Hari-hari ini banyak sekali orang-orang yang bekerja di jalan raya, dan mereka sering kali dilabeli sebagai sampah masyarakat karena dianggap mengganggu ketertiban umum. Mengapa orang-orang melabeli mereka demikian, padahal mereka hanya berusaha memenuhi kebutuhan sehari-hari?
Di kehidupan modern yang serba teknologi ini, orang-orang sibuk dengan gadgetnya sendiri. Sekalipun mereka didatangi oleh seseorang yang meminta sedikit uang, niscaya hatinya merasa terganggu, merasa risih bukan karena tangan-tangan yang menengadah, bukan pula karena suara-suara di persimpangan, tetapi karena kehadiran orang itu di sampingnya.
Penuh harapan dan senyuman, orang-orang itu berharap akan diberi uang, namun banyak pula yang tidak, karena sudah terlebih dahulu kesal dengan kehadirannya.
Kadang ada yang memberi karena terpaksa, agar cepat selesai, karena merasa terganggu. Namun ada juga yang memberi karena kasihan, termasuk saya. Saya sering memberi karena merasa iba, kadang juga karena suaranya enak atau melihat mimik wajahnya yang memelas dan penuh empati.
Namun kenyataannya, orang-orang di persimpangan jalan ini semakin banyak. Mereka selayaknya semut yang berkumpul di lampu merah, di jalan raya, di rumah makan, di mana pun banyak orang sedang menikmati makanannya. Mereka datang dari berbagai usia, dari bayi hingga lanjut usia, dari tubuh yang dicat warna-warni hingga mengenakan kostum untuk menarik perhatian.
Sebagian dari kita pasti bertanya, mengapa mereka terus ada di dunia yang katanya penuh peluang ini. Kata presiden kita, kemiskinan sudah menurun. Namun kenyataannya, ketimpangan masih jelas terlihat antara pemukiman dan persimpangan jalan. Asa yang selalu diasah dari pagi sampai malam, tapi asa itu tidak pernah menjadi rasa bagi para pemegang kebijakan.
Mungkin pemerintah terlalu sibuk mengejar target program. Pejabat-pejabat negara sibuk memperbaiki jalan, tapi tidak melihat keadaan di pinggirnya. Tidak ada razia untuk mereka yang benar-benar membutuhkan, tidak ada tindakan nyata untuk menyelesaikan akar masalah.
Sampai kini saya masih meyakini bahwa pemerintah selalu mengajarkan kemandirian dalam kehidupan. Mereka harus mandiri, dan mungkin memang sudah takdirnya seperti itu. Maka tidak heran kalau pemerintah tidak selalu peduli, meski saat bulan Ramadan mereka tiba-tiba hadir dengan takjil dan makanan buka puasa bagi mereka yang sedang berjuang di jalan.
Mereka adalah masyarakat miskin kota, yang pekerjaannya meminta-minta rezeki dari orang-orang yang sedang menikmati kehidupan. Saya merasa kehidupan ini cukup kejam karena saya melihat langsung di Kota Serang banyak sekali orang-orang yang berjuang di jalan, khususnya di lampu merah.
Banyak anak-anak pengamen bermodalkan alat musik usang seperti ukulele, dengan suara-suara yang terasa ironis. Seharusnya anak-anak ini hidup seperti anak-anak pada umumnya. Mereka dipaksa keadaan untuk mencari rezeki.
Yang jadi pertanyaan adalah bagaimana peran orang tuanya. Saya berpikir orang tua mereka sudah berusaha sekuat tenaga untuk menghidupi keluarga di dunia yang keras ini. Namun bagaimana jadinya jika keadaan memang memaksa seperti itu?
Saya tidak bisa menyalahkan orang tuanya, karena saya yakin mereka menikah dengan niat baik dan perencanaan yang penuh perhitungan, baik secara mental maupun ekonomi. Maka dari itu, keadaan ini adalah bentuk gejolak sosial yang penuh ironi.
Keadaan ini mengingatkan saya pada lagu Sore di Tugu Pancoran karya Iwan Fals, yang di dalam liriknya menceritakan seorang anak bernama Budi yang berjualan koran di simpang jalan Tugu Pancoran, Jakarta. Hal ini menunjukkan bahwa mencari rezeki di jalan sudah ada sejak dulu.
Si Budi terpaksa memecahkan karang, meski karang itu berada di dasar laut, dan ia harus menyelam menahan napas sambil memukul karang itu dengan tangan kecilnya. Bayangkan saja, seorang bocah memikul beban seberat itu demi sesuap nasi.
Iwan Fals menulis, “Anak sekecil itu berkelahi dengan waktu.” Waktu seolah-olah terus memaksa Budi bekerja dari pagi sampai malam tanpa henti. Kisah itu membuat saya teringat pada kehidupan anak-anak jalanan hari ini.
Mereka juga berkelahi dengan waktu, dengan panas, dengan lapar, dan dengan keadaan yang memaksa mereka tumbuh dewasa sebelum waktunya. Setiap kali saya melihat mereka, saya teringat pada lagu Terbuang Dalam Waktu.
Lagu itu seperti cermin, menggambarkan bagaimana hidup memaksa seseorang terus berjalan meski banyak ragu di hati. Dan entah kenapa, lirik Barasuara selalu terngiang di kepala saya: “Teringat seru suaramu menghapus keraguan.”
Lirik itu seperti menggambarkan semangat kecil yang tidak mau padam di antara kerasnya hidup. Anak-anak di jalan itu sudah belajar menjadi dewasa lebih cepat dari waktunya. Mereka tumbuh bersama kerasnya kehidupan, tapi juga dengan keikhlasan yang lahir dari keterpaksaan.
Seperti kata lagu itu, “Namun dewasa mengubah cara pandang dan keikhlasan.” Mereka belajar menerima takdir, tidak dengan menyerah, tapi dengan keberanian yang tumbuh diam-diam di tengah debu dan cahaya lampu jalanan.
Namun yang saya tulis ini tidak semuanya benar. Ada juga yang memang tidak ingin berubah, karena tidak mau belajar mencari peluang. Kadang mereka hanya memikirkan hari ini saja, tidak menatap masa depan.
Tapi mereka pun tidak bisa disalahkan sepenuhnya, karena akses dan fasilitas sering kali tidak memadai. Maka dari itu, perlu kerja sama antara pejabat dan masyarakat yang mapan dalam hartanya.
Mata mereka penuh harapan kepada setiap orang yang memberi uang, meski kadang keadaan itu dijadikan ladang bisnis. Ada yang mengatur, ada trik-trik tertentu untuk membangkitkan empati orang lain.
Karena peluang kerja sekarang susah, akhirnya banyak yang memanfaatkan keadaan ini. Tapi di sisi lain, saya juga melihat cara ini sebagai bentuk bertahan hidup, sebagai bentuk organisasi kecil yang punya satu visi, satu tujuan, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Sehari-hari mereka hidup dalam rasa sakit. Saya kasihan melihat mata penuh harapan itu, walau sering dijadikan alat oleh orang-orang tak bertanggung jawab untuk menjual empati.
Banyak pula yang memanfaatkan momen memberi untuk mencari citra, memberi makan lalu memotretnya dengan caption penuh moralitas. Ada juga yang membuat sekolah pinggir jalan hanya untuk program kerja, lalu tidak dilanjutkan lagi. Saya pernah melihat organisasi mahasiswa seperti itu.
Mereka senang menerima bantuan, tapi dunia tetap penuh ironi. Apalagi ketika pejabat turun ke lapangan hanya untuk mencari citra publik. Tapi saya pun tidak bisa sepenuhnya menyalahkan, karena mereka juga mencari nama untuk kebutuhan perutnya.
Akhirnya mereka tetap ada di jalan-jalan, di restoran, di kafe-kafe, bernyanyi dan berjoget di depan pelanggan sambil berharap belas kasih. Semua ini membuat saya terus bertanya tentang kedudukan mereka di mata saya, di mata pemerintah, dan di mata masyarakat.
Semuanya perlu disetarakan, antara tinggi dan rendah, bawah dan atas. Semua setara di mata alam semesta, karena manusia adalah hewan yang berpikir, seperti di ungkapan dalam buku Madilog yang ditulis oleh Tan Malaka.

Komentar
Posting Komentar