Saya bangga melihat Indonesia dianugerahi penghargaan Fossil of the Day. Rasanya penghargaan ini seharusnya diterima sejak lima puluh tahun lalu. Ada kebahagiaan yang pahit ketika mendengar bahwa untuk pertama kalinya dalam sejarah, Indonesia meraih penghargaan ini. Lebih menyenangkan lagi karena diberikan pada Sabtu tanggal 15 November dalam gelaran COP 30 konferensi perubahan iklim yang dinaungi PBB. Disematkan di Brasil pula yang selama ini dikenal sebagai rumah Hutan Amazon, tempat pohon pohon yang menjaga kehidupan berdiri dengan megah. Tidak salah jika ada rasa bangga yang muncul dari dalam diri ini.
Apalagi mengetahui bahwa empat puluh enam pelobi industri fosil bisa masuk dengan tenang ke konferensi tersebut. Mereka memperjuangkan agar batu bara tetap diproduksi. Jika batu bara tetap hidup maka listrik tetap menyala dengan aman. Maka saya merasa perlu mengapresiasi para pelobi dalam konferensi ini karena berhasil mengamankan ruang bagi kepentingan mereka.
Dalam hidup sehari hari energi fosil tidak pernah lepas dari kita. Mulai bangun tidur hingga kembali tidur jejaknya selalu ada. Truk truk tambang dan excavator yang mengeruk isi bumi menjadi pemandangan yang dianggap wajar demi ekonomi nasional. Industri batu bara masih menopang pembangkit listrik tenaga uap. Ketika kita berbicara tentang fosil selalu ada rasa bersalah karena bumi terus digeruk tetapi narasinya selalu sama yaitu bahwa bumi harus dimanfaatkan. Fosil disebut sebagai hasil proses sejarah dan karena itu harus digunakan pada masa sekarang maupun masa depan.
Bayangkan proses jutaan tahun dari masa purba kelahiran dinosaurus dan perubahan bumi yang akhirnya menghasilkan energi fosil. Semua itu sering disandingkan dengan slogan go green yang muncul di mana mana. Ini seperti ironi yang dipoles. Dinosaurus mungkin akan heran melihat excavator yang bekerja dengan penuh percaya diri. Mungkin saja makhluk purba itu akan melakukan pemberontakan terhadap alat alat berat tersebut karena dulu mereka tidak mengenal penambangan masif. Yang mereka kenal adalah kehidupan liar yang berbagi secara alami bukan perebutan kepentingan seperti pelobi masa kini.
Kita sering berbicara tentang fosil namun mengapa Indonesia sampai mendapat penghargaan bergengsi ini. Apakah karena pernyataan presiden mengenai pentingnya sawit atau karena alasan lain. Saya mencoba membedah mengapa koalisi masyarakat sipil global memilih Indonesia. Salah satu jawabannya adalah sejarah panjang keluarga keluarga tambang yang memiliki kepentingan besar dalam memakmurkan industri pertambangan. Fosil yang tersimpan di perut bumi Indonesia terus digali. Keluarga keluarga tambang tumbuh harmonis karena kekayaan dan pengaruh yang mereka dapatkan. Jika ditarik lebih jauh kita melihat deforestasi yang menjadi bagian tak terpisahkan dari narasi ini. Hutan ditebang hutan dibakar semua dibuka untuk tambang batu bara. Inilah kemampuan luar biasa keluarga tambang. Mereka tidak hanya menambang tetapi juga mampu menebang dan menata ulang bentang alam menurut versi mereka.
Negara berkembang seperti Indonesia tentu ingin diakui di tingkat internasional. Penghargaan ini terasa seperti pengakuan namun dengan rasa yang berbeda. Jika dulu Indonesia mendapat label macan Asia pada masa pemerintahan orde baru maka kini saya menyebutnya sebagai dinosaurus Asia karena Indonesia adalah negara fosil. Sebuah inspirasi bagi negara lain untuk terus mengeruk bumi secara masif. Indonesia bahkan berhasil mengintervensi negosiasi terkait pasar karbon. Ini tentu prestasi jika dilihat dari sudut pandang tertentu. Kita berhasil memodifikasi jalannya pembicaraan agar karbon tetap memiliki tempat yang aman untuk diproduksi. Walaupun langkah Indonesia memicu polemik yang memanas tetapi tetap tidak sepanas kulit manusia yang berada di bawah terik matahari siang di kota Serang. Jika ingin merasakan lebih dari itu pergilah ke Cikarang dan rasakan sendiri suhu yang seolah menjadi simbol pemanasan global.
Para pelobi melihat krisis iklim sebagai peluang. Sebagian pelobi memakai jargon go green sebagai identitas perusahaan. Iklim tidak lagi dilihat sebagai fenomena alam tetapi sebagai fenomena bisnis. Setiap krisis adalah peluang untuk membuat produk baru dan menghasilkan keuntungan. Politik telah menyayat iklim sejak lama maka dunia bisnis hadir sebagai pihak yang merawat luka itu dengan cara mereka sendiri. Janji presiden untuk menanam sawit sebanyak mungkin juga menjadi bagian dari hegemoni baru. Kelak anak cucu akan melihat hutan sawit membentang dari kiri ke kanan. Prediksi tenggelamnya pulau pulau kecil dianggap tidak perlu ditakuti karena penghargaan ini justru disanjung.
Akhirnya Indonesia bisa pulang dengan senyuman. Senyum yang melihat keadaan berserakan akibat tambang yang tak berhenti bekerja. Uang menjadi kunci untuk menentukan arah perubahan iklim bukan rakyat dan bukan perusahaan. Dalam dunia tambang tidak ada konsep keluarga yang ada hanya sistem yang saya baru temukan setelah mencarinya di mesin pencarian yaitu oligarki. Sebuah istilah yang mirip dengan cerita tentang pengusaha jahat tetapi menurut saya istilah ini hanya menggambarkan upaya melindungi bisnis dari pihak asing seperti dalam kasus tambang di Papua.
.png)
Komentar
Posting Komentar