Langsung ke konten utama

Poster Hijau, Tambang Hitam

 

Poster-poster pemanasan global sudah banyak dibuat dan disebarkan secara masif. Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran lingkungan sudah tertanam dengan baik. Poster bukan hanya alat promosi, tetapi juga alat untuk melawan ketidaktahuan. Ketidaktahuan itu tumbuh dari masalah yang sudah mengakar di bawah pondasi peringatan lingkungan yang sering kita abaikan. Secara akademis pemanasan global dapat diibaratkan seperti kompor yang sedang menggoreng cireng, tetapi minyaknya berasal dari perkebunan sawit yang membentang luas di Pulau Sumatera. Jalan-jalan di Sumatera dipenuhi pemandangan kanan dan kiri berupa perkebunan sawit, dan itu adalah fenomena nyata yang terus berlangsung. Maka poster-poster pemanasan global berfungsi sebagai daya ingat atas keniscayaan masa depan yang katanya lebih cerah. Cerah dalam arti panas terik yang membuat saya sering mengeluh karena sinar matahari memancar dengan tajam dan terus memantul berkali-kali sehingga kulit saya semakin menghitam.

Poster pemanasan global biasanya berisi ajakan sederhana seperti mengurangi penggunaan kendaraan bermotor atau menampilkan simbol peringatan global warming. Namun pernahkah melihat poster yang secara langsung menunjuk perusahaan-perusahaan pertambangan sebagai penyebab utama pemanasan global. Perusahaan-perusahaan inilah yang diyakini mengundang kemarahan matahari yang kini kita rasakan. Matahari selalu menjadi kambing hitam padahal ia sejak awal sudah setia menyinari bumi. Ia tetap bersabar meski terus difitnah oleh orang-orang yang berdiri di bawah sinarnya. Saya bahkan berpikir bahwa itu pun baru sinarnya, dan belum waktunya matahari mendekat sedikit saja. Perusahaan pertambangan bahkan ikut membuat slogan go green sebagai harapan atas penghijauan kembali yang sebelumnya sudah mereka hilangkan. Warna hijau menjadi simbol penting bagi berbagai lembaga, perusahaan, bahkan negara-negara yang berlomba mengklaim diri sebagai pihak yang paling hijau dan paling heroik dalam menyelamatkan manusia.

Global warning kembali menjadi candaan para pengusaha tambang. Candaan itu lucu karena menggambarkan ketakutan yang berlebihan. Para bos besar tambang merasa tidak perlu panik dan justru berkata agar lebih santai sambil terus mengeruk isi perut bumi. Tanda peringatan oranye dan simbol segitiga hanya merupakan prosedur keselamatan saat bekerja di pertambangan. Mereka lebih taat pada tanda bahaya pekerjaan ketimbang bahaya pemanasan global. Maka global warning dianggap masih jauh dampaknya dan cukup disikapi dengan tenang. Walaupun kabarnya es kutub mencair dan daratan kecil tenggelam, hal itu mirip es krim yang meleleh saat dimakan di siang hari. Lelehan es krim itu seperti tubuh es kutub yang perlahan habis. Selama Pulau Jawa belum tenggelam, uang akan terus mengalir dari hasil batu bara yang diambil tanpa henti.

Ada perang kepentingan di tengah seruan global warning yang tidak pernah berhenti. Di jalan-jalan dan di kampus-kampus, global warning menjadi doktrin yang dipertahankan dalam bentuk kata-kata dan visual segitiga peringatan. Tidak heran seruan itu dianggap sebagai titik nadir manusia dalam melawan panas matahari yang semakin menyengat. Orang-orang ingin menghindari panas karena kulit tidak sanggup menahannya. Payung menjadi pelindung, lalu mobil menjadi pilihan untuk bepergian. Sudah menjadi tradisi bahwa payung digunakan ketika matahari terik. Matahari terus disalahkan sebagai penyebab global warning.

Akan lebih baik jika kita membicarakan Indonesia warning daripada global warning. Ini peringatan untuk negara kita terlebih dahulu. Perekonomian diibaratkan seperti pohon yang berbuah, buahnya jatuh, membusuk, lalu menjadi bibit yang tumbuh kembali menjadi pohon dewasa. Setiap gerak perekonomian selalu terkait dengan energi fosil, dari distribusi barang hingga perpindahan sumber daya. Masalah muncul ketika perekonomian dipaksa mengikuti gaya go green. Energi fosil sepatutnya menjadi komoditas utama yang menyuburkan bibit-bibit ekonomi masa depan. Jika panas dianggap sebagai ancaman, panas sudah ada jauh sebelum manusia mengenal energi fosil. Jadi apa yang sebenarnya perlu dipermasalahkan.

Yang perlu dipikirkan adalah bagaimana poster-poster ini disebarkan untuk mendapatkan empati dari orang-orang yang dipercaya oleh perusahaan tambang yang ingin dibangun. Namun itu bukan poin terpenting. Poster bagi saya adalah alat propaganda. Maka saya mengusulkan sebuah kejujuran dari perusahaan tambang yaitu go fosil. Langsung apa adanya. Lalu buat penelitian tentang energi paling bersih yaitu energi fosil. Jika kejujuran ini digaungkan, ideologi go green akan kalah dengan go fosil karena negara-negara Barat pun masih menggunakan energi fosil secara sadar. Inilah garis gelap yang menjadi contoh negara maju yang kemudian diikuti banyak negara lain.

Manusia terus berdebat tentang perubahan iklim dari pagi hingga pagi lagi tanpa menghasilkan kemajuan berarti. Perdebatan itu melelahkan para pesertanya dan melelahkan saya yang hanya membaca beritanya. Saya memilih bersikap cuek terhadap narasi dan poster yang diagung-agungkan. Itu dinamika kehidupan dan wajar karena setiap orang mencari nafkah dengan caranya sendiri. Jika dilihat dari kacamata sastra, perdebatan ini tampak seperti dialog antara yang berkuasa dan yang dikuasai, antara masyarakat dan pengusaha. Keduanya terikat dan saling memengaruhi, kadang memicu konflik kecil yang sebenarnya tidak perlu dipikirkan karena masing-masing memiliki kepentingan.

Poster pemanasan global sering digunakan media Barat untuk mendikte negara lain agar menjaga lingkungan. Mereka mengajak secara masif walaupun mereka sendiri menjadi penyebab kerusakan lingkungan global dari konflik di Timur Tengah hingga kegagalan industri di Papua. Namun saya mencoba berpikir positif bahwa mungkin mereka berniat baik dan ingin bertaubat. Mereka ingin menunjukkan bahwa mereka punya visi mengurangi karbon dan menambah oksigen. Oksigen kini menjadi perhatian banyak orang. Saya pernah berpikir bagaimana jika oksigen diproduksi manusia dan karbon diproduksi tumbuhan. Saya tidak bisa membayangkannya lebih jauh. Saya kembali pada pembahasan poster yang belum selesai. Pemanasan global telah menjadi bagian dari teori konspirasi Barat yang tampak disengaja untuk menciptakan keadaan tertentu. Dua topeng dimainkan dalam situasi ini menurut saya, tetapi perlu penelitian lebih lanjut untuk memastikan kebenarannya.

Saya berpikir bahwa poster hanya dipasang di dinding sebagai hiasan ruang akademik. Dengan berbagai desain dan warna, poster memang dibaca tetapi kemudian dilupakan. Uang habis untuk mencetak poster dan langganan aplikasi desain, sementara dunia tetap luas dan rumit. Menurut saya, tidak mungkin perubahan besar terjadi hanya melalui poster. Poster hanyalah ruang desain yang diperlombakan. Jika posternya hanya berisi teks dengan warna yang tidak menarik, perusahaan tambang tidak akan membacanya. Itulah keresahan saya ketika melihat poster lingkungan. Untuk apa membuat poster jika tulisan ini justru mendukung tambang.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Negeri yang Demam oleh Amarah

  Stres berkepanjangan membuat saya terus bertanya pada diri sendiri, mengapa kepala saya dipenuhi masalah dan ketakutan yang menghantui. Lemas dan letih rasanya menghadapi keadaan ini, apalagi melihat situasi yang genting. Kerusuhan dalam diri tak lagi bisa dibendung, penjara ketakutan telah merampas kebahagiaan saya. Ruang-ruang batin pun berantakan setelah hati dan pikiran saya dijarah oleh rasa takut. Berita televisi dan media sosial dipenuhi kecemasan. Kota terasa semakin tercekam oleh massa yang menyampaikan aspirasi kepada mereka yang duduk nyaman di kursi kekuasaan. Emosi membara, kemarahan muncul karena rakyat diremehkan oleh salah satu wakilnya yang seharusnya mewakili suara banyak orang. Massa aksi selayaknya semut-semut kecil, bergerombol lalu bubar ke segala arah tanpa tahu jalan pulang. Mereka berdiri berjam-jam hanya untuk mendengarkan teriakan sekawannya. Namun, tidak semua yang berkerumun murni menyuarakan aspirasi, ada provokator yang membuat keadaan semakin mence...

THR: Dari Mogok Buruh ke Proposal THR

  Bulan Ramadhan telah berakhir, dan saya merasa cukup senang menyambut hari Lebaran. Hari yang penuh kebersamaan itu akhirnya tiba, dan saya tidak sabar menunggu THR. Namun, saya sadar bahwa saya sudah bukan anak sekolah lagi, sekarang saya adalah seorang mahasiswa. Kata saudara saya, anak kuliah justru memiliki lebih banyak kebutuhan dibandingkan anak kecil atau anak sekolah. Tahun lalu saya masih mendapatkan THR, tetapi tahun ini saya tidak tahu apakah masih akan mendapatkannya. Saya butuh uang untuk membeli PDH Belistra dan himpunan, agar bisa segera melunasinya. Saya melihat para pekerja mendapatkan tunjangan hari raya berupa uang atau sembako, termasuk ayah saya. Tahu tidak kalau THR ini di tahun 1953 dulunya disebut Hadiah Lebaran atau Persekot Hari Raya? Saat itu, pemberian tersebut bersifat sukarela dari majikan sebagai bentuk kepedulian sosial. Pada tahun 1950-an, para buruh hidup dalam kondisi yang memprihatinkan, dengan penghasilan yang bahkan tidak cukup untuk membeli ...

Semua Sudah Diatur, Tidak Perlu Dipikirkan

 Semua Sudah Diatur, Tidak Perlu Dipikirkan   Malam yang sunyi, saya kembali menulis. Kali ini, saya menulis tentang permasalahan kehidupan saya. Masalah hidup saya sama seperti masalah negeri ini. Dari ujung barat sampai timur, negeri ini dipenuhi oleh kicauan mahasiswa yang berteriak menuntut keadilan. Begitu pula saya, yang terus berteriak kepada hati saya sendiri, merasa bersalah atas perbuatan yang telah berlalu.   Iya, memang saya selalu menyesali setiap tindakan yang sudah terjadi. Namun, saya berpikir bahwa Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyesal ketika membuat UU TNI, yang kini membuat gaduh narasi di media sosial. Kerusuhan terjadi di mana-mana karena naskah yang dibuat terburu-buru. Saya tidak tahu apakah naskah itu benar-benar disusun berdasarkan proses demokrasi.   Saya mendukung undang-undang ini karena saya percaya bahwa undang-undang itu tidak akan merugikan rakyat, justru menguntungkan mereka. Namun, saya juga meragukan kemampuan seseor...