Sekitarnya bukan hanya soal panorama, tetapi juga ruang bagi kita untuk merenungi hakikat alam semesta. Alam perkotaan yang bising dan penuh polusi jauh berbeda dari perdesaan. Gedung-gedung tinggi mungkin dapat diibaratkan sebagai bukit versi modern. Keduanya sama-sama menjulang, meski tentu berbeda hakikatnya. Gedung tidak melebar seperti bukit dan tidak tercipta dari tangan-tangan alam.
Bukit kerap menjadi tempat terbaik menikmati senja, sebagaimana dalam lirik karena senja telah tiba, mentari tenggelam. Saya teringat ketika menyaksikan senja di sebuah bukit di Cilegon. Dari sana saya melihat laut Selat Sunda, kapal-kapal yang sibuk, dan diri saya yang sibuk menikmati senja yang indah meski tidak berbunga. Rasanya tetap sama seperti lirik langit merah berwarna sendu yang membawa ketenangan dari segala stres.
Ketika senja usai, malam mengingatkan saya untuk pulang. Saya turun bersama seseorang yang bermotor, bukan bersama kekasih yang cocok dengan lirik kita pun turun bersama. Kehangatan itu tidak saya bahas, karena yang ingin saya soroti adalah persoalan lingkungan. Lagu yang tercipta pada 1982 ini telah melewati batas zaman dan menemani banyak generasi.
Dulu lingkungan masih lebih sehat, belum didominasi pembakaran hutan dan penebangan liar. Lagu ini seolah menegakkan keadilan lingkungan, meski maknanya sebenarnya tentang kenangan percintaan. Menurut saya lagu ini revolusioner, sebab tidak hanya mengenang masa silam tetapi juga mengingatkan bahwa keindahan alam seharusnya tetap dijaga.
Lagu ini menggambarkan bukit yang indah dengan bunga-bunga, namun ada bukit lain yang tak kalah menarik yaitu bukit kapur di Banten yang menghasilkan bahan semen. Aktivitas manusia telah membuat bukit itu terluka. Mereka menambang untuk mencari bahan semen yang kelak dipakai membangun gedung-gedung. Karena itu saya berkata bahwa gedung pun adalah bukit, sebab material di dalamnya berasal dari bukit yang indah.
Bukit menjadi saksi kemajuan manusia modern. Ia berkorban untuk kebutuhan manusia, dari pembangunan jalan sampai gedung. Bukit tidak pernah berteriak. Lagu-lagu tentang bukit terus diputar, membawa lirik cinta yang sebenarnya mengingatkan kita pada kerusakan yang dianggap biasa. Bukit diam, merasakan ketakutan, karena ia benda mati. Ia tidak menangis dan tidak melawan.
Di bukit indah berbunga adalah gambaran dalam lagu. Namun hari ini saya melihat pergeseran menjadi bukit indah beruang, karena bukit bagi para pengusaha menghasilkan uang. Bukit dijadikan kebun teh atau kopi pada masa tanam paksa. Di Bandung misalnya kebun kopi menjadi komoditas terkenal meski bukan tanaman asli. Bukit-bukit menjadi penopang perkebunan di Priangan.
Bukit menjadi saksi masa ketika masyarakat mengalami kekurangan. Takdir menampar paksa pribumi untuk tunduk pada sistem yang dibuat orang Eropa. Sistem itu tidak bisa sepenuhnya disalahkan karena semua terjadi demi memenuhi kebutuhan masing-masing. Sejarah saling melengkapi, dan saya menuliskannya dengan hati-hati agar tidak menjadi hakim. Saya mencoba tetap suci dari kecenderungan menghakimi.
Melihat kota, kita menemukan bukit lain yaitu bukit sampah di Bantar Gebang. Bukit ini menurut saya berbunga karena bukan hanya warna ungu seperti dalam lirik tetapi bermacam-macam warna sampah yang bertumpuk dari berbagai tempat. Bukit ini tidak hanya menyajikan senja tetapi juga memperlihatkan orang-orang yang bekerja memilah sampah untuk mencari rezeki.
Namun bukit ini sering longsor. Bukit buatan ini mungkin menangis seperti bukit-bukit di pegunungan. Saya teringat bukit kapur di Banyumas yang longsor dan menimpa rumah warga. Seolah bukit itu ingin mengatakan bahwa ia lelah menahan beban manusia. Pohon hilang, tanah melemah, dan akhirnya bukit jatuh seperti menumpahkan air mata yang tidak terlihat.
Tidak heran jika bukit kini menangis, melongsorkan tanahnya. Manusia menjadi temannya di setiap zaman. Kota tidak akan hidup tanpa bukit-bukit ini. Bukit adalah penopang gedung pencakar langit.
Di sana saya selalu datang berdua, antara bukit dan diri saya. Keindahannya tidak ada duanya. Saya datang dan pergi melihat senja sambil menyikapi gejolak yang saya tuliskan. Suara kodok menemani alunan lagu yang tak pernah selesai. Saya turun bersama ingatan yang memeluk diri saya sendiri, melintasi jalan setapak untuk meninggalkan bukit indah yang berbunga itu. Sebuah terapi alam yang tersimpan di ingatan, meratapi senja dan memandang laut yang tak kalah indah. Arus musik yang saya dengarkan melembutkan hati karena setiap bait penuh nostalgia tentang alam semesta yang penuh harapan.
.png)
Komentar
Posting Komentar