Saya kesal melihat puluhan kilometer di kampus saya dipenuhi sampah yang berserakan. Dalam batin, saya sering merasa risih melihat mereka, sampah-sampah itu, tertidur lemas tanpa ada yang membangunkan untuk dipindahkan ke tempat semestinya. Ada berbagai jenis sampah: jika berupa daun, mereka bisa mati kemudian menjadi pupuk; sedangkan plastik, mereka seperti makhluk setengah sadar yang memendam harapan ada yang meletakkan mereka di tempat yang tepat, sayangnya harapan itu seringkali menjadi angan-angan semata.
Kantin kampus adalah pusat peradaban sampah. Namun perlu diingat bahwa mereka, sampah-sampah itu, juga pantas mendapat keadilan. Mereka punya hak untuk ditempatkan di tempat yang rapi dan nyaman agar bisa beristirahat tanpa gangguan makhluk-makhluk lain. Di kampus, saya melihat tiga tempat sampah dengan tiga warna yang berbeda dan fungsi yang seharusnya berbeda. Perbedaan kategori itu seharusnya menentukan nasib sampah, mau dibawa ke mana sampah-sampah yang terlelap itu.
Namun ketika saya membuka satu per satu, saya terkejut karena isinya sama. Sampah basah, kering, bahkan yang berbahaya tercampur. Jika sampah dengan jiwa berbeda diperlakukan sama, bagaimana mereka bisa beristirahat dengan tenang. Saya lantas berpikir, mengapa tempat sampah dibuat sedemikian rupa. Apakah hanya untuk menciptakan kesan formal go green. Atau itu bagian dari strategi politik ekologi. Saya tidak bisa menjawab semua itu karena saya bukan bagian dari pengambil keputusan. Yang saya tahu adalah bahwa ketidakberaturan ini tampak muncul karena ketidaksengajaan, karena banyak mahasiswa bahkan dosen terlalu sibuk dengan urusan kampus yang tak pernah selesai. Tetapi saya juga tidak bisa menunjuk siapa yang paling bersalah. Saya hanya yakin bahwa masalah sampah ini perlu diakhiri dengan suatu kesimpulan, suatu refleksi mendalam.
Mata saya lelah dengan konflik batin ini. Di satu sisi saya marah melihat tumpukan sampah; di sisi lain saya sendiri sering membuang sampah di pinggir jalan karena malas memegangnya terlalu lama. Kadang perasaan menjijikkan muncul saat sampah masih ada di tangan. Ego saya berbenturan dengan kesadaran lingkungan yang ingin saya jaga.
Dua sisi itu saling memukul satu sama lain, seolah iman saya naik dan turun, kadang sadar, kadang lalai. Ketika kesadaran muncul, saya melarang diri membuang sampah sembarangan. Namun ketika ego mengambil alih, saya merasa bahwa sampah harus cepat-cepat dilemparkan daripada disimpan di tas atau dipegang tanpa tujuan. Konflik batin ini bukan sesuatu yang bisa dianggap sepele bagi saya.
Saya masih harus belajar bagaimana berbicara kepada tumpukan sampah di Bantar Gebang, tempat yang pernah longsor dan mencatat luka sejarah. Bukit sampah itu tampak tak bernyawa, tetapi saya sering berdoa agar ia diberi suara. Agar ia bisa berbicara pada saya. Karena saya merasa bersalah. Sebagian manusia terus bersenang-senang saat bumi mulai sulit bernapas.
Kesal saya semakin dalam ketika konflik batin saya seolah disamakan dengan tiga kategori sampah di tempat pembuangan. Ketika sampah ingin dibuang, semuanya dicampur. Konflik saya seperti sampah yang berserakan; pikiran saya bertumpuk seperti sampah yang menunggu tempat. Masalah sebenarnya adalah generalisasi sampah di lingkungan kampus saya. Sampah-sampah itu dilepas begitu saja tanpa dipilah, kemudian diambil oleh pemulung yang menyelamatkan sebagian, terutama yang jiwa kering.
Sampah yang tersisa menimbulkan kegelisahan sosial. Mereka bukan lagi sekadar sampah fisik, melainkan simbol manusia yang dilabeli sebagai sampah masyarakat, mereka yang dipinggirkan, diabaikan, dianggap merugikan. Saya heran bagaimana label ini lahir. Bagaimana manusia yang dianggap sampah bisa diubah meski tidak pernah diberi kesempatan.
Orang-orang tertentu diperlakukan seperti sampah, dijauhi, dikucilkan, dianggap tidak sesuai dengan normalitas sosial. Padahal, jika diolah kembali, sampah pun bisa menjadi sesuatu yang berguna. Seharusnya manusia punya kesempatan untuk mengalami daur ulang moral dan sosial, bukan terus-menerus dijatuhkan.
Saya lelah membahas problem sosial ini. Sepertinya sampah adalah yang paling terpuruk dan menjijikkan, padahal sampah itu dihasilkan oleh manusia sendiri. Eksistensi sampah di mata dunia bagaimana. Jika dihargai, mungkin slogan go green bisa lebih dari sekadar kata manis. Sampah punya nilai ideologis seperti kapitalisme, ia selalu ada, selalu diproduksi, selalu diikuti. Manusia akan selalu bersinggungan dengan sampah. Tempat pembuangan akhir menjadi semacam kuburan bagi sampah, tempat peristirahatan yang tak bisa berubah.
Bumi mungkin juga kesal, resah, dan lelah sebagaimana saya. Tapi bumi tidak bisa berbicara lewat tulisan. Bumi hanya bisa berharap pada penghuninya, manusia, yang diberi kecerdasan. Bumi berbicara lewat sampah yang menyebar tak terkendali. Sampah di laut berteriak minta tolong, ingin diletakkan di tempat yang benar. Ikan-ikan berteman dengan sampah, kadang memakannya, kadang mati karenanya.
Bukan hanya di laut. Mikroplastik beterbangan di udara, masuk ke dalam tubuh manusia. Seolah roh-roh sampah yang tak terselamatkan ingin balas dendam. Atau mungkin langit, tanah, dan laut sedang memberi sinyal bahwa bumi ingin berbicara.
Dunia modern dipenuhi dengan kesadaran uang yang melahirkan produksi barang tanpa henti untuk memenuhi konsumen dan kantong perusahaan. Saya menyadari bahwa uang mungkin adalah akar utama masalah sampah. Jika benar, maka hemat menjadi kunci. Jika salah, maka anggaplah ini hanya tulisan seorang penulis esai.
Saya berharap sampah-sampah bisa beristirahat dengan tenang. Semoga label sampah masyarakat yang melekat pada manusia yang belum tentu bersalah bisa hilang. Semoga dunia menemukan titik baik untuk menempatkan sampah, baik yang fisik maupun sosial, di tempat yang semestinya.
.png)
Komentar
Posting Komentar