Dini hari saya makan nasi uduk, dipukul 01.30 waktu Indonesia Barat. Nasi uduk dengan toping yang sederhana seperti gorengan tempe dua dan perkedel satu. Dalam makan dini hari ini saya ditemani teh tawar, selayaknya kegiatan di pasar yang tawar-menawar antara pembeli dan penjual jatah jabatan, maksudnya jatah sambal yang saya rasa sedikit di piring saya.
Pada saat itu juga serasa getir, hanya penjual dan pembeli di warung nasi uduk malam itu. Lalu muncul pertanyaan, mengapa menjual nasi uduk harus berjualan di malam hari? Ingin bertanya, namun takut karena belum bayar. Saya memilih diam sambil menikmati teh tawar yang rasanya tidak bisa ditawar lagi—saking tidak ada rasanya, namun memiliki kenikmatan tersendiri untuk meredakan rasa pedas sambal yang sedikit itu.
Saat-saat menikmati nasi uduk itu, pikiran saya berputar-putar merancang rencana yang besar. Mengingat jam 01.30 itu sudah mendekati jam tiga pagi, yang berarti sudah mendekati subuh. Maka, karena sudah mendekati subuh, saya ingin menjemput para mawar-mawar yang sedang diam di rumah. Namun saya bingung, mengapa saya menamakan mereka mawar?
Jika melihat dari niatan saya dalam aspek sejarah, saya bisa mengikat niat saya dari peristiwa sejarah yaitu Gerakan 30 September yang dikatakan buku menurut rezim Orde Baru, atau kata Soekarno disebut Gerakan 1 Oktober atau Gestapu. Entah yang kedua yang benar yang mana, yang penting peristiwa itu bersejarah bagi setiap rezimnya.
Kemudian dimensi masa lalu ini mengikusi saya untuk membuat rencana itu berhasil. Saya ingin membangunkan para mawar itu untuk salat subuh karena sudah berbunyi HP-nya, sebagian orang tidak bangun maka saya membangunkan mawar-mawar itu untuk mengerjakan dekorasi dan persiapan pameran History Fair 2025 yang akan dilaksanakan dengan tema sejarah lingkungan. Namun rencana itu perlu niatan yang kuat. Persiapan hanya sebatas sepeda gunung, dan mana bisa menculik sembilan orang, mau ditaruh di mana?
Rencana-rencana itu akan berhasil jika kajian sejarah secara mendalam. Saya perlu tahu dulu siapa dalang dari perbuatan normal pada masa-masa 65. Darah, bau manis, tercampur aduk menjadi satu kesatuan yang membuat membangunkan bulu kuduk berdiri. Karena sampai sekarang dalang belum ada yang tahu. Saya ingin bertanyakan kepada tukang sate, karena pertanyaan itu masih tersimpan dalam puisi saya. Barangkali dia tahu.
Ketidaktahuan saya atas peristiwa berdarah ini membuat saya selalu bertanya-tanya, mengapa harus mengawal presiden yang dijemput jam tiga pagi? Terlebih lagi mereka-mereka membawa senjata yang mempunyai peluru di dalam senjatanya, yang sewaktu-waktu bisa keluar untuk melukai para pembaca buku-buku sejarah yang telah banyak dicampuradukkan, menjadi serasa aneh rasanya. Kata orang tua dulu, rasanya ada yang ganjil, bukan genap.
Setengah tiga, saya belum persiapan apa-apa. Masih menikmati ketikan untuk menyelesaikan esai ini. Tiga puluh menit tersisa. Saya masih kepikiran untuk meminjam mobil-mobil penculik di Jakarta, namun Serang dan Jakarta mempunyai jarak yang jauh. Bagaimana saya bisa ke sana padahal saya butuh sekarang untuk menculik-menculik tanpa melukai, hanya untuk membangunkan salat subuh. Agar ketika subuh orang-orang itu bisa melaksanakan ibadahnya.
Bayang-bayang untuk menjadikan rencana ini menjadi wacana terkuat besar karena saya sendiri tidak terlibat ke dalam operasi yang digerakkan oleh Partai Keluarga Indonesia yang disingkat PKI. PKI sampai sekarang belum bisa mendoktrin otak saya karena saya tidak mau tertipu dengan omongan-omongan kejayaan dan sama rata dengan dalih kelaparan. Karena saya sendiri sudah makan dan sudah ambil uang di ATM. Jadi saya membatalkan niat saya sebelumnya, dan fokus dengan mengetik esai ini sampai selesai.
Kabar buruknya, teh tawar saya hampir habis. Hal itu bisa diartikan bahwa saya disuruh pulang jika benar-benar habis. Bukan darah, tapi jiwa yang ingin berbaring di kamar yang berisik oleh baju-baju yang belum dicuci oleh saya sendiri.
Dan jadi pertanyaan saya, siapa dalang dari rencana saya ini? Saya, selaku yang menulis rencana ini, tidak ingin mengakuinya karena saya sendiri tidak terlibat dalam rencana-rencana itu. Walau belum terlaksanakan, namun sudah jadi wacana yang akan membangunkan mawar-mawar itu.
Merenung memikirkan dalangnya membuat saya susah untuk menentukannya. Saya berhipotesis bahwa hati saya sendiri yang membawakan diri saya mempunyai niat itu, karena hati saya terpapar oleh cerita-cerita propaganda lewat film yang dibuat oleh pemerintah Pak Soeharto. Hati saya ini sedang tidak baik-baik saja, sedang berantem dengan otak saya yang tidak peduli pada hati saya. Otak saya ini sedang berpikir siapa dalang dari rencana itu. Maka tidak heran jika otak saya menuduh atau mengkambinghitamkan hati. Polemik ini susah, walau tidak serumit gerakan 30 September itu. Hal itu masih mudah dilacak lewat arsip-arsip walau banyak sekali yang menutupi.
Nasi uduk dan teh tawar habis tak tersisa, rencana belum dilaksanakan, dan saya malah bingung siapa yang mendorong niat saya untuk membuat rencana itu. Lebih baik saya akan membuat esai ini menjadi seribu kata, hal itu lebih berguna dan lebih logis daripada membuat rencana itu.
Pak Soeharto saja membuat rencana seakan-akan negara genting walau saya sendiri belum tahu kebenarannya. Hanya berhipotesis, mengadu domba dari CIA datang, PKI yang baper, dan tentara mancing-mancing, lalu jadilah peristiwa berdarah itu.
Menelisik secara mendalam kedalaman Lubang Buaya itu, takutnya buayanya naik ke permukaan. Seandainya buayanya keluar dengan darah, berarti bisa disimpulkan dengan tali tambang bahwa buayalah pelaku otak utama. Karena buaya sendiri menjadi ikon dari peristiwa tempat itu. Jadi jangan selalu menyalahkan Soeharto. Soeharto itu sudah menjadi pahlawan nasional.
Jika kita berbicara itu, kita sudah melakukan perlawanan narasi yang bisa dikatakan menjadi pemberontakan dalam narasi dari negara, sama halnya mahasiswa. Namun tidak betul juga yang saya katakan tadi, karena setiap orang mempunyai perspektif maka harus dihargai dari semua tudingan itu.
Saya tetap berdoa agar Pak Soeharto selamat di dalam kuburnya, walau saya tidak yakin dengan keselamatannya namun harus ditekan dengan cara menuliskan kembali nama beliau dengan baik dan benar. Tidak boleh salah ejaan seperti saya. Seharusnya Soeharto itu ditulis Suharto sesuai kaidah bahasa Indonesia di masa sekarang.
Sepertinya jiwa ini harus berpulang kepada kosan yang sudah menunggu, maka esai ini saya cukupkan. Saya tidak kasih kesimpulan karena sudah disimpul mati, ikatan tidak bisa lepas, dan sudah dipatok selayaknya cerita percintaan di dalam perkemahan.
.png)
Komentar
Posting Komentar